Oleh: Adelina Savitri Lubis. SEORANG wartawan tidak hanya cakap dalam menembus sumber berita di lapangan, tapi juga harus cerdas menyampaikan informasi yang diberitakan melalui berita dan tulisannya. Idealnya seorang wartawan harus mampu memberikan laporan peristiwa yang memiliki bobot nilai yang bagus terhadap masyarakat. Bukan hanya pintar ‘mengcopy paste’ rilis berita seremonial atau konferensi pers. Seorang wartawan adalah orang yang memiliki kecurigaan yang sangat tinggi, tidak pernah percaya terhadap sebuah informasi.
“Hakikatnya wartawan mencari pembenaran yang benar, penuh uji-uji untuk menemukan kebenaran itu,” ungkap Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Sumatera Utara (PWI Sumut), Drs. Muhammad Syahrir.
Berikut Petikan wawancaranya bersama Analisa, Kamis (30/1) di Kantor PWI Sumut.
Analisa: Seperti apa tumbuh kembang pers di Sumut, menurut kacamata PWI Sumut?
Syahrir: Pertama, Sumut paling menarik. Menurut data di dewan pers, jumlah media di Sumut merupakan ketiga terbesar di Indonesia. Artinya ini menunjukkan dinamika pers di Sumut tumbuh luar biasa. Undang-Undang Nomor 40 memberikan keleluasaan bagi siapa pun untuk mendirikan perusahaan pers. Kedua, bagi sudut pandang PWI Sumut, apabila terjadi tutupnya sebuah media, maka tak berapa lama muncul lagi media baru. Dengan kata lain mendirikan perusahaan pers itu dianggap begitu sederhana. Padahal aturan yang ada dalam Dewan Pers, menyebutkan UU No. 40 memberikan kebebasan bagi siapa pun. Namun tafsiran mengenai itu tidak serta-merta bisa suka-suka hati. Hal ini lah yang berdampak pada munculnya wartawan tanpa surat kabar. Masalah ini tidak hanya terjadi di Sumut, bahkan hampir di setiap daerah di Indonesia. Inilah dampak dari sebuah kebebasan itu. Padahal tafsiran dari kebebasan dan kemerdekaan yang ditafsirkan dari UU No. 40 itu bukan bebas mendirikan media atau menjadikan diri kita sebagai seorang wartawan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk mendapatkan informasi.
Analisa: Wartawan tanpa surat kabar tadi bisa kita sebut sebagai wartawan gadungan?
Syahrir: Masalahnya wartawan jenis ini tidak bisa dikatakan sebagai wartawan gadungan, karena di UU No. 40, tidak menyebutkan istilah wartawan gadungan. Kalau dulu, di era PWI kala menjadi satu-satunya organisasi wartawan yang diakui oleh pemerintah. Ada aturan yang menyebutkan, apabila ada wartawan yang bukan anggota PWI, dianggap sebagai wartawan gadungan. Sekarang kan tidak, siapa pun berhak. Hanya sampai detik ini, dewan pers telah melakukan verifikasi terhadap organisasi-organisasi wartawan yang ada selama ini. Dan berdasarkan keputusan dewan pers, baru tiga organisasi wartawan yang sudah diverifikasi, yakni PWI, AJI dan IJTI. Pertanyaan apakah organisasi wartawan selain tiga tadi adalah sah, atau tidak sah. Kita tidak berani mengatakan itu tidak sah. Paling tepat mengatakannya adalah tidak memenuhi syarat verifikasi. Sama dengan partai politik. Agar lolos verifikasi ini pun tidak gampang. Ada syarat dan ketentuannya. Misalkan, jumlah anggota organisasi sampai dengan 500 orang, memiliki kode etik jurnalistik. Salah satu pasal di dalam UU No. 40 juga menyebutkan, setiap wartawan bebas untuk memilih salah satu organisasi wartawan.
Analisa: Jika tafsiran kebebasan saja sudah salah, ditambah lagi tingkah laku wartawan gadungan tadi. Apakah PWI pernah mendapatkan pengaduan dari nara sumber berita; pejabat pemerintahan pun pengusaha?
