Tommy Simatupang. Tirai jendela tersingkap dihembus angin pagi hari. Cahaya mentari menyeruput masuk melalaui jerjak-jerjak jendela. Bersama dengan itu wajahmu masuk dalam pikiranku. Tragedi yang sangat kuingat dalam hidupku. Mengiris kalbu mengundang air mata. Pagi ini sungguh menyisikan rindu yang sangat mendalam. Masih tersisa bayangan kamu yang bergelayutan di dahan pohon itu. Lehermu terikat oleh seutas tali tambang. Kamu terombang-ambing seraya pohon Jamblang itu menahan berat bandanmu. Kutahu kau melepaskan semuanya.
Bercak ungu dari buah Jamblang yang berguguran membuatmu semakin membiru. Matamu mendelik menatapku tajam. Aku bungkam seberapa detik. Aku berlari sejauh-jauhnya dengan air mata berserakan di kedua belah pipihku. Aku tidak sanggup melihatmu. Aku memang bukan sahabat yang mampu memberi semangat padamu. Aku masih terus berlari sekencang-kencangnya melintasi hamparan sawah yang menguning. Aroma padi yang semerbak menampar wajahku. Desa kita sungguh indah katamu, tetapi bagiku kau telah merusak keindahannya di bola mataku. Sebatang pohon kelapa di tengah sawah menjadi sandaran tubuhku. Inikah jalan yang kau pilih, Lis?
* * *
Panen buah Jamblang telah tiba. Semua anak-anak telah beraksi di dahan-dahan pohon. Tidak ketinggalan kita berdua yang selalu berlomba hingga ke pucuknya. Pohon Jamblang tumbuh dengan subur di desa kita. Angin yang menerpa pohon menggoyang batang.
Kita berdiri dengan gagah di salah satu dahan yang tertinggi. Menatap cakrawala luas atau menngintip jalan kehidupan. Kita seakan berlayar di samudera luas dengan guncangan-guncangan dahsyat. Teriakan-teriakan kita membahana melintasi hamparan sawah. Sungguh indah negeri kita. Sungguh indah desa kita. Tapi sungguh malang nasib kita, katamu.
“Mat, apa ke tidak rindu pada keluargamu?” tanya Muklis yang masih berdiri di salah satu dahan pohon.
“Ke?” Aku bertanya kembali yang duduk menatapnya.
“Aku tanya sama kamu. Kok ke pulak yang bertanya balik,” Muklis masih berdiri di salah satu dahan menatap sawah-sawah dan awan yang menggumpal.
“ke tahu, Mat?! Sekarang ini aku hidup dalam keterpaksaan. Aku pasrah. Semua langkah kaki ini bergerak tanpa tulus.”
“Ya sudahlah, Mat. Kadang aku bosan dengan hal ini. Semua tidak ada jawaban. Semua mencoba menutupi kesakitan kita dengan ucapan sabar.”
“Akh...!” Muklis berteriak dan merontah-rontah seakan ada gelombang besar menghantam kapalnya.
* * *
Hari ini Muklis tidak pergi sekolah. Alasannya hanya satu, malas. Yah Lot tidak pernah mempermasalahkan itu. Dia tidak pernah menekan kami untuk harus bersekolah. Mungkin dia takut menambahkan beban pada kami.
Kami tinggal bersama Yah Lotnya Muklis. Kami dijemput dari kampung oleh Yah Lot dua bulan lalu. Semenjak saat itu semua semakin kacau. Rumah Muklis di salah satu kampung kaki gunung. Jauh dari kota dan bersebelahan dengan rumah panggungku.
Saat hangatnya mentari nyembul menimpa atap. Kami tersadar, sesuatu hal buruk terjadi di sini. Semua orangtua dan pemuda telah tiada. Semua terasa mencekam.
Kami hanya mampu menangis dan menunggu di anak tangga rumah kami masing-masing. Semua yang tersisa hanya anak-anak kecil dan beberapa manula. Kata mereka, semua orangtua dan pemuda dipaksa ikut bersama orang-orang bersenjata untuk menjadi pasukan. Termasuk orangtua kami dan abang-abang Muklis. Kejadian itu saat dini hari.
Tiba-tiba suara vespa riuh-rendah memecah keheningan menuju ke arah kami. Yah Lot Muklis datang dan berhenti di rumah Muklis. Segera dengan cepat dia merangkul Muklis yang sedang duduk meratap kehilangan di anak tangga.
Semua terasa begitu misteri. Dalam tangis mendalam Yah Lot membawa kabar, bapak telah memutuskan Muklis akan dititipkan oleh Yah Lot. Muklis bangkit dan menuruni anak tangga dengan raut wajah sedih dan mata begitu sembab.
“Muklis...,” aku memanggil.
