USI, Bagimu Negeri

Oleh: Marim Purba. “Memperhatikan musjawarah tanggal 18 September 1965 jang diadakan di gedung DPRDGR Tingkat II Simalungun yang dihadiri oleh ketua-ketua Party Politik Progresief Revolusioner jang berporoskan Nasakom, Pantja Tunggal Kabupaten Simalungun dan Kotapradja Pematang Siantar, Pemimpin-pemimpin Perusahaan Perkebunan Negara dan Swasta Nasional, Pengusaha-pengusaha Nasional, Orang-orang terkemuka, Tjendekiawan dan Sardjana, Kepala-kepala Sekolah Lanjutan Atas Negeri dan Swasta, serta para undangan lainnya, dimana seluruhnja menjatakan pesetudjuan dan sokongan sepenuhnja serta dorongan jang sebesar-besarnja atas prakarsa jang diajukan Bupati Kepala Daerah Simalungun untuk mendirikan satu Universitas Lengkap di Simalungun/ Pematang Siantar jang diasuh untuk pertama kalinja oleh suatu Jajasan Universitas Simalungun.” Tulisan diatas adalah cuplikan dari piagam pernyataan pendirian Universitas Simalungun (USI) Sabtu 18 September 1965 jam 17.00, sebagai pernyataan 23 institusi yang ditandatangani  oleh 21 orang. Walikota Kotapadja Pematang Siantar Kapten Pandak Tarigan dan Ikatan Sardjana Indonesia Pematang Siantar Kolonel Dr. Harnopidjati waktu itu tidak ikut tandatangan.

Pengurus pertama kalinya dipimpin oleh Bupati Kepala Daerah Simalungun sebagai Ketua Umum I dan Walikota Kepala Daerah Kotapradja Pematang Siantar sebagai Ketua Umum II bersama 54 orang lainnya, termasuk unsur-unsur pimpinan partai antara lain PNI, Parkindo, IPKI, Partindo, Partai Katolik,  dan PKI.

Mereka sepakat menetapkan Dewan Rektor yang pertama kali Rektor I Radjamin Purba SH Bupati Kepala Daerah Simalungun (Ketua), Rektor II M Damanik SH Ketua Pengadilan Negeri Pematang Siantar, dan Rektor III dr Mahmud Hamzah Kepala Rumah Sakit Umum Pematangsiantar. Tahun kuliah 1965-1966 pertama kalinya dibuka 3 fakultas yakni Fakultas Kedokteran dengan dosen dr Mahmud Hamzah, Fakultas Pertanian dengan dosen Ir Kiswito dari (Perkebunan) Marihat, Fakultas Ekonomi dengan dosen Drs Porman Damanik dari PN Kertas Pematangsiantar.

Sekarang 48 tahun sejak didirikan, USI memiliki beberapa gedung perkuliahan dan laboratorium diatas lahan 36 Ha. USI digawangi oleh 135 orang dosen, tapi 125 orang saja yang terdaftar di Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti). Keseluruhan dosen tersebut 5 orang pendidikan S-3, 67 orang  S-2 sisanya 68 orang masih S-1, untuk mengajar 8500 mahasiswa di 5  Fakultas dengan 13 Program Studi Sarjana Strata-1 serta 1 Program Pascasarjana dengan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota.

Tekad pendiriannya oleh Radjamin Purba dan kawan-kawannya sangat kuat dan visioner. Tapi jika sekarang para pendiri tersebut masih hidup mungkin mereka menangis. Sebab dalam perjalanan sejarahnya USI lebih banyak dikelola oleh manajemen yang rapuh, asyik dengan urusan internal sehingga belum punya waktu untuk meletakkan dasar institusi pendidikan tinggi yang baik. Sudah belasan Rektor yang pernah memimpin, hampir kebanyakan datang nampak muka tapi pulang tak nampak punggung. Proses alih kepemimpin kerap diwarnai kemelut.

