Kisah Perempuan Penenun

Oleh: Damiri Mahmud. Tersebutlah Sisyphus sang terkutuk yang sia-sia dalam mitologi Yunani. Dengan setia dan penuh semangat dia memikul batu dari lereng ke puncak gunung. Pada tahta persemayaman Zeus mempersembahkan bebannya. Akan tetapi, tanpa belas kasihan, begitu tiba di puncak, Sang Zeus justru menendang persembahan itu hingga terguling kembali ke bawah. Namun Sisyphus tak peduli. Dia turun lagi, memungut batu kembali, memikulnya ke puncak, untuk kemudian ditendang lagi.

Demikian berlangsung berulang-ulang, tak henti-henti. Dan itulah siklus kehidupan Sisyphus yang ditatap Albert Camus sebagai justru kehidupan modern. Absurd dan sia-sia. Suatu saat Sisyphus akan mati. Tepat pada saat itu, menurut kaum eksistensialis seperti Camus, eksistensi manusia pun berakhir.

Dalam literature Islam ada klausul yang lebih rumit dari mitologi Sisyphus seperti yang terekam dalam ayat Al-Quran, “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai benangnya yang sudah dipintal kuat kemudian bercerai-berai kembali.” (QS 16: 92).

Perempuan itu adalah Reita, gadis bangsawan suku Quraisy dari bani Makhzum. Dia kaya-raya, sangat ingin bersuami. Namun tak juga mendapatkan jodoh sehingga perawan tua. Untung, kemudian Reita dipinang oleh bibinya sendiri untuk anak lelakinya yang masih muda dan gagah. Reita tentulah merasa senang bak mendapat durian runtuh. Akan tetapi, kalau tidak ada berada masakan tempua bersarang rendah. Rupanya maksud sang bibi dan calon suami hanyalah untuk menguasai hartanya. Setelah mereka berumah tangga, mulailah lelaki itu minta uang dalam jumlah yang banyak dengan alasan untuk modal membentuk kafilah dagang sendiri. Reita menyerahkan hartanya dengan tulus dan senang hati. Namun uang ini dijadikan untuk berfoya dan kawin lagi. Kalau dibujuk supaya pulang, sang suami menjawab sinis, “Pulang? Kepada perempuan tua yang dungu?”

Reita terpukul dan sakit hati. Dia merasa putus harapan dan tersia-sia. Ketika kemudian dia kebingungan, tak tahu apa yang harus diperbuat, Reita tiba-tiba menemukan alat tenun peninggalan ibunya. Dia pun mulai kegiatan menenun dan mendapatkan keasyikan baru. Memintal benang helai demi helai. Setiap hari tanpa henti. Ketika benang tenunnya habis sementara dia pun keletihan, secara iseng, dilihatnya hasil tenunnya yang menumpuk warna-warni. Timbul pula rasa bosan dan dendam dalam hatinya. Seolah kain-kain tenun itu mengejeknya sebagai perempuan celaka.

Dengan geram kain-kain itu diurainya kembali menjadi benang. Tak tersisa sedikit pun. Benang-benang itu ditenunnya kembali. Diungkai kembali, ditenun lagi. Begitu berulang-ulang. Tanpa henti. Begitulah siklus kehidupan Reita sehingga menemui ajalnya.

Tampak jelas kisah di atas lebih kompleks dan rumit. Reita tidak hanya objek sebagaimana Sisyphus, tapi sekali gus subjek. Kompleksitas yang ambivalen inilah hakikat hidup seorang manusia. Namun kekeliruan Reita adalah setelah dia tersia-sia serupa Sisyphus, dia melawan atau berbuat sesuatu yang pada mulanya tampak bermanfaat namun kemudian menisbikannya sendiri menjadi suatu kemuakan dan rutinitas.

Mencermati kehidupan kita dewasa ini, rasanya ada relevansinya dengan nasib Sisyphus dan Reita. Dia tampaknya telah menjadi symbol kehidupan modern yang serba praktis, pragmatis dan serba instan. Kemudian menjurus kepada rutinitas tadi yang membosankan sehingga masing-masing mencoba mencari jalan keluar menurut cara dan jangkauan akal-pikirannya masing-masing.

Terlebih ayat di atas Allah lengkapi dengan amanat untuk menyiasati situasi dan kondisi suatu zaman. “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai-berai kembali. Dengan menjadikan sumpah (perjanjian) sebagai alat penipu di antara kamu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu; dan dihari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan.”

Sebagian besar kita seakan bernasib seperti Reita. Diberi janji-janji yang sangat memberi harapan dan muluk-muluk. Kemudian dilupakan, ditipu, disia-siakan dan akhirnya kebingungan. Hal ini terjadi berulang-ulang.

Krisis ekonomi tak pernah selesai-selesai seperti benang kusut yang terus diungkai kembali. Para pemimpin berusaha mencari kambing hitam. Misalnya dengan mengatakan laju atau perkembang-biakan penduduk tidak sesuai dengan produksi dalam negeri. Sementara sumber daya alam kita luar biasa kaya. China dan India yang jauh lebih padat penduduknya dan lebih sedikit sumber daya alamnya, bisa menggenjot laju produksi, ekonomi dan teknologinya sehingga muncul menjadi Negara raksasa ekonomi yang disegani.

Kemudian berlanjut dengan krisis politik hanya karena perbuatan para pemimpin munafik yang telah menggoyahkan pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Demi tujuan politik dan kekuasaan, tak segan-segan membuat rekayasa. Mengumbar janji, mengelabui rakyat. Memutarbalikkan logika umum, membuat intrik. Tak peduli harus menelan korban jiwa yang tak jarang tak pula sedikit. Saling mengklaim sebagi pihak yang paling benar, paling demokratis, paling reformis dan paling berhak memegang teraju negeri ini.

Padahal, belum terlalu lama kita melepaskan diri dari mesin kekuasaan yang dikomandoi seorang otoriter, tiranik, yang secara sistematis dan serakah menguras kekayaan alam yang berlimpah-ruah, menggadaikannya kepada kapitalis untuk kepentingan diri pribadi dan golongannya sendiri. Meninggalkan rakyat yang terus terpuruk dalam kemiskinan. Tak seorang pun pemimpin kita yang terdengar mau bertanggung jawab. Bahkan mencoba kembali mengulangi jejak para pendahulunya dengan trik dan metode yang lebih canggih dan sistematik.

Ada yang menarik, kedengaran up-to-date dan kontekstual dalam ayat di atas. …(janganlah) menjadikan sumpah (perjanjian) sebagai alat penipu di antara kamu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain…”

Bulan-bulan ini tengah marak-maraknya berbagai golongan atau partai menjajakan dagangannya supaya dikenyam oleh rakyat. Aneka sumpah dan janji dikemas dan ditabur untuk memikat kita. Mereka yang biasanya berdasi dan berkebaya apik, bersemayam di istana gading, kini turun dan hadir dalam berbagai kenduri rakyat, menjenguk orang sakit, mengulurkan bantuan ke perwiritan. Masing-masing mengumbar senyum dan penampilan yang simpatik supaya rakyat terpikat dan tergerak hatinya memilih dia.

Akan tetapi, apakah sejarah akan terulang, sebagaimana Reita menyulam dan kembali mengurai benang tenunnya, hidup tersia-sia. Setelah selesai hajatan dan “pesta demokrasi”, segala sumpah dan janji pun ikut ditutup. And the rest is silence. Selebihnya adalah sunyi? Rakyat tetap dengan nasibnya. Giliran pengumbar janji berpesta-pora. Meraup dan menerkam segala kesempatan menjadi mangsa. Kita sebagai Reita yang tercengang-cengang gigit jari. Melihat mereka tersenyum-senyum di layar televisi, digelandang KPK karena berbagai kasus korupsi. Atau melalap “daun-daun muda” di sana-sini.

Mereka rupanya menerapkan teori Adam Smith yang telah usang itu dengan baik sekali. Mengeluarkan modal dan ongkos produksi sekecil-kecilnya dengan mendapatkan keuntungan berlipat-ganda.

Mungkin para pemimpin kita itu lupa dengan peringatan Allah. “Dan janganlah kamu memberi dengan maksud memperoleh balasan yang lebih banyak” (QS 74:6).

Mungkin pula mereka lupa bahwa mereka bukan direktur sebuah perusahaan besar, tapi pemimpin rakyat, yang mestinya mengayomi rakyat dan membimbingnya.

Maka, sebaliknya, hendaknya kita jangan pula lupa. Supaya sejarah, yang menjadi siklus dan lingkaran setan itu, tidak berulang.

Pengamat budaya dan penulis beberapa buku.

()

Baca Juga

Rekomendasi