Oleh: Jekson Pardomuan.“Bawalah sertamu kata-kata penyesalan, dan bertobatlah kepada TUHAN! katakanlah kepada-Nya: "Ampunilah segala kesalahan, sehingga kami mendapat yang baik, maka kami akan mempersembahkan pengakuan kami.” (Hosea 14 : 2)
Pepatah mengatakan, apalah daya nasi sudah mejadi bubur. Dari pepatah ini kalau kita telaah lebih dalam pengertiannya, sebelum nasi menjadi bubur, sesungguhnya kita masih bisa mencegah agar nasi tidak menjadi bubur. Dimana, ketika mau memasak nasi kita yang menentukan apakah mau menjadikan beras yang akan dimasak itu menjadi nasi bubur atau nasi biasa, dan ini tergantung dari banyaknya kadar air yang kita sertakan bersama dengan beras yang hendak dimasak.
Artinya, kita masih bisa mencegah sesuatu agar tidak sampai mencapai kesalahan yang sangat fatal. Perkataan penyesalan selalu datang terlambat pun sesungguhnya bisa kita hindari. Itu sebabnya ada pepatah yang mengatakan “pikir itu pelita hati”.
Pepatah yang mengatakan bahwa penyesalan selalu datang terlambat. Itu tidak salah. Kita selalu menyesali segala tindakan atau perbuatan yang salah di masa lalu. Kita menyesali keputusan yang keliru di masa lalu. Kita menyesali setiap perkataan buruk yang pernah terlontar dari mulut kita yang ternyata berdampak begitu kuat terhadap diri seseorang.
Namun penyesalan tinggallah penyesalan. Masa lalu tidak bisa diulang. Baik atau buruk, apa yang terjadi akan tetap menjadi 'jejak' kehidupan kita.
Oleh karena itu, dalam setiap tindakan dan perkataan kita, 'pertimbangan dan kebijaksanaan' adalah suatu hal yang sangat penting untuk kita miliki. Jangan bersikap tergesa-gesa. Jangan asal mengambil keputusan. Jangan berpikir "bagaimana nanti" tetapi berpikirlah "nanti bagaimana" akibatnya kalau kita salah bicara.
Artinya, pertimbangkan segala sesuatu secara matang. Betul, kita memang tidak mungkin terhindar sama sekali dari yang namanya penyesalan karena sebagai manusia kita tidak luput dari kesalahan. Namun dengan 'pertimbangan dan kebijaksanaan', paling tidak kita bisa meminimalisir kemungkinan terjadinya penyesalan; menjaga langkah kita untuk tetap berjalan di jalan yang lebih 'aman' dan sesuai dengan kehendak Tuhan.
Itu sebabnya, kita selalu dibimbing dan diarahkan oleh orang tua untuk berpikir dan bertindaklah secara bijak hari ini karena menyesal kemudian tidak mendatangkan kegunaan.
Pengkhotbah 5 : 2 menuliskan “Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit.”
Pernahkah Anda merasa bersalah dan menyesal setengah mati setelah melakukan sesuatu? Kita cukup sering mengalaminya. Seringkali rasa sesal itu begitu kuat mencengkeram kita sehingga sepanjang hari kita tidak bisa melakukan hal lain. Kita mungkin malu dan marah pada diri sendiri dan biasanya tidak ingin bertemu dengan siapa pun. Bahkan, pernah berpikir ingin lenyap dari dunia ini.
Saya pikir, itulah yang juga dirasakan Yudas setelah menjual Yesus.Tenggelam dalam penyesalannya, Yudas pergi menggantung diri. Mungkin ia terlalu malu untuk kembali dan mengakui kesalahannya kepada murid-murid yang lain.
Ia kehilangan kesempatan menerima pengampunan Tuhan. Kontras dengan Petrus yang menangisi dosanya, tetapi kemudian kembali mengikut Tuhan (baca pasal 26:75, Yohanes 21). Dalam bagian Alkitab yang lain dukacita Yudas disebut sebagai dukacita dari dunia (2 Korintus 7:10). Pusatnya adalah diri sendiri. Sementara, dukacita yang menurut kehendak Allah “menghasilkan pertobatan”.
Kata pertobatan dalam bahasa Yunani adalah metanoia, yang artinya berubah pikiran atau berbalik dari dosa.
Ayat firman Tuhan dari Amsal 3:21 "Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu."
Amin.