Posisi Universitas Simalungan (USI)

Walau termasuk Universitas tertua setelah USU di Sumatera Utara, tapi dari antara 3.098 Perguruan Tinggi Swasta di Indonesia Universitas Simalungun mungkin hanya dikenal penduduk lokal Simalungun dan sekitarnya. Dalam buku Panduan Memilih Perguruan Tinggi yang diterbitkan Pusat Data dan Analisa Tempo (2011) dari 12 pendidikan tinggi di Sumatera Utara tidak ada tercantum USI. Buku yang sama diterbitkan WP Citra (2013) dari 16 pendidikan tinggi di Sumatera Utara tak terdapat USI didalamnya.

Padahal posisi strategis USI sangat penting dalam mengisi ceruk kebutuhan pendidikan tinggi di Sumut. Diantara kawasan pesisir timur Sumatera Utara USI harusnya bisa diandalkan oleh orang tua di Pakpak, Samosir, Tapanuli dan Nias untuk menyekolahkan anaknya. Peluang untuk pengembangan keilmuan yang relevan dengan kondisi wilayah hinterland-nya sangat terbuka; kajian kebudayaan, pusat penelitian perkebunan, pusat penelitian danau Toba dan lain sebagainya. Sementara dalam posisi geografis ini kompetitor USI sudah bertumbuh antara lain Universitas Karo, Universitas Asahan, DEL di Porsea, dan Universitas Sisingamangaradja di Siborong-borong.

USI tak dikenal orang mungkin karena rendah diri untuk pamer, sebab tidak ada karya ilmiah yang menonjol dan belum masuk dalam jurnal keilmuan yang kesohor? Atau karena tidak kedengaran dosen yang berprestasi, atau bahkan mungkin karena tidak ada lulusan/alumni yang berhasil? Untunglah ada alumni USI Rekson Silaban, tokoh buruh internasional (ILO) yang sekarang sedang bertarung merebut kursi DPD RI daerah pemilihan Jakarta. Anak USI bertarung di DKI, siapa takut?

Pada semua fakultas di USI hampir kebanyakan program studinya hanya kebagian akreditasi “B” dan beberapa “C,” tapi tak ada yang terakreditasi “A.” Tak terdengar mahasiswanya kritis terhadap lingkungan sekitar, apalagi ikut dalam kompetisi antar mahasiswa di Indonesia. USI memang menyedihkan.

Maka USI semakin jauh dari kemungkinan menjadi universitas unggulan. Jauh dari kemungkinan masuk 700 dunia berdasarkan penilaian QS World Universities Ranking (UI peringkat 217, UGM 342, ITB 401). Atau jika mengikuti 4icu World Universities Web Ranking tak termasuk dari 318 kampus di Indonesia yang masuk peringkat 4icu. Mau jadi Universitas Riset, wah jauh panggang dari api. Apalagi jika mau jadi  Wolrd University?

Keprihatinan atas rendahnya mutu USI terasa dari ketiadaan suasana akademis di kampus. Tak terlihat ada fotocopy 24 jam disekitarnya, dan tak terlihat ada mahasiswa bergerombol diskusi dan bercanda. Dosen terjebak dalam rutinitas mengajar dan tidak mengerjakan misi perguruan tinggi yang lengkap. Masih banyak dosen yang pendidikannya hanya S-1. Bisa jadi karena sistem meritokrasi dalam karir dosen di USI tak berjalan baik, mulai perekrutan, pembinaan maupun promosi.

Keterpurukan diatas makin lengkap ketika saat ini Pembina Yayasan sedang bertikai. Sempat urusannya sampai ke Polisi. Tampaknya bukan hanya soal perdata tapi merembet ke soal pidana. Sudah lama mereka bertikai, abai dengan keprihatinan stakeholder dan masyarakat, cuek dengan kerugian orangtua siswa. Tampaknya bertengkar lebih kepada soal-soal gengsi, harga diri dan tidak melihat kepentingan yang lebih luas.