Muklis mengalihkan pandangannya kepadaku yang hendak naik ke atas vespa. “ke mau kemana?” aku bertanya.
“Aku akan tinggal di kota, Mat. Ini Yah Lotku. Apa orangtuamu juga meninggalkanmu, Mat?” tanya Muklis. Air mata terus mengalir di kedua belah pipih.
Aku merasa ini cambuk yang sangat sakit. Semua akan pergi meninggalkanku sendiri di dunia ini.
“Iya Lis,” Jawabku.
Muklis mengalihkan pandangan dan menatap Yah Lotnya yang telah menunggunya di atas Vespa biru. “Yah, ijinkan dia ikut bersama kita. Dia sahabatku.” Muklis memohon.
Muklis datang menujuku. Dia naik satu persatu anak tangga itu dan duduk di sampingku.
“Mat, apa yang ke rasakan. Sama seperti apa yang kurasakan. Aku juga kehilangan orangtua dan abang-abangku. Aku tidak tahu siapa yang bersalah dalam hal ini.”
Aku melihat sisa-sisa butiran air mata tumpah kembali dari mata Muklis.
“Ikutlah denganku, Mat. Kita tinggal bersama. Kita tunggu orangtua kita di sana.”
Hari demi hari mulai mengikis kepedihan dan kejadian saat itu. Paman Muklis sering mengajak kami bermain di pantai. Sejenak kami melupakan tragedi itu. Paman terus membuat lelucon yang memancing gelak tawa kami.
Aku dan Muklis terus bersama. Kami bersekolah di SD dekat rumah. Kami selalu rajin beribadah. Mulai bergabung dengan anak-anak sekitar rumah. Bermain bola bersama mereka, bermain kelereng dan mengumpulkan buah Jamblang sebanyak-banyaknya.
Muklis terus menyemangati aku. Dia orang yang sangat kuat bagiku. Dia teman yang tidak dapat kulupakan selamanya. Kami sering menunggu siaran berita di telivisi yang selalu meyorot desa kami. Muklis selalu berharap ada orangtuanya atau abangya yang muncul di telivisi. Aku mencuri pandangan ke matanya. Ada air yang mengenang di bola matanya. Segera aku mengambil remot dan menekan tombol power. Dia tertunduk. Segera aku mengajaknya bermain di atas pohon Jamblang. Kami berlari dengan wajah riang, namun siapa yang tahu kalau itu hanya tipuan.
* * *
Semua terasa hampa dan berat. Tidak ada lagi yang kumiliki. Muklis telah pergi. Semua berlomba untuk pergi dengan cepat. Detik-detik yang bergerak terus menusuk jantungku. Ini nestapa yang amat perih. Umurku masih begitu dini untuk mencari akar dari permasalahan ini.
Kupandangi jejeran pohon Jamblang tidak dipenuhi anak-anak lagi. Mereka takut dengan kasus bunuh diri Muklis. Mereka berpikiran bahwa di pohon itu telah berpenghuni. Angin juga tidak pernah berhenti beranjak. Mengajak dahan-dahan untuk menari. Semua dahan mengibas-ngibas.
Aku memetik buah Jamblang yang matang di atas kepalaku. Kupandang buah itu. Warna ungu agak kehitam-hitaman mengingatkan aku pada wajah Muklis. Kugigit daging buah itu. Rasa sepat pecah dalam mulutku.
Tiba-tiba aku merasa goyang. Aku melihat jejeran pohon Jamblang berguncang dahsyat. Angin begitu kencang. Aku masih tetap berdiri di bawah pohon itu.
Suara teriakan tiba-tiba datang mengundang pandanganku. Ibu dan Bapak sedang memanggilku. Mereka berdiri di salah satu dahan pohon itu. Mereka meronta-ronta, sehingga membuat seluruh buah berguguran dan pecah. Seperti Muklis lakukan, ketika badai datang menhantam kapalnya.
Seluruh tanah di bawah pohon itu berubah menjadi biru pekat. Aku hendak melangkah membantu mereka. Belum sampai tanganku menjamah pohon itu. Ada yang memanggil lagi dengan sangat sedih. Tepat di belakangku. Orangtua dan abang-abang Muklis. Mereka juga meronta kesakitan.
Aku semakin tidak kuasa menahan sesak di dada. Sembilu yang sangat sakit yang bersarang ketika memandang wajah mereka. Aku menumpahkan kembali air mata yang tersisa. Kepalaku terasa berat. Aku berteriak. Tolong..! Sekuat-kuatnya hingga aku ingin lepas jauh dari dunia ini.
Banda Aceh, Juli 2013
KSI-Medan.
Yah Lot = Abangnya Bapak (Bahasa Aceh).
Ke = Kamu