Plagiat dalam Dunia Pendidikan

Oleh: Andryan, SH. Perjuangan pendidikan Indonesia dengan berbasis karakter bangsa seakan kembali menemui jalan terjal. Hal ini mengingat masih tingginya angka kecurangan dalam pendidikan kita, salah satunya yakni masih suburnya plagiator atau orang yang menjiplak karya orang lain. Sungguh ironis manakala kita melihat pemberitaan di media nasional beberapa waktu lalu, seorang Rektor Universitas Kristen Maranatha (UKM), Dr dr Felix Kasim MKes akhirnya dicopot karena diketahui lagi-lagi menjiplak karya tulis.

Sangat prihatin melihat kasus memalukan dalam dunia pendidikan kita. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa Felix Kasim diduga telah melakukan plagiarisme terhadap sejumlah karya ilmiah mahasiswanya. Bahkan, dugaan plagiat tersebut semakin menguat karena dibenarkan oleh sejumlah pihak, dan beberapa mahasiswa juga sudah mengetahui terhadap perbuatan sang pimpinan universitas tersebut.

Banyak pihak yang membenarkan bahwa Felix telah melakukan plagiat. Salah satunya adalah karya seorang mahasiswa, Andini D Anjani, berjudul Studi Kasus Program Pelayanan Kesehatan Dasar Gratis di Kota Banjar. Oleh buah tangan Felix, karya tulis tersebut dikutip untuk dijadikan makalah pada sebuah acara di Yogyakarta. Ironisnya, karya sang mahasiswanya lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Untuk mengelabui, maka Felix mengubah judul skripsi Andini itu menjadi A Case Study Free Basic Health Services in Banjar City West Java. Sang mahasiswa yang mempunyai karya tulis tersebut, Andini, diketahui saat ini telah lulus dari UKM dan kini mengabdi sebagai dokter di Banjar.

Sesungguhnya kasus plagiator atau penjiplakan karya tulis bukanlah hal yang baru di republik ini. Tentu masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu pada suatu universitas di pulau jawa, seorang guru besar yang telah menyandang puncak gelar akademis, akhirnya harus rela dicopot gelarnya tersebut karena diketahui menjiplak karya tulis yang dimuat di sebuah Jurnal Internasional. Kasus yang dialami sang guru besar tersebut termasuk langkah yang sangat berani dilakukan. Hal ini karena hasil karya tulis plagiatornya sebelumnya merupakan karya tulis seseorang di kolom opini harian terbesar di Indonesia.

Kasus plagiat tidak hanya terjadi pada kampus-kampus swasta saya, melainkan masih bergentayangan terjadi di perguruan tinggi yang memiliki ranking terbaik secara nasional, seperti ITB (Institut Teknologi Bandung), UI (Universitas Indonesia) Jakarta, UNPAR (Universitas Katholik Parahyangan) Bandung, UNRI (Universitas Negeri Riau) Pekanbaru, dan UNG (Universitas Negeri Gorontalo) di Sulawesi.

Degradasi Karakter Bangsa

Kasus plagiat karya tulis yang dilakukan para akademisi dalam dunia pendidikan kita tentu saja menambah daftar panjang akan lunturnya karakter bangsa. Di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara dengan arus globalisasi, bangsa kita sangat mudah terendus oleh sikap negatif dengan mengutamakan tindakan pragmatisme. Sudah setengah abad lebih negeri kita merdeka dari kungkungan para penjajah, tetapi bangsa kita belum menunjukkan sikap sebagai bangsa yang memiliki karakter kuat dengan berbuat jujur dan bersih terutama dalam hal pendidikan.

Para plagiator dapat saja kita samakan sebagai seorang koruptor, bahkan lebih beringas juga disebut sebagai seorang teroris. Hal ini bukanlah tanpa alasan, sebab plagiator merupakan sebuah musuh dalam selimut yang hanya mengejar keinginan pribadi tanpa menghiraukan jerih payah orang lain. Meskipun demikian, adakah sanksi yang diberikan terhadap para plagiator yang sebagian besar dilakukan para akademisi dalam dunia pendidikan Republik ini?

Pasal 12 ayat 3 Permendiknas No. 17/2010, menyebutkan bahwa sanksi bagi dosen, peneliti, dan tenaga kependidikan yang terbukti melakukan plagiat bisa berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak kepada mereka, penurunan pangkat dan jabatan akademik/fungsional, pencabutan hak untuk diusulkan sebagai guru besar/professor/ahli peneliti utama, pemberhentian dengan hormat atau tidak hormat dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga kependidikan, atau pembatalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Namun, apabila pelaku plagiat itu adalah seorang guru besar/professor/ahli peneliti utama, maka mereka dijatuhi sanksi tambahan berupa pemberhentian oleh Menteri atau pejabat yang berwenang.

Selama ini para plagiat hanya diberikan sanksi berupa pemecatan dari jabatan serta pencabutan gelar akademis. Akan tetapi, sanksi yang diberikan kepada para plagiat tersebut terkesan tidak dapat memberikan efek jera. Bahkan, bukan kali pertama para plagiator yang diberikan sanksi dari lembaga pendidikan, tetap saja melakukan perbuatan plagiatnya di kemudian hari. Hal ini tentu saja mengundang keprihatinan kita terhadap karakter bangsa yang semakin terdegradasi oleh para plagiator.

Plagiat dalam Dunia Pendidikan Kita

Meskipun kasus plagiat sering dilakukan para pendidik atau akademisi untuk dapat menunjang jabatan dan gelar akademisnya, akan tetapi sesungguhnya plagiat dalam dunia pendidikan kita telah merasuki hampir semua elemen pendidikan. Elemen yang dimaksudkan tersebut tentu saja terhadap para pelajar atau mahasiswa di sebuah lembaga pendidikan tersebut. Tidak dapat kita pungkiri bahwa para pelajar maupun mahasiswa sering terlibat melakukan plagiarisme dalam melakukan berbagai tugas perkuliahan serta tugas akhir berupa skripsi, tesis maupun disertasi sekalipun.

Perbuatan plagiat bukanlah sesuatu hal yang asing dalam dunia pendidikan kita. Oleh karenanya, pendidikan kita pun telah tersangkut penyakit yang amat sangat kronis. Hal ini pun semakin diperparah apabila terjadi pembiaran yang terus-menerus dalam mengatasi persoalan plagiarisme. Maka, pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat karakter bangsa telah menjadi pepesan kosong akibat plagiarisme yang semakin tumbuh subur dan melekat dalam dunia pendidikan kita.

Untuk itu, hal yang semestinya perlu dilakukan untuk meredam aksi plagiarisme dalam dunia pendidikan adalah dengan kembali memberikan pengajaran, pembekalan serta bimbingan dari para pengajar kepada peserta didik untuk tidak terjebak dalam aksi plagiarisme. Tentu saja pengajaran, pembekalan dan bimbingan dari para pengajar tersebut harus pula berawal dari terbebasnya para pengajar/akademisi dari aksi plagiarisme.

Hal ini tentu agar para pengajar/akademisi dapat memberikan contoh yang baik kepada generasi muda untuk tidak melakukan plagiat. Semoga kedepannya, pendidikan yang menjadi roh dalam pembangunan karakter bangsa suatu negara dapat segera terbebaskan dari segala aksi plagiarisme.***

Penulis adalah Alumnus FH. UMSU

()

Baca Juga

Rekomendasi