Apalagi karena ketentuan anggaran dasar yayasan bermetamorfosis terus menerus semakin jauh dari hakekat cita-cita pendiriannya. Kelompok yang satu mengaku sah sebagai pimpinan yayasan, sementara kelompok yang lain mengklaim diri sebagai pimpinan yayasan yang sah juga.

Dua kelompok pembina yayasan yang saling mengklaim masing-masing membentuk pengurus dan pengawasnya.

Lalu pengurus masing-masing mengangkat rektornya. Maka sekarang terdapat dua pembina yayasan, dua pengurus, serta dua rektor. Seorang perantau anak Siantar sempat guyon, ‘wah lama kelamaan jumlah rektornya lebih banyak dari mahasiswanya!?’

Sekarang kedua belah pihak sudah melakukan wisuda masing-masing, memungut uang kuliah dengan caranya masing-masing. Diperkirakan sudah terjadi penyimpangan dan pelanggaran pidana. Catatan di atas memperlihatkan bahwa posisi USI sebagai PT Swasta unik, sebab didirikan oleh ‘unsur masyarakat.’ Maka jika Pembina Yayasan tak berdamai, negara sebagai manifestasi dari masyarakat bisa saja mengambil alih. Sayangnya, pemerintah (daerah) sebagai unsur negara di Kabupaten  Simalungun tak sepenuhnya bisa dipercaya. Karena JR Saragih sebagai Bupati Simalungun sudah mendirikan universitas baru, khawatir akan terjadi conflict of interest. Situasi memang runyam.

Rumah Bersama Simalungun

Seorang tokoh modernisasi Simalungun Djaulung Wismar Saragih pernah mengungkapkan ‘siparutang do au bani Simalungun,’ artinya kita adalah orang yang berhutang terhadap Simalungun. Sikap seorang yang berhutang adalah membayar, memberi sumbangsih bagi Simalungun; sumbangan terhadap tatanan organisasi yang baik, sumbangan memajukan pendidikan dan kebudayaan, dan lain sebagainya.

Sayangnya, sebagai orang yang berhutang kerap kita berlaku sebaliknya seolah sebagai pemilik modal, dan ‘kepemilikan’ ini diterjemahkan dalam hak kontrol. Sok kuasa, sok berwenang. Supaya kelihatan ‘megah’ dan ‘marsangap.’ Seakan pembina yang ‘memiliki’ yayasan, padahal hakekatnya pembina dan pengurus hanya diberi tugas menjalankan amanat pendiri dalam menjalankan proses pendidikan. Kepemilikan menjadi penting ketika Yayasan USI bubar dan diatur kemana diserahkan semua asetnya.

Ditengah dilema yang rumit ini, maka setidaknya bisa diupayakan beberapa tahapan jalan keluar. Pertama, semua pihak harus duduk bersama dan menyadari bahwa ini adalah rumah bersama. Semua harus menganggap sebagai orang yang berhutang dan membayar kewajibannya kepada masyarakat. Bukan sebaliknya justru hendak ‘menagih’ sesuatu dari USI, termasuk menagih hormat dan kebanggaan.  

Seluruh pembina hendaknya menyadari kekeliruannya dan dalam hati meminta maaf kepada seluruh stakeholder USI. Ini bukan soal salah siapa, tapi kekeliruan kita semua. Ingat, ketika kita menuding orang dengan telunjuk, empat jari lainnya mengarah ke diri sendiri!

Kedua, kembali cari jalur formal legalnya. Tanyakan ke Kementerian Hukum dan HAM mengenai  Yayasan sah yang tercatat di kementerian itu, dan berdasarkan hal itu lakukan rapat diantara seluruh pembina. Sadari kekeliruan selama ini, dan tetapkan dalam rapat agar semuanya mengundurkan diri! Sikap pengakuan gagal dan mundur adalah manifestasi sikap budaya ‘habonaron do bona,’ yang kelak akan melahirkan sikap jujur, elegan dan mengembalikan harkat kemanusiaan kita. Kelak hal ini akan menjadi panduan moral bagi anak cucu dikemudian hari.