Syahrir: Cukup banyak pejabat yang mengeluhkan tentang persoalanan wartawan, kala melaksanakan tugasnya di lapangan. Para pelapor itu mengadu dan meminta PWI untuk menertibkan wartawan yang berkasus. PWI tidak memiliki wewenang untuk melakukan penertiban. Kalau dulu memang PWI memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban. Sekarang tidak. Jika ada kebijakan pemerintah yang mengatur mengenai kewenangan PWI untuk melakukan penertiban, tentu kami siap melakukannya. Ini kan melanggar UU No. 40. Oleh karena itu, kami katakan pada para pelapor itu, untuk melakukan penyeleksian secara logis dan umum, terhadap wartawan yang tidak memenuhi syarat melakukan tugas di lapangan; wawancara. Hampir tiap minggu orang memeberikan tembusan, surat keberatan, klarifikasi kepada PWI Sumut. Apa yang bisa kita lakukan? PWI tidak memiliki kewenangan. Jika dulu betul PWI memiliki kewenangan itu, karena pelaku atau orang yang dianggap melanggar kode etik jurnalistik adalah anggota PWI.
Analisa: Apa tugas wartawan menurut UU nomor 40?
Syahrir: Wartawan adalah orang yang melaksanakan tugas jurnalistik secara baku. Jika ada wartawan yang meminta uang, melakukan pemerasan. Itu namanya bukan wartawan, tapi pemeras. Kalau ada wartawan yang menjadi calo, tapi menyebut dirinya sebagai wartawan, itu calo bukan wartawan. Dengan “keresahan” yang sudah dirasakan banyak pihak, pemerintah melalui dewan pers melakukan upaya penertiban. Salah satu upaya itu adalah melakukan uji kompetensi terhadap wartawan. Yang terjadi saat ini, wartawan itu bukan lagi ditafsirkan sebagai profesi, melainkan sebagai pekerjaan. Artinya, jika itu dianggap sebagai pekerjaan, siapa pun bisa melakukannya. Profesi itu, tentu harus profesional. Wacana yang dihembuskan oleh dewan pers, mereka akan menerapkan pola sertifikasi kepada seluruh wartawan. Terkait itu PWI Sumut cukup getol melakukan uji kompetensi terhadap wartawan. Sampai saat ini sudah angkatan kelima.
Analisa: Berapa jumlah wartawan yang sudah disertifikasi di Sumut ini?
Syahrir: Jumlahnya ada 200 wartawan yang sudah disertifikasi, dan 80-90 persennya merupakan anggota PWI Sumut. Kita akan mendorong dewan pers, untuk menjadikan uji kompetensi (sertifikasi) ini sebagai sebuah peraturan. Tujuannya untuk menjaga harga diri seorang wartawan. Jujur saja, saat ini kita seharusnya malu menyatakan diri kita sebagai wartawan. Karena dianggap orang, dengan uang Rp10.000 atau Rp 20.000 selesai. Itu anggapan orang terhadap harga seorang wartawan. Padahal wartawan itu merupakan pekerjaan yang mulia. Wartawan itu mewartakan sebuah informasi kepada masyarakat. Ini ulah segelintir orang. Jika tidak ada tindakan. Ini akan menjadi racun bagi profesi wartawan. Malah trendnya sekarang, berdasarkan pengakuan humas-humas di daerah, menjelang natal dan lebaran, jumlah wartawan meningkat tiga kali lipat. Wartawan di masa kini pun, sudah bersikap seperti hakim, polisi, jaksa melakukan justifikasi terhadap sumber berita yang ditulis. Ini yang harus kita telaah. Wartawan itu hanya menyampaikan informasi kepada masyarakat, dan yang menilai itu adalah masyarakat. Ini yang harus digarisbawahi. Justru yang harus kita pertegas dalam berita adalah memberikan penyadaran bahwa hukuman yang paling berat itu adalah hukuman moral yang diberikan masyarakat.
Analisa: Artinya PWI Sumut melihat banyak media yang memuat berita-berita yang tidak berimbang?
