Oleh: Lea Willsen. DALAM sebuah iklan cat (tanpa menyebut merek), diceritakan seorang tukang cat baru saja selesai mengecat sebuah bangku di sebuah taman, kemudian ketika ia baru akan memasang sebuah kertas peringatan agar pengunjung taman tidak menduduki bangku itu, angin menerbangkan kertas, sehingga si tukang cat harus berlari jauh mengejar arah terbangnya kertas itu.
Lalu, selang beberapa saat, setelah si tukang cat kembali lagi dengan kertas itu, ternyata bangku telah diduduki seorang perempuan yang mengenakan busana putih. Si tukang cat – yang mungkin diceritakan sebagai seorang tunawicara – pun dengan paniknya menunjukkan tulisan peringatan pada kertasnya kepada si perempuan. Sampai di sini iklan masih tidak bermasalah.
Tapi, segmen berikutnya kemudian memerlihatkan si perempuan dengan paniknya berdiri, dan menyingkap roknya tinggi-tinggi, yang kemudian diikuti sebuah tulisan sensor ecek-ecek yang menutupi bagian yang agak sensitif.
Sepintas iklan tersebut seolah telah ditangani oleh pihak tertentu, agar jangan sampai kecolongan memerlihatkan hal yang tidak pantas kepada publik, dengan upaya diberikannya sebuah tulisan sensor yang menutupi bagian ‘itu’.
Lain cerita lagi dengan sebuah acara kontes nyanyi yang merupakan acara yang diimpor dari luar negeri, dengan penyanyi-penyanyi luar negeri berbusana ‘wah’ yang juga ditutupi dengan mozaik –sensor buram – pada bagian-bagian tertentu dari tubuh si penyanyi. Ada juga yang berupa video klik atau MV (music video) dari penyanyi luar negeri, yang ketika ditayangkan di Indonesia kemudian disensor.
Sah-sah saja apabila dengan polosnya kita beranggapan bahwa sensor-sensor tersebut telah bermanfaat sebagaimana mestinya dalam melindungi konsumsi publik. Namun, secara tidak langsung sebenarnya sensor-sensor tersebut juga ibarat pedang bermata dua, di mana justru akan memancing pikiran penonton pada hal yang tidak-tidak. Terlebih pada anak di bawah umur –mengingat tayangan-tayangan tersebut kerap hadir pada jam berapa pun – justru akan semakin terpancing untuk mencari tahu sendiri melalui cara-cara yang tidak benar, semisal fasilitas internet, baik melalui komputer, ponsel, atau warnet.
Lantas, apa bedanya ada atau tidaknya sensor? Tidak ada bedanya! Ibarat artis yang sengaja mengenakan busana transparan, disebut mengenakan busana, tetapi tetap saja mengumbar aurat secara tidak langsung, jika tak ingin dikatakan munafik.
Tayangan Vulgar Sudah Sering
Disadari atau tidak, sebenarnya tayangan vulgar sudah lama dan sering menjadi konsumsi publik, melalui sejumlah stasiun televisi lokal. Hanya saja, seringnya hal itu disuguhkan secara tidak langsung.
Sebut saja iklan oli dengan sudut pandang kamera yang sengaja menyoroti bagian tubuh perempuan yang sengaja memeragakan gerak-gerik vulgar, kemudian sebuah iklan sampo yang memperdengarkan suara desahan perempuan di kamar mandi, kalimat-kalimat yang ‘menjurus’, acara joget-joget erotis, dan masih banyak lagi.
Ada lagi sebuah iklan produk minuman yang menampilkan belasan atau puluhan gadis belia yang tengah berlari dan beraktivitas di pantai. Menurut sebuah tulisan yang sempat penulis baca, iklan tersebut sebenarnya tidak tepat sasaran, atau kurang efektif. Apabila kita coba menghitung antara durasi iklan yang menampilkan produk serta durasi yang menampilkan para gadis belia, ternyata produk itu memiliki porsi muncul yang lebih sedikit dari porsi muncul para gadis belia.
Katakanlah kalau adanya peran kaum hawa adalah sebuah strategi promosi yang jitu. Namun, sejauh ini strategi tersebut sebenarnya telah melenceng. Tujuan sebuah iklan adalah menawarkan produk, kemudian keberadaan kaum hawa adalah sebuah pelengkap. Namun, ketika peran itu terbalik, yang ditawarkan seolah justru si kaum hawa, sementara upaya menunjukkan kelebihan produk justru dikesampingkan. Benar, hal ini jelas tidak efektif.
KPI Harus Tegas
20 Juni 2013, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) diberitakan telah sempat menegur beberapa iklan yang ditayangkan pada sebelas stasiun televisi Indonesia, dan salah satunya adalah iklan cat yang diceritakan di awal tulisan ini. Iklan-iklan tersebut dianggap KPI tidak memperhatikan peraturan tentang siaran iklan, pembatasan muatan seksual, ketentuan tentang perlindungan kepada anak dan remaja, serta norma kesopanan.
Sayangnya, upaya KPI dalam menegur iklan-iklan tersebut hanya berujung dengan disensornya iklan tersebut, tetapi tetap ditayangkan. Terakhir, penulis sendiri mendapati iklan cat kembali ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi lokal, sekitar pukul dua belas siang, di awal Februari 2014.
Sekali lagi, tayangan vulgar yang disensor itu ibarat artis yang mengenakan busana transparan, sementara penonton – terlebih anak-anak – masih terpancing pada hal-hal berbau seksual. Penerapan sensor demikian ibarat sebuah pembodohan publik, di mana semestinya dalam teknik editing video itu memungkinkan kita untuk dengan tegas menerapkan cut atau mengganti segmen tertentu, atau sekadar crop bagian pinggang ke bawah dari si model perempuan, yang jelas lebih baik daripada tetap ditampilkan, tetapi dihalangi sensor.
KPI harus lebih tegas lagi. Jangan sampai di sini saja. Lanjutkan teguran lebih lanjut, atau beri sanksi yang tegas, agar iklan-iklan itu tidak merusak moral bangsa. Opsinya sederhana, terapkan cut pada segmen vulgar, atau crop secara total bagian vulgar itu, jika tidak ingin iklan itu sampai tidak ditayangkan.
Ucap kasarnya, jika hanya menerapkan sensor ecek-ecek, sebaiknya tak perlu munafik dan langsung saja ditayangkan tanpa sensor, sekiranya budaya negara kita memang sudah demikian merosot. Mengapa? Ya, karena pada dasarnya disensor atau tidak iklan tersebut tetap sama, bermuatan seksual. Sama halnya juga acara-acara impor yang menampilkan penyanyi luar negeri dengan busana vulgar, lebih baik tidak tayang sama sekali atau ditayangkan tanpa sensor, daripada diberi sensor ecek-ecek.
Banyak opsi yang dapat diterapkan, semisal menayangkan tayangan-tayangan vulgar hanya pada jam tayang dewasa – pukul 22.00 -03.00 – daripada menerapkan sensor pada jam tayang yang terjangkau oleh anak-anak. Hal itu seolah stasiun televisi lokal kita memang sengaja ingin menjual apa yang berbau seksual, karena hal itu memiliki rating tinggi, sekalipun menggadaikan moral bangsa! ***