Dampak Sistemik Bencana dan Paradigma Pembangunan Lingkungan

Oleh: Fransiska Triana. Bencana yang terjadi di Indonesia, juga dunia, seperti tidak mau berhenti saat ini. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 203 bencana terjadi di berbagai daerah di Indonesia selama Januari 2014. Sebanyak 178 orang meninggal dan 1,2 juta orang menjadi pengungsi. Di Jakarta, banjir telah menyebabkan 30.784 warga harus mengungsi di 140 titik pengungsian dan tujuh orang meninggal dunia karena sakit, tersengat listrik atau terbawa arus banjir.

Di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, erupsi Gunung Sinabung telah merenggut 16 jiwa. Bencana berdampak besar lainnya adalah banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara yang menyebabkan 40.000 jiwa mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan 19 orang meninggal dunia; serta banjir bandang dan tanah longsor di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Di dunia, sejumlah negara mengalami imbas cuaca ekstrem hampir secara bersamaan. Di Amerika Serikat, hampir separuh dari seluruh bagian diserbu hawa dingin dan beku. Sementara itu, di daerah bertemperatur panas seperti Arab Saudi dan Timur Tengah malah turun salju, setelah beberapa dekade tidak pernah ada. Inggris dilanda banjir bandang dan Australia diterpa hawa panas yang mengakibatkan lebih dari 100.000 kelelawar berjatuhan dari langit.

Para peneliti menyebut pemanasan global akan datang lebih cepat dari yang telah diprediksi. Pengamatan terbaru menunjukkan bahwa pada kurun waktu 20 tahun terakhir jumlah es di Alaska terus menurun. Jika hal ini terus terjadi, suhu Bumi kian hari kian meningkat drastis. Otomatis, udara juga terasa panas dan semakin panas dari tahun ke tahun. Bencana pastilah berdampak sistemik pada semua segi kehidupan.

Tim ilmuwan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang tergabung dalam panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mengatakan suhu Bumi meningkat sejak 1950-an yang tidak pernah terjadi sebelumnya selama berabad-abad. Laporan IPCC menyebutkan permukaan air laut bisa meningkat hingga 82 cm sebelum akhir abad ini. Perubahan iklim mengancam sumber daya utama bagi manusia dan ekosistem, yakni tanah dan air.

Banyak analisis terhadap bencana dan terjadinya cuaca ekstrem tersebut. Namun, kita sepakat dengan analis tim ilmuwan PBB bahwa manusialah penyebab utama pemanasan global. Kerakusan manusia untuk mengejar pertumbuhan ekonomi dengan paradigma kapitalisme menjadi penyebab utama dari semua bencana ini. Ilmuwan dari Amerika Serikat Fritjof Capra pernah menuding bahwa manusia-manusia bermental kapitalisme yang bersembunyi di balik kedok globalisasi ekonomilah yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan secara global.

Kerusakan Lingkungan

Kita setuju dengan tudingan ini. Sebuah ilustrasi tentang Taiwan yang digambarkan Edward Goldsmith dalam The Case Against the Global Economy mungkin bisa menunjukkan bukti tersebut. Di tahun 1990-an, Taiwan dirancang untuk menjadi negara dengan kecepatan pertumbuhan yang sangat pesat sehingga dijadikan model ekonomi untuk Dunia Ketiga oleh Bank Dunia.

Namun, ternyata kerusakan lingkungan yang dialami negara tersebut cukup parah. Limbah pertanian dan industri mencemari hampir semua sungai utama. Di beberapa tempat, airnya bukan hanya tidak berisi ikan dan tak bisa diminum, bahkan justru bisa terbakar. Tingkat polusi udaranya dua kali ambang bahaya di Amerika Serikat; kasus kanker berlipat ganda sejak 1965, dan negara tersebut memiliki jumlah penderita hepatitis terbesar di dunia..

Alih-alih menggunakan kekayaannya untuk membersihkan lingkungan, justru regulasi lingkungan dihilangkan dengan tujuan mengurangi ongkos produksi industri demi memenuhi tuntutan persaingan ekonomi global. Kita kini melihat hal sama terjadi di Indonesia. Mantra “Washington Consensus” (deregulasi, privatisasi, dan deregulasi ekonomi) yang didesakkan lembaga keuangan internasional, telah menimbulkan ketidakseimbangan ekologis, ketidakseimbangan antropologis, dan ketidakseimbangan internasional.

Pertumbuhan industri di banyak negara telah menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, baik di darat, air, maupun di udara yang mengakibatkan timbulnya berbagai macam petaka lingkungan, seperti hujan asam, suhu bumi yang semakin panas akibat efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, berbagai macam penyakit seperti sesak napas, kanker, paru-paru, penyakit kulit. Problem lingkungan hidup merupakan masalah khas yang senantiasa akan muncul dalam sistem, kehidupan modern yang bercorak kapitalistik/sistem kapitalistik memandang lingkungan atau alam ini sebagai sarana produksi yang mesti harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Jumlah penduduk dunia akan cenderung bertambah melebihi pertumbuhan produksi (Barang dan Jasa). Oleh karena itu pengurangan ledakan. penduduk merupakan suatu keharusan yang dapat tercapai melalui bencana kerusakan lingkungan hidup, kelaparan, perang atau pembatasan kelahiran. Sejalan dengan itu untuk memperbanyak jumlah barang dan jasa, maka dilakukan ekspolitasi secara besar-besaran terhadap sumber daya alam tanpa memperhitungkan resiko yang timbul.  

Pembangunan yang dilakukan di berbagai negara telah menimbulkan masalah ketidak adilan, baik untuk tingkat nasional maupun internasional. Meningkatnya jumlah produksi pangan tidak secara otomatis mampu, mengatasi masalah kemiskinan dan kelaparan. Di negara berkembang, banyak di jumpai masyarakat yang tidak mempunyai sumber daya yang di perlukan untuk mencukupi  kebutuhan minimal.

Global Warning

Tiadanya distribusi yang adil telah mengakibatkan jutaan orang terus-menerus berada dalam keterbelakangan  dan kemiskinan. Jika diamati maka sumber pencemar utama adalah transportasi, kebakaran hutan, limbah rumah tangga, limbah tambang, dan limbang industri.  Dampak negatif akibat menurunnya kualitas udara cukup berat terhadap lingkungan terutama kesehatan manusia yaitu : menurunnya fungsi paru, peningkatan penyakit pernapasan, dampak karsinogen dan beberapa penyakit lainya. Selain itu pencemaran udara dapat menimbulkan bau, kerusakan materi, gangguan penglihatan, dan dapat menimbulkan hujan asam yang merusak lingkungan, yang kemudian timbul adanya Global Warning.

Terjadinya Global Warning diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak tepat. Pengelolaan hutan yang salah dan menyebabkan hutan tropis hancur serta tidak memberikan manfaat yang signifikan baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitarnya. Yang mengeruk keuntungan adalah pengusaha yang secara semena-mena telah menghancurkan hutan yang menjadi tempat menyimpan air dan penghasil oksigen bagi mahluk hidup dan tempat hidup flora dan fauna. Pengelolaan yang salah menyebabkan bencana banjir dan dampak lingkungan lain, rakyat yang sudah miskin tetap miskin dan bahkan menjadi lebih miskin karena hutannya sudah hancur. Bertambahanya suhu global yang tidak dapat dicegah lagi dan bahwa perubahan iklim mungkin sudah terjadi sekarang.

Kini, pertumbuhan menjadi target satu-satunya dari pembangunan ekonomi sehingga sumber daya alam hanya dilihat dari fungsi produktifnya. Akibatnya, eksploitasi yang melampaui batas terhadap alam dan sesama manusia terjadi dalam tingkatan yang tak terbayangkan. Pembabatan hutan, pembukaan areal tambang, pembangunan pabrik dan pendirian pusat-pusat perbelanjaan terjadi dalam skala yang masif.

Kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat selama beradab-abad dalam korelasi mereka dengan lingkungan sosial mereka disingkirkan dengan semena-mena. Agaknya, abad ini, saat bencana terjadi secara beruntun dan dalam skala yang masif, kita harus mulai menengok ulang paradigma pembangunan kita. Paradigma mengejar pertumbuhan ekonomi sudah saatnya dihentikan. Yang kita perlukan saat ini adalah pendistribusian ekonomi dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, baik secara sosial maupun lingkungan hidup. (Penulis adalah aktivis NGO, tinggal di Kota Medan).

()

Baca Juga

Rekomendasi