Syahrir: Sebagai sebuah informasi, sejatinya seorang wartawan harus memberikan informasi yang berimbang. Lengkapi data-data. Lakukan check dan richeck. Terkadang ada media, karena ada “kepentingan” tertentu memojokkan sumber berita dan hanya memuat konfirmasi terkait masalah itu hanya satu alinea. Itu pun sering menggunakan kalimat seperti si x saat sedang dikonfirmasi tidak dapat dihubungi. Atau kalimat yang paling sering, saat si x didatangi ke kantornya, sedang tidak berada di tempat. Idealnya berita berimbang; berita yang profesional itu harus memuat pernyataan yang berimbang dari sumber-sumber berita yang kita beritakan. Dalam menulis berita, seorang wartawan tidak boleh larut. Jangan mainkan emosi pribadi dalam berita yang ditulis. Prinsipnya wartawan itu adalah orang yang memiliki daya intelektual yang tinggi, tingkat intelegensi yang tinggi, daya jelajah yang kuat, daya serap yang baik. Itu baru wartawan. Malah yang banyak terjadi saat ini, gara-gara kepentingan yang sedikit, justru rusak citra media dan wartawan itu.
Analisa: Seburuk itukah wartawan saat ini pak?
Syahrir: Itu fakta. Citra wartawan saat ini buruk di mata pejabat; khususnya wartawan di daerah-daerah. Dilematisnya lagi pejabat-pejabat juga memiliki mentalitas yang buruk. Pertanyaannya, mengapa sebagian pejabat begitu mudahnya memberi. Artinya kalau tidak terjadi apa-apa, tidak mungkin pejabat itu mau memberi. Kalau dia jalan lurus, kenapa harus takut? Pasalnya karena dia (pejabat) itu jalannya belok-belok, maka ini dianggap sebuah peluang bagi orang-orang yang menyebut dirinya sebagai wartawan untuk mendapatkan sesuatu. Menurut saya angka pengangguran itu sudah tidak ada lagi. Orang-orang yang menganggur itu justru menjadikan profesi wartawan sebagai pekerjaan. Kalau tidak wartawan, LSM. Bahkan preman pun di masa kini sudah tak ada lagi. Perhatikan saja, kalau tidak wartawan, LSM atau OKP. Itu cerita buruk mengenai wartawan. Coba pikirkan kawan-kawan jurnalis yang 24 jam berada di lapangan untuk memberikan informasil kepada masyarakat. Makan tidak jelas, saat hari raya; tahun baru atau pun Natal, kawan-kawan itu masih di lapangan, menyampaikan informasi. Disini banjir, disana macet. Taruhannya adalah nyawa. Persoalanan bencana, seperti diskusi yang PWI Sumut lakukan kemarin, menghadirkan pihak BNPB. Disampaikannya, ada beberapa daerah, dimana BNPB tidak mengetahuinya tapi daerah-daerah yang merasakan penderitaan atas bencana itu, justru mereka (BNPB) ketahui melalui wartawan. Artinya betapa pentingnya sosok wartawan ini. Sepatutnya kita bangga. Sayangnya ini akan berbanding terbalik dengan orang yang merusak citra wartawan. Padahal, dalam menembus sumber berita cukup banyak wartawan yang mengalami kesulitan. Dihalang-halangi dalam mencari informasi, bahkan mendapat perlakuan yang buruk dan dipukuli. Ini yang harus kita lawan. Sekarang ini tidak ada lagi main tutup-tutup mengenai informasi. Saat ini informasi itu terbuka dan jelas. Harapan kita wartawan itu melengkapi data-data berita dan memenuhi kode etik jurnalistik termasuk memenuhi unsur 5 w + 1 H. Sehingga kalau terjadi persoalanan apa pun pasca pemuatan berita itu, wartawan sudah siap.
Analisa: Artinya jika data belum lengkap, berita tidak layak muat?
Syahrir: Betul. Kita tidak bisa menyampaikan berita itu secara suka-suka. Pada era orde baru dulu, ada baiknya. Ada SIUP, ada aturan, ada tataran. Bukan berarti itu kita anggap baik, tapi setidaknya itu membatasi dan menjaga profesionalitas wartawan. Saat ini, orang yang tinggal di dekat rumahku. Dulu seorang tukang tambal ban, sekarang dia sudah menjadi pemred. Siapa yang bisa melarangnya? Tukang beca saja, sudah berani mengatakan, “ketua, sama kita sekarang. Pemred!”