Ketiga, serahkan masalah ini kepada tokoh-tokoh Simalungun semisal Cosmas Batubara, Prof Bungaran Saragih, dan lain-lainnya supaya mereka membentuk Dewan Pembina yang baru. Bukankah mereka sudah terbukti malang melintang mengurusi banyak pendidikan tinggi tingkat nasional dan tak pernah ada chaos? Tentu saja pembina yang mereka tunjuk adalah yang kompeten dalam mengurusi perguruan tinggi.  Pembina dan pengurus Yayasan USI sekarang banyak juga yang kompeten, tapi tidak dalam hal  mengurus pendidikan tinggi.

Dalam rangka kesinambungan atau keterkaitan sejarah dengan pendiri bisa saja ada diantara pembina lama yang ditunjuk. Budi Rajamanggala putra sulung Radjamin Purba mungkin bisa tetap di Pembina mewakili historis para pendiri. Tapi yang paling utama adalah kompetensi.

Dalam dunia akademis, pengetahuan keilmuan dan kemampuan manajerial lebih diutamakan melebihi faktor etnik, agama dan kelompok.  USI tidak boleh eksklusif, tapi harus menjadi lembaga pendidikan yang inklusif. Pengabdiannya bukan untuk orang Simalungun dan tanah Simalungun. Pengabdiannya adalah untuk negeri ini,  yang ditengah kompetisi dunia sedang membutuhkan perguruan tinggi riset yang mumpuni.

Contoh inklusif itu telah diperlihatkan oleh beberapa orang. Cosmas Batubara sekarang menjadi pengurus yayasan sekolah manajemen terkemuka LPPM, Prof Bungaran pernah mengurusi Yayasan Universitas HKBP Nomensen, dan Dr. Darwan Purba bahkan menjadi wali amanat USU bersama Edwin Bingei (NV. STTC). Maka pembina dan pengurus Yayasan USI hendaknya juga terbuka bagi siapa saja, tak harus orang Simalungun. Cegah mereka yang mau terlibat karena ‘job seeker,’ cari-cari kerjaan sebagai pembina yayasan. Pembina Yayasan USI seyogianya tak boleh dibayar dan ‘cari makan’ dari USI, tapi sebaliknya harus memberikan sumbangsih bagi USI.

Keempat, jika pembina Yayasan USI sudah terbentuk yang baru, maka mereka harus segera membuat statuta USI berdasar UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, untuk memilih Rektor USI yang baru.

Rektor yang baru harus segera merumuskan roadmap USI sampai tahun 2030, dan membenahi semua hal termasuk kualitas dosen, sarana dan prasarana serta membangun suasana yang kondusif untuk mahasiswa.

Pada Selasa 11 Maret 2014 ini  Cosmas Batubara, Bungaran Saragih dan 15 orang lainnya sebagai Majelis Hapartuhaon Nabolon (MHN) Partuha Maujana Simalungun akan mempertemukan di Medan kedua pihak Yayasan USI yang bertikai. Mereka mengajak kumpul dalam rumah bersama Simalungun.

Namun demikian harus diingat, bahwa relasi sosial dalam keluhuran budaya ini harus juga punya legal standing yang tepat. Jika tidak demikian sia-sia upaya mencari damai.

Kain sobek yang menjadi perca ingin disatukan, dan MHN harus dibantu oleh tukang jahit yang sabar dan telaten. Apakah para Pembina Yayasan USI yang hatinya keras akan sedia rendah hati mencari solusi bersama?   Kita doakan saja, bagi Tuhan tak ada yang tak mungkin. ***

Penulis adalah Walikota Pematangsiantar  2000-2005.

()

Baca Juga

Rekomendasi