Maulana Syamsuri. Imran T.Abdullah, seorang putra asli Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), peraih doktor sastra dan dosen Sastra di Universitas Gajah Mada. Dosen tamu pula di Hankuk University Foreign Studies Soul, Korea Selatan, menulis esei sastra tentang matra-mantra. Dia mengemukakan, di NAD maupun di daerah lain telah tercipta ratusan mantra, merupakan sastra klasik yang semuanya tidak tertulis secara baku dan tidak jelas penciptanya. Sebelum pra Hindu, masyarakat Aceh sudah mengenal mantra sebagai puisi klasik.
Tradisi lisan yang paling awal dalam sastra Aceh adalah puisi klasik, yakni mantra. Pawanglah penyair pertama yang telah menciptakan puisi beraroma magis tersebut.
Mantra menurut pelajaran sastra, berarti puisi yang diresapi oleh kepercayaan akan dunia gaib. Irama bahasa sastra sangat penting untuk menciptakan nuansa gaib. Mantra timbul dari kepercayaan animisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mantra berarti perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib.
Mantra sebagai puisi magis mengenal beberapa ketentuan bunyi tertentu dengan pemakaian kata-kata tertentu pula agar dapat mendatangkan kekuatan gaib dan pengucap dapat menguasi kekuatan, menurut yang dikehendakinya. Dalam berbagai upacara, mantra-mantra diucapkan dengan suara yang terang, lantang dan keras. Suara dalam hal ini berfungsi pula untuk mengundang kekuatan gaib. Sifatnya yang magis itulah, maka puisi mantra tidak berubah dalam struktur ikatannya.
Pada masa lalu masyarakat di kawasan NAD percaya, bayi yang baru lahir selalu diganggu syetan jahat. Ketika itu bantuan pawang sangat diharapkan untuk mengusir syetan jahat, dengan membacakan mantra sebagai berikut:
“Hai powang Peutani./ Bek tapoh-poh budak lam ayon, aneukku di lon cucoe di gata/Rambalui bui rambalui asee, bek kameusilee bak manusia/.Rambalui bui rambalui kaphe, bek kaduek le bak manusia/Ka ek u langet kupeugandoe, ka tron u bumoe kutheun cintra/Kuboh bak gaki rante beusue, kuboh bak jaroe rante teumaga”
Mantra pengusir syetan itu dalam bahasa Indonesia bermakna:
“ Ha Pawang Peutani./ Jangan ganggu bayi dalam ayunan , anak bagi kami, cucu bagi anda./. Hantu babi hantu anjing, jangan kau menyelinap pada manusia./ Hantu babi, hantu kafir, jangan kau surup lagi pada manusia./ Kau naik ke langit kuketapel, kau turun ke bumi kupasang perangkap./ Kupasang di kaki rantai besi, kupasang di tangan rantai tembaga.”
Dari beberapa lirik terkesan ,bahwa terlihat jelas ciri-ciri puisi lisan daripada puisi mantra. Unsur repitisi dan paralelisma sangat menonjol. Puisi mantra dapat dikatakan sebagai jenis puisi yang paling awal yang diwarisi secara turun temurun dalam kehidupan masyarakat NAD, terutama pada era pra Islam. Bahkan dikalangan anak-anak, puisi mantra ini mirip dengan lagu dolanan. Salah satu puisi mantra untuk anak-anak adalah mantra mengobati sakit perut:
“Hong dat-dat,na umu na ubat/Lhee boh klaih pliek-u, /lhee boh mu pisang klat/
On pineung tho, on pineung mirah/Alfatihah kutawa bisa”
Mantra ini bermakna:
“Hong dat-dat, ada umur ada obat. /Tiga Klaih pliek-u,tiga tandan pisang rujak/
Daun pisang kering, daun pinang merah/Al Fatihanh kutawar bisa”
Ciri mantra di atas, dengan digunakannya bunyi “Hong” sebagai bunyi magis dalam pembukaan mantra, sedang bunyi “dat-dat” ditambahkan sebagai keperluan persajakan di samping sebagai mengasosiasikan suara keluhan anak-anak yang menderita sakit perut. Karena keyakinan yang kuat anak-anak yang sakit perut itu sembuh.