Peluang ini memberikan kesempatan kepada siapa pun, untuk menjadikan wartawan sebagai pekerjaan yang mudah dikerjakan. Berapa persen wartawan, yang mengaku wartawan itu paham kode etik wartawan? Tidak lebih dari 20 persen. Kalau membaca, memang mereka baca. Pemahaman mengenai KEJ itu tidak lebih dari 20 persen. Ini merupakan persoalanan, harus dihadapi. PWI mendorong, agar UU no. 40 direvisi. Pertegas dalam undang-undang-undang itu. Undang-undang itu di dalamnya bersifat umum dan penuh dengan multitafsir. Oleh karena itu undang-undang harus mempertegas apa yang dimaksud dengan wartawan. Sebutkan apa-apa saja syarat menjadi wartawan.
Analisa: Masalahnya tidak ada efek jera yang muncul, paling penyelesaiannya adalah memuat hak jawab di media bersangkutan. Bagaimana itu?
Syahrir: Ada yang menarik, di masa orde baru dulu kewartawanan itu berada di satu kementrian; Kementrian Penerangan. Sekarang untuk menangani persoalanan kewartawanan itu namanya dewan pers, jumlahnya tak lebih dari sembilan (9) orang. Tidak ada di daerah. Bagaimana mungkin, dengan dinamika pers yang luar biasa ini mereka mampu bekerja maksimal? Apakah pemerintah sedang mengobok-obok pers atau apa? Seharusnya bentuk dewan pers di tingkat provinsi hingga ke kabupaten kota. Tujuannya untuk bantu mengawasi. Terkait anggaran bisa diminta kepada pemerintahan daerah setempat. Apalagi pers itu merupakan pilar keempat dari proses demokrasi. Kenapa kita dibiarkan liar? Mengapa UU nomor 40 itu tidak memiliki peraturan presiden. Dilemanya karena kita tidak mau dihalang-halangi, kita tidak mau dikontrol. Karena ini adalah kebebasan.
Analisa: Bagaimana dengan persoalanan kesejahteraan wartawan?
Syahrir: Dalam UU No. 40 poin kesejahteraan juga diatur, dalam aturan dewan pers juga diatur. Itu tanggung jawab perusahaan pers. Artinya disini PWI Sumut mendorong agar perusahaan pers ikut pada aturannya. Jika mau jujur, berapa persen perusahaan pers di Sumut yang sehat? Jika dihitung jari mungkin tidak lebih dari jumlah jari-jariku ini. Dalam aturan dewan pers disebutkan, gaji wartawan itu di atas upah minimum provinsi. Persoalanan di daerah yang terjadi, menjadi wartawan itu, dasarnya suka sama suka. Terkadang ada kewajiban untuk menaikkan oplah. Inilah yang membuat profesi wartawan itu menjadi tidak menarik di mata kita. Wajar kalau orang melihat profesi wartawan itu dipandang sebelah mata. Jadi jangan bangga menjadi wartawan. Saat ini rating yang sedang naik adalah wartawan televisi. Karena jelas. Wartawan cetak paling rentan disaru orang. Ada lagi wartawan online dan fungsinya juga sama dengan wartawan secara umum, mengabarkan informasi. Inilah masalah-masalah yang dihadapi organisasi-organisasi kewartawanan. PWI, secara lembaga saat ini mengarah pada kompetensi wartawan. Kartu uji kompetensi wartawan itu tidak pakai periodesasi, berlaku seumur hidup selama dia menjadi wartawan. Kartu bisa dicabut oleh dewan pers, jika kita melanggar kode etik wartawan. Ini merupakan salah satu cara untuk menjaga nama baik profesi wartawan. PWI juga melakukan sosialisasi kepada kepala-kepala daerah, menyampaikan perihal kartu kompetensi wartawan ini. Ke depan persoalanan uji kompetensi ini menjadi catatan. Nara sumber berhak untuk tidak melayani wartawan yang tidak memenuhi standar kompetensi. Dengan kata lain, seorang wartawan tak cukup diakui kewartawanannya hanya dengan menunjukkan kartu pers semata, tapi harus menyertakan kartu kompetensi kewartawanannya.