Bencana Alam sebagai Alasan Penghapusan Utang dalam Kredit Bank

Oleh: Rudy Haposan Siahaan. Bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami dan banjir bandang selain menimbulkan korban jiwa juga mengakibatkan kerugian material berupa rusaknya bahkan musnahnya harta benda. Bagi pebisnis, rusak dan musnahnya harta benda serta unit usaha dapat menyebabkan ketidak mampuannya membayar kreditnya kepada bank dan bagi bank itu adalah kredit macet.

Padahal dalam bisnis perbankan, pendapatan bank terbesar berasal dari sektor kredit. Namun, tidak selamanya dana yang telah dikucurkan kepada debitur dapat dikembalikan debitur dengan lancar. Ketika terjadi keadaan memaksa (force majeure) atau overmacht seperti bencana alam mengakibatkan debitur tidak mampu lagi mencicil kredit dan bunganya dan itu berarti kerugian bagi bank. Dalam bahasa perbankan disebut sebagai kredit macet atau menjadi kredit bermasalah (non performing loan/NPL).

Kredit macet yang disebabkan force majeure dalam hal ini bencana alam, merupakan unsur ketidak sengajaan yang diartikan debitur mau membayar tetapi tidak mampu. Dalam keadaan memaksa ini terjadi peristiwa yang tidak terduga yang terjadi di luar kesalahan debitur setelah penutupan perjanjian, peristiwa ini menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya sebelum dinyatakan lalai dan karena debitur tidak dapat disalahkan dan tidak menanggung risiko atas peristiwa tersebut.

Ada tiga unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan keadaan memaksa menurut Mariam Darus Badrulzaman yaitu (1) tidak dipenuhinya prestasi karena terjadi peristiwa membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan;(2) ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi; (3) faktor penyebab itu tidak dapat diduga sebelumnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Putusannya No. 409K/Sip/1983 menyatakan bahwa keadaan memaksa dilihat sebagai keadaan yang diakibatkan malapetaka yang secara patut tidak dapat dicegah oleh para pihak yang berprestasi. Bahkan jauh sebelum putusan tersebut di atas, putusan MARI No. 24K/Sip/1958 menyatakan force majeure telah menutup kemungkinan-kemungkinan atau alternatif lain bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi kontrak.

Bencana alam sebagai keadaan memaksa (force majeure) membawa konsekuensi hukum yaitu (1) kreditur tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi; (2) debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai; (3) debitur tidak wajib membayar ganti rugi; (4) kreditur tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik; dan (5) perikatan dianggap gugur. Berkaitan dengan konsekuensi hukum tersebut, debitur harus membuktikan bencana alam sebagai keadaan memaksa dengan memenuhi tiga syarat, yaitu (1) ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah; (2) ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; (c) ia tidak menanggung risiko baik menurut ketentuan undang-undang maupun ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung risiko.

Dalam prakktiknya, posisi debitur tetap lemah meskipun ketidakmampuannya dalam melunasi utangnya disebabkan force majeure berupa bencana alam. Regulasi Perbankan yang ada saat ini tidak tegas mengatur penghapusan utang debitur. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/15/PBI/2006 Tentang Perlakukan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-Daerah tertentu di Indonesia Yang terkena Bencana Alam, tidak dengan tegas mengatur mengenai penghapusan hutang bagi debitur yang terkena dampak bencana alam. Yang ada hanya mengatur restrukturisasi bagi Bank Umum dan bank Perkreditan rakyat.

Demikian juga kalau kita melihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/39/PBI/2008 Tentang Peraturan Pelaksanaaan Penanganan Khusus Permasalahan Perbankan Pasca Bencana Nasional di Propinsi Nanggroe Aceh Darusalam dan Kepulauan Nias di Sumatera. Dalam Pasal 12 peraturan tersebut hanya ditegaskan (1) dalam hal yang diagunkan ke bank dinyatakan musnah dan debitur yang bersangkutan tidak dapat menyelesaikan kewajiban pada bank, maka permasalahan kredit debitur diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank; (2) kebijakan bank dalam menyelesaikan kredit sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan keuangan bank.

Faktor Hukum

Dalam bisnis perbankan penghapusