Oleh : Maraihut Simbolon. Terbitnya surat edaran Jaksa Agung yang mengimbau agar dalam kasus dugaan korupsi yang pelakunya dengan kesadarannya telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang nilainya kecil, perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, merupakan kebijakan kontraproduktif dengan semangat antikorupsi.
Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor : B-113/F/Fd.l/05/2010 tanggal 10 Mei 2010 yang ditujukan kepada seluruh kejaksaan tinggi se-Indonesia itu, tidak memiliki landasan yang kuat baik dari sudut filosofis, sosiologis dan yuridis. Justru sebaliknya, surat edaran tersebut nyata-nyata membawa efek pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No, 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan payung hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. Paralel dengan undang-undang tersebut, maka di dalam implementasinya para penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus mengacu kepada undang-undang tersebut serta peraturan terkait lainnya.
Peraturan internal sebagaimana surat edaran yang sifatnya “komando” dan akan sangat “sakti”, haruslah memberikan penguatan kepada jajaran di bawahnya untuk lebih berani dan tegas memerangi pelaku-pelaku korupsi. Bukannya dengan menerbitkan peraturan yang dapat melemahkan semangat antikorupsi, memberikan peluang multi tafsir dan sangat subyektif yang akan berdampak terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Apalagi secara kasat mata surat edaran Jaksa Agung tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Surat edaran itu telah membuka keran penyalahgunaan wewenang dalam penanganan korupsi, sebab tidak ada penjelasan apapun terkait tentang berapa kerugian keuangan negara yang nilainya dapat dikatakan kecil. Apakah di bawah Rp. 100 juta, di bawah Rp. 500 juta atau di bawah Rp. 1 miliar. Jelas faktor subyektifitas akan lebih mengemuka dalam penanganan kasus-kasus korupsi tersebut. Dalam kondisi seperti ini, maka sangat dimungkinkan dengan berlindung dibalik surat edaran Jaksa Agung, perkara korupsi yang sedang ditangani tidak akan ditindaklanjuti dengan alasan pelakunya telah mengembalikan kerugian keuangan negara.
Sebaliknya pelaku tindak pidana korupsi juga sangat diuntungkan dengan surat itu, dan akan memilih untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dari pada masuk penjara. Disinilah penyalahgunaan wewenang tersebut dapat terjadi, tawar-menawar yang tujuannya pelaku tidak dipenjara,
Pertimbangan yang tertuang dalam surat edaran yang menyatakan pelaku dengan kesadarannya mengembalian kerugian keuangan negara, juga dirasakan kurang tepat. Mengharapkan kesadaran pelaku korupsi sangatlah sumir atau dapat dikatakan terlalu melankolik. Tujuan pelaku korupsi mengembalikan uang jarahannya dikarenakan “terpaksa” dan tujuannya untuk mengurangi pidana yang akan dijatuhkan pengadilan. Tujuan penyadaran merupakan tindakan preventif, mestinya dilakukan sebelum tindakan korupsi terjadi. Bukan setelah pelakunya ditangkap,
Langkah penyitaan aset koruptor yang selama ini dilakukan sudah tepat, dan tetap harus dijalankan. Sebab, tidak ada jaminan pengembalian kerugian keuangan negara tersebut dikarenakan pelakunya menyadari kesalahannya. Bahkan, tidak ada garansi pula pertimbangan untuk tidak dilanjutkannya dugaan korupsi tersebut syarat dengan praktik pelanggaran hukum pula.
Memang benar, sebagaimana pernyataan Jaksa Agung Basrief Arief dalam beberapa kesempatan, adakalanya dana operasional yang dikeluarkan negara untuk menangani sebuah perkara korupsi akan lebih besar daripada kerugian negara yang ditimbulkan.
Biaya operasional dalam penanganan kasus korupsi dimulai dari biaya pemanggilan saksi, mendatangkan tim auditor keuangan, akomodasi dan transportasi ahli, biaya pemberkasan, biaya perjalanan selama proses sidang dari daerah-daerah ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang masih ada di ibukota provinsi, serta biaya menghadirkan terdakwa saat eksekusi. Saat ini, rata-rata dana operasional tersebut sekitar Rp.100 juta per kasus (lihat Antara Sumsel, edisi 12 Januari 2014). Dana operasional akan semakin membengkak tergantung rumitnya perkara.
Namun, hal tersebut janganlah membuat korps kejaksaan menjadi lemah dan menerbitkan surat edaran yang memberikan angin segar bagi para koruptor. Sebab terkait dana operasional penanganan kasus korupsi menyangkut kebijakan anggaran negara, yang memerlukan pembahasan lebih jauh,
Apalagi Indonesia Corruption Watch (ICW) telah merilis akibat surat tersebut setidaknya ada 13 dugaan korupsi di daerah yang dihentikan di tengah jalan. Tentunya, kita tidak menginginkan kondisi seperti ini terjadi. Kita sepakat korps kejaksaan dan kepolisian harus sama kuatnya dengan KPK dalam pemberantasan korupsi.
Tidak Menghapus Pidana
Surat Edaran Jaksa Agung Nomor : B-113/F/Fd, 1/05/2010 tanggal 10 Mei 2010 yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara yang nilainya kecil perlu dipertimbangkan untuk tidak ditindaklanjuti, telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan, "Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3".
Bahkan dalam penjelasan Pasal 4 disebutkan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan, bukan untuk tidak menindaklanjuti perkara atau menghapuskan pidananya.
Bila memaknai ketentuan Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 yang hanya diberlakukan kepada pelaku tindak pidana sebagamana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dan surat edaran dimaksudkan untuk tindak pidana korupsi lainnya adalah tidak tepat. Sebab, bentuk atau jenis tindak pidana korupsi adalah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara.
Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001, terdapat tiga puluh bentuk atau jenis, yang dapat dikelompokkan menjadi 7 bagian yaitu :
1. Kerugian keuangan negara (Pasal 2 dan 3).
2. Suap menyuap (pasal 5 (1) huruf a dan b, pasal 13, pasal 5 (2), pasal 12 huruf a, b, c, pasal 11, pasal 6(1) huruf a dan b, pasal 6 (2), pasal 12 huruf c dan d).
3. Penggelapan dalam jabatan (pasal 8, 9 dan pasal 10 huruf a, b, c).
4. Pemerasan (pasal 12 huruf e, f, g).
5. Perbuatan curang (pasal 7 (1) huruf a, b, c, d dan pasal 12 huruf h).
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan (pasal 12 huruf i).
7. Gratifikasi (pasal 12B jo pasal 12C) ;
Dari pengelompokan tersebut, terbanyak yang dilakukan penyidikan, penuntutan dan persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah jenis tindak pidana korupsi sebagaimana Pasal 2 dan 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Yaitu secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2) dan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan (Pasal 3) yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sehingga terhadap jenis tindak pidana korupsi ini, Pasal 4 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara imperatif menegaskan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidana tanpa melihat besar kecilnya kerugian keuangan negara.
Di tengah dahsyatnya korupsi di Indonesia, semestinya Kejaksaan Agung membaca ketentuan Pasal 4 tersebut berlaku untuk semua jenis tindak pidana korupsi. Tidak hanya untuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, tetapi juga untuk jenis tindak pidana korupsi lainnya seperti suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan serta gratifikasi.
Terlepas dari pertimbangan Kejaksaan Agung menerbitkan surat edaran tersebut, pastinya kontraproduktif dengan semangat antikorupsi. Surat edaran itu telah melemahkan cita-cita pemberantasan korupsi di negeri yang terus menduduki posisi bontot indeks persepsi korupsi di dunia.
Padahal kita semua mengetahui, tingginya angka korupsi di Indonesia karena terjadi di seluruh lapisan institusi. Korupsi di samping melibatkan kekuasaan seperti diungkapkan oleh Lord Acton, "all power tend to corrupt, absolute power to corrupt absolutely" juga melibatkan warga masyarakat pada umumnya.
Kita juga telah memahami korupsi telah membebani mayoritas masyarakat Indonesia, terutama masyarakat miskin, menciptakan resiko ekonomi-makro yang tinggi, membahayakan kestabilan keuangan, serta mengkompromikan keamanan, hukum dan ketertiban umum. Di atas segalanya, korupsi merendahkan legitimasi dan kredibilitas negara di mata rakyat.
Mengetahui dampak buruk korupsi, maka tidak pada tempatnya penegak hukum yang diberikan kepercayaan untuk pemberantasan korupsi mengeluarkan "surat sakti" yang sifatnya melemahkan semangat antikorupsi kepada jajaran bawahannya. Pelaku korupsi juga akan memanfaatkan surat edaran tersebut, untuk melakukan korupsi dengan nilai kecil secara terus-menerus.
Apabila tertangkap, cukup mengembalikan uang hasil jarahannya tanpa perlu takut dimasukkan ke penjara. Setelah itu, korupsi tetap dilakoni.
Sebagaimana diuraikan di atas, tidak ada jaminan pelaku korupsi dengan nilai kecil akan jera dan merasa malu saat ditangkap dan dipaksa mengembalikan kerugian keuangan negara. Juga tidak ada jaminan pula, pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya, karena kalaupun tertangkap cukup mengembalikan uang korupsi. Maka tidaklah salah Mochammad Jasin - mantan komisioner KPK - menyatakan salah satu penyebab utama korupsi di Indonesia adalah sikap tamak, lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu dari para pelaku korupsi.
Dalam konteks surat edaran ini, maka wajar dan patut untuk mempertanyakan komitmen dan konsistensi penegakan hukum antikorupsi kepada korps adhyaksa. Menurut Ian McWalters, keseriusan dari keinginan suatu negara untuk memberantas korupsi dapat dinilai dari undang-undang yang ditetapkannya dan tindakan-tindakan pemerintahannya dalam menerapkan undang-undang itu.
Dari paparan di atas, maka sudah sepatutnya Kejaksaan Agung segera mencabut surat edaran tersebut, dan kembali membuka kasus-kasus korupsi yang sempat tidak ditindaklanjuti. Kejaksaan Agung harus berani bersikap ksatria untuk mengakui kekeliruannya, sebab mudharat surat itu lebih besar ketimbang manfaatnya.
Korupsi Bernilai Kecil
Sudah dapat dipastikan kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi tidaklah dapat dikatakan ada yang bernilai kecil. Mulai dari puluhan juta, ratusan juta hingga milyaran rupiah.
Apakah terhadap korupsi dengan nilai puluhan juta rupiah atau ratusan juta rupiah dapat dianggap kerugian keuangan negara yang ditimbulkannya termasuk bernilai kecil, sehingga dengan dikembalikannya uang hasil korupsi tersebut, perkaranya tidak ditindaklanjuti.
Padahal tindak pidana korupsi sekecil apapun berdampak buruk bagi masyarakat dan negara.
Bandingkan dengan kasus pencurian dengan nilai yang sangat minim, perkaranya tetap berjalan hingga ke persidangan. Hanya saja kepada pelaku tidak dilakukan penahanan.
Hal tersebut diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang menyebutkan tindak pencurian ringan nilainya kurang dari Rp.2,5 juta tidak ditahan dan hukuman yang dijatuhkan maksimal 3 bulan. Hal tersebut merupakan respon Mahkamah Agung atas rasa keadilan masyarakat, pada kasus pencurian dengan nilainya sangat minim seperti kasus pencurian sandal jepit dan pencurian buah kakao oleh Mbok Minah, beberapa tahun lalu.
Dengan demikian, rasanya surat edaran yang mengimbau jajaran kejaksaan untuk tidak menindaklanjuti perkara korupsi karena pelakunya telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang nilainya kecil, telah mengkebiri rasa keadilan masyarakat. Bagaimana mungkin pelaku pencurian dibawah Rp. 2,5 juta tetap diproses hukum, sementara koruptor yang katakanlah nilai korupsinya seratus jutaan rupiah tidak dilakukan proses hukum, dengan dalih telah mengembalikan kerugian keuangan negara.
Lebih dari itu, tidak satupun peraturan perundangan yang memungkinkan dilakukannya penghentian penyidikan hanya dengan alasan nilai korupsi yang kecil dan uang hasil korupsi telah dikembalikan.
Di samping Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah tegas melarangnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Pasal 10 menyebutkan kepada saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) hanya dapat diberikan perlakukan khusus antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya.
Artinya, sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 kepada saksi yang juga pelaku tindak pidana yang memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan, sehingga penyidik dan penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud secara efektif, mengungkap pelaku-pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar, dan/atau mengembalikan aset-aset/hasil tindak pidana, tetap dijatuhkan pidana berupa pidana percobaan bersyarat khusus atau pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya.
Di samping itu, sudah menjadi pakem atau asas dalam hukum acara pidana, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka didasarkan pada bukti permulaan yang cukup yaitu sedikitnya oleh dua alat bukti dan berdasarkan bukti tersebut seseorang tersebut patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Penghentian penyidikan atau tidak ditindaklanjuti dugaan tindak pidana hanya dapat dilakukan karena tidak ditemukan bukti yang cukup.
Perkaranya bukan perkara pidana, dan/atau perkaranya dihentikan demi hukum dikarenakan tersangka meninggal dunia, perkara telah melampaui masa daluwarsa, pengaduan dicabut bagi delik aduan dan/atau nebis in idem (tindak pidana memperoleh putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap).
Dengan demikian, tidak ada alasan yuridis kepada pelaku tindak pidana korupsi dengan alasan telah mengembalikan kerugian keuangan negara yang nilainya kecil, perkaranya tidak ditindaklanjuti. Tidak ditindaklanjutinya perkara korupsi tersebut, maka sama saja kita membiarkan orang melakukan kejahatan tanpa hukuman. Korupsi akan semakin massif terjadi, kalaupun tertangkap cukup dikembalikan.
Kejaksaan yang memiliki human resources cukup banyak di seluruh tanah air, perlu mendapatkan energi ekstra dalam berperang melawan koruptor. Bukan memberikan aturan yang memberikan ruang subjektifitas dalam pelaksanaannya dan sekaligus dapat melemahkan genderang antikorupsi yang telah digaungkan selama ini. ***
Penulis adalah advokat, anggota Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Medan.