Ketimpangan Pelayanan Publik

Oleh: Partahanan Simbolon. Produk konseptual dalam membangun negara ini penulis rasa sudah amat banyak dipraktikkan dalam membangun kekuatan bangsa. Namun dalam pemuatan pembentukan konseptual tersebut, belum mempertimbangkan sisi kefilsafatan dan sosiologis dalam menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwasanya ranah pola pikir pemimpin-pemimpin kita dalam menghasilkan produk kebijakan dengan pendekatan politik untung-rugi.  Sehingga dalam pola hubungan yang dibangun merupakan ruang lingkup tatanan budaya negatif. Seperti halnya menuai tanggapan persepsi yang skeptis dan apatis terhadap pembangunan ketatanegaraan.

Dalam pandangan publik sangat jelas terlihat bahwa kekuasaan semata-mata hanya digunakan untuk kepentingan personal/kelompok. Terlihat dari rasa skeptis dan apatis yang ditorehkan masyarakat dalam membentuk sebuah sistem kepercayaan kepada struktur ketatanegaraan.

Oleh sebab itu masyarakat non pemerintah lebih fokus dan cenderung terhadap permasalahan pribadinya. Yaitu : pekerjaan, urusan rumah tangga, dan kebutuhan rumah tangga. Namun hal yang paling nyata dirasakan  dari kemunduran bangsa ini adalah rasa skeptis dan apatis turut mempengaruhi mahasiswa.  Terbukti dari menurunnya pergerakan mahasiswa dalam memerhatikan permasalahan bangsa dan negara. Padahal mahasiswa yang notabenenya adalah agent of change (agen perubahan) dalam pengertian luas khalayak umum seperti tidak tergambarkan lagi pada dewasa ini.

Sikap dan rasa seperti ini lah yang terpupuk  sejak lama dalam kepribadian masyarakat nilai-nilai negatif tersebut telah mendistorsi secara eksplisit mental masyarakat Indonesia, dan telah terintegrasi dalam sikap dan cara pandang melihat negara. Peranan negara bersama pemerintah sangat dibutuhkan dalam membangun kembali hubungan relasi kepercayaan masyarakat terhadap sistem ketatanegaraan, agar kedepannya perjalanan negara Indonesia dalam membangun kerangka yang kuat disetiap lini segera terealisasikan.

Sederhana saja, seperti yang kita ketahui negara bersama pemerintah adalah jelmaan kristalisasi dalam pengertian pelayan publik. Karena sifat utama pemerintah dalam negara  adalah sebagai  agen pelayanan publik, Bukan malah sebagai agent yang dilayani publik. Oleh sebab itu sudah selayaknya pemerintah memahami peranannya dalam struktur negara/masyarakat. Karena dengan begitu pemerintah bisa menjalankan fungsinya sebagai agent pelayan publik.

Dalam kasus pemerintah sebagai alat negara. perlu dipahami bahwasanya pemerintah akan sangat dirasakan peranannya apabila pemerintah dapat menjalankan peranannya sebagai agen pelayanan publik. Memang pada dasarnya  pengertian pelayan publik dalam praktiknya sangatlah luas. Namun  dalam hal ini kita mengartikannya sebagai penerbit kebijakan yang langsung dapat dirasakan masyarakat umum. Seperti: dalam penyediaan infrastruktur (fasilitas) publik, sumber daya kepada masyarakat (pendidikan dan kesehatan), dan melindungi kelompok minoritas, rentan, miskin dan terisolasi. Karena ketiga poin kebijakan ini dinilai sebagai hal yang utama  dan paling utama dirasakan masyarakat.

Ketimpangan

Tetapi sebelum merealisasikan ketiga poin kebijakan tersebut ada hal yang paling perlu diperhatikan, yaitu kemampuan pemerintah dalam mencegah sebuah ketimpangan. Karena seringkali pemerintah hanya mampu merealisasikan  kebijakan secara memusat. Kalaupun ada maksud yang serius dalam pemerataan kebijakan, pada akhirnya hasil yang diperoleh adalah kesia-siaan. Yaitu tidak berdampak signifikan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi rakyat. Karena sudah mengalami potong sana-sini. Pada akhirnya struktur birokrasi yang busuk merupakan sumber masalah dan kekacauan. Akibatnya konsep pelayanan publik berevolusi menjadi alat strategis dalam pemenuhan kebutuhan segelintir orang-orang yang korup dan tidak bertanggung jawab.

Kontrol yang ekstra sangat dibutuhkan dalam menuntaskan kepentingan tersebut. Kemauan untuk turun ke sumber penggerak kebijakan sangat dibutuhkan. Tendensi prilaku yang buruk dari sifat birokrasi negara ini sudah sangat kronis mendistorsi kinerja pemerintahan dalam negara.  Oleh karena itu sangat susah untuk menjalankan kebijakan-kebijakan yang strategis secara bersama-sama. Karena ketidakmampuan yang disebabkan oleh prilaku malas dan korup yang dicirikan orang-orang di birokrasi pemerintahan, sebut saja PNS.

Aturan atau regulasi yang telah dibuat tidak cukup untuk mengubah paradigma dan tingkah laku yang lama. Sikap blusukan yang ditoreh Jokowi dalam agenda kerjanya patut ditiru dalam memperbaiki situasi birokrasi pemerintahan Indonesia. Untuk semua pemimpin yang bertebaran di republik ini, baik itu presiden, gubernur, bupati/wali kota, dan kepala desa. Sudah selayaknya memasukkan aksi blusukan sebagai agenda kerja profesi.

Karena banyak sekali kebijakan di Indonesia yang berakhir naas di birokrasi pemerintahan. Sebagai salah satu contoh adalah kasus BLSM. Lihatlah dalam praktik penyaluran dana tersebut, banyak ketimpangan–ketimpangan yang keliru. Contoh yang paling sederhana berikut dalam menggambarkan prilaku pegawai birokrasi yang korup adalah kasus KTP-Elektronik. Pada hakikatnya sudah ditetapkan oleh Mendagri bahwasanya dalam pembuatan KTP-Elektronik gratis. Namun pada praktiknya ada saja oknum-oknum nakal yang bermain.

Distribusi

Oleh karena itu dalam mendistribusikan kebijakan diperlukan kontrol yang ekstra, agar kebijakan tersebut dapat dilaksanakan dengan sebijak-bijaknya untuk kepentingan rakyat dan khalayak umum. Yaitu secara efektifitas, efesiensi dan berkeadilan. Efisien dalam arti bahwasanya kebijakan tersebut diperlukan untuk mencapai secara langsung atau mengena langsung kepada masyarakat yang ditargetkan. Efektifitas diperlukan untuk mencapai sebuah tujuan utama dari kebijakan tersebut, yaitu mengentaskan masalah yang ada pada masyarakat.    

Penulis adalah Kordinator Kelompok Diskusi dan Menulis (KDM) UK-Kmk St Martinus Universitas Negeri Medan

 

()

Baca Juga

Rekomendasi