Masih sangat banyak mantra-mantra yang pernah digunakan masyarkat NAD, apalagi dalam mengiringi tarian Seudati, tarian Pho (tari kematian) dan banyak lagi. Pada Pekan Kebudayaan Aceh I sempat direkam : “Deungo lon kisah pho bungong panjoe, pahlawan naggroe ulon calitra/Di Meulaboh Uma Pahlawan, di Bakongan Angkasah Mudsa/Si deh di Padang na Imam Bonjol, Batak ngon Karo Singamahraja./ Di Aceh na Teungku Chik Ditiro, Diponegoro di Tanah Jawa/Cahid Angkasah tinggay Cut Ali, prang beureuhi leubeh bak nyangka” Maknanya: “Dengar kukisahkan, kembang kapas, pahlawan negeri kuceritakan/Di Meulaboh Umar Pahlawan, di Bakongan Angkasah Muda/Di Padang sana Imam Bonjol, Batak dan Karo Sisingamagaraja/Di Aceh terkenal Tengku Chik Ditiro, Diponegoro di Tanah Jawa/ Syahid Angkasah tinggal Cut Ali, semangat berperang lebih dari sebelumnya”
Umpama,Umpasa dalam Budaya Batak
Sejak ratusan tahun silam, masyarakat Batak sudah mengenal puisi, seperti umpasa, umpama, huling-huling atca (teka-teki) maupun opera.
Dari belasan buku tentang suku Batak, penulis tidak menemukan mantra. Hanyalah Umpama dan Umpasa Biasanya bila masyarakat Batak mengadakan upacara peresmian mendiami rumah baru, maka tamu-tamu mengucapkan doa (mantra) :
“Sai gok ma jolma di ginjang, sai gok ma pinahan ditoru” yang bermakna mudah-mudahan penuh manusia di atas dan penuh hewan di bawah. Rumah-rumah di Tapanuli biasanya memiliki kolong tempat memelihara ternak. Sebelum acara berakhir, biasanya ada juga doa: ”Sai gok ma parsaulian, gok ma parhorasaan jala gok ma nang hagabeon di hita saluhutma”. Doa ini sama dengan mantra yang bermakna: “ Semoga penuhlah segala macam kebahagiaan bagi kita semua.”
Umpasa dalam bahasa sastra Batak berbentuk puisi seperti pantun dan syair yang mengandung makna atau doa ( mantra). Umpasa mengandung isi harapan dan permohonan kepada Yang Mahakuasa agar diberi keselamatan dan kebahagiaan. Umpasa merupakan bentuk puisi yang paling populer dalam masyarakat Batak karena memiliki keterkaitan dengan upacara adat perkawinan, mendirikan rumah, menanam padi, meminta kesembuhan dari penyakit serta banyak lagi.
Masyarakat Batak sendiri sulit menerjemahkan umpasa. Terutama bagian sampirannya ke dalam bahasa Indonesia. Kosakata yang digunakan banyak berasal dari kosakata bahasa Batak Toba seperti tumbuhan, maupun hewan sukar mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Umpasa biasanya memiliki bagan a - b - a - b (sajak palang) seperti: “Sitobu saonari/Muli sitarak doi sogot,/Mardomu saonari/muli sirang doi sogot”. Maknanya : Tebu sekarang/Ganti sitarak nantinya/Berjumpa sekarang/Bercerai nantinya.
Umpasa bisa juga merupakan nasihat kepada kaula muda: “Mangincir ma sindohor/Di hauma ni Palipi/Tudeakna hamu marpinompar/Jala angka bagas sitorop pangisi”.
Umpasa ini bermohon agar pasangan muda memiliki banyak keturunan serta harta melimpah. Dari umpasa ini masih terlihat pola pikir lama yakni banyak anak dan banyak rezeki.
Eme sitamba tua/parlinggoman ni siborok/Sude ma hita martua/Debata ma naparorot. Padi sitamba tua/tempat tinggal cebong/Semua kita bahagia/Tuhan yang menjaga.
Pengajaran Moral
Umpama dikenal masyarakat Batak adalah bagian dari sastra berbentuk pantun/syair, pribahasa atau pepatah yang mengandung norma-norma, sanksi, aturan-aturan, hal yang dilarang atau pantang. Umpama mengandung pesan moral yang sangat tinggi nilainya bagi masyarakat Batak.
“Ompu Raja parjolo/Martungkothon sialagundi/Nasinurathon ni parjolo/Jahaon ni parpudi”. Umpama ini bermakna ”Mulanya Raja pertama/Bertongkat sialagundi/Yang ditulis orang pertama/Agar dibaca generai nanti”.
“Habang ma ambaroba/paihut-ihut rura/Huta naung ni dok/sitongka muba-uba”. Terbanglah burung/menelusiri lembah/Kata-kata yang sudah disampaikan/Jangan pula berubah-ubah. Angka hata naung nijanjihon, ingkon ulahononhon. Semua perkataan yang sudah dijanjikan harus dilaksanakan.
Jolo nidilat bibir/Asa nidok hata. Dua kalimat petuah ini bermakna agar menjaga mulut, betapa besarnya bahaya mulut, seperti peribahasa mulutmu adalah harimau.
Ada lagi umpama yang enak didengar “Habang issa-issa laos mengihut ambaroba/Sai tibu marona tapaima jala sahat na hinirim ni roha”. Umpama ini bermakna “Terbang burung isa-isa diikuti burung ambaroba/semoga yang ditunggu akan tiba yang dicita-citakan tercapai.”
Masyarakat Batak Toba, juga mengenal ungkapan yang maknanya sangat luas padahal hanya satu kalimat saja yakni: “Dang loja horbo pausung-usung tanduhan”. Maknanya, kerbau tidak merasa lelah membawa tanduknya. Ungkapan ini mengingatkan semua manusia agar jangan jemu mengerjakan tugas dan harus bertanggung jawab.
Umpasa mohon keturunan. “Asa tubuan lak-lak antong tubuan singkoru/Tubu sanggar diparsopoan/Asa tubuan anak antong tubuan boru/Asa jagar-jagar di hamagoan”
Artinya: “Agar tumbuh lak-lak tumbuh singkoru/Tumbuh kepimping dekat pondok/Agar melahirkan putra-putri/Jauh dari kejahatan”.
Puisi hiburan untuk mengisi waktu senggang juga sudah lama dikenal oleh masyarakat Batak, yakni huling-huling atca (hutiara). “Sahali mandoli siallangan/Dua hali mandoli dang siallagan/Alusi ima, hassang”. Sekali dikatakan makanan, Dua kali dikatakan bukan makanan (tidak bisa dimakan). Jawabnya adalah kacang.
Mantra di Kalangan Masyarakat Melayu
Masyarakat Melayu, puak terbesar di Sumatera Utara. Sejak ratusan tahun silam masyarakat Melayu sudah mengenal sastra klasik yang namanya mantra. Berbagai mantra dilantunkan untuk berbagai permohonan, seperti mohon sembuh dari penyakit, mendirikan rumah, jamu laut, menanam padi, tolak bala dan banyak lagi.
Salah satu mantra,yakni untuk mengobati penyakit polong (puaka) adalah “Hai Sitinjak, si Tertib/Ular dan lipan berkelementang/terbatuk terbersin/berkat aku menangkal polong/dengan bayang hantu sekalian, asal kau di tanah Kang/Pulang kau ke tanah Kang asal kau di tanah Dengkang/pulang kau ke tanah Dengkang/datang kau menelentang/pulang kau meniarap/pulanglah kau kepada Jinjang engkau/Hei Datuk Ulan, Datuk Putih/Tetaplah engkau kepada tempat engkau/kepada hulu air berlendang/Berkat La Illaha Illalllah”
Bahkan upacara jamu sawah/jamu bendang, pawang melantunkan mantra yang menggugah hati “Sri Dangmala,Sri dangomali, Yang tak kejab diperkejap/Hendak kirim anak 9 bulan/segala inang, segala pengasuh/jangan beri sakit, jangan beri demam/jangan beri ngilu. Jangan beri pening/kecil menjadi besar, tua menjadi muda/ Yang tak sama dipersama/Yang tak hijau diperhijau/Yang tak tinggi dipertinggi/Hijau seperti air laut/tinggi seperti bukit kaf”
Mantra memanggil angin sangat mendayu-dayu terutama bila dilantunkan berirama. “Angin barat (ei ei) gelombang barang (eei)/ angin memecah ((kotam manis hei woho) di pintu karang/sedayangku tinggal dendam melarat (tuan ahaiii)/kekasihlaku pergi(o kurung,dendam berkurung (aiii). /Habis tunam (ai wo ei) tujuh pengikat (ai bujang sialang ai)./Putus disambar (hitam manis ai hei ai) seraja wal/maksud sedangku sudahlah dapat (intan ahai)/rayalahkan musim (lagi) kembailah lagi (ai)./ Anak Cina (ei wo e) menjual bawang (ai)/bawang dijual (hitam manis ai hoi wo) bawang halia/jangan sedayangku gagah melawang (intan ai)/ takut marah (kunun en) pawang sedia (intan ai)”i
Demikian juga mantra menjeput semangat serta mengambil madu lebah. Masih puluhan, bahkan ratusan mantra yang kini jarang dilantunkan orang sehingga nyaris dilupakan.
Harapan kita kepada Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional yang sudah banyak menerbitkan banyak buku-buku sastra dan bahasa di antaranya “Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing” dapat pula menerbitkan buku mantra-mantra sebagai bagian dari sastra klasik . Sejak di zaman pra Islam, di seluruh nusantara sudah ada ratusan, bahkan ribuan mantra yang semuanya tidak tertulis. Harus ada upaya melestarikan puisi klasik yang kita kenal bernama mantra. Pantas menjadi contoh adalah upaya penyair Aceh almarhum Abdullah Arif ketika masih hidup telah membukukan sejumlah mantra Aceh dengan judul “Panton Aneuk Miet” di tahun 1958. Jangan sampai mantra-mantra itu hilang ditelan bumi dan kemajuan teknologi.
Penulis pengamat sastra dan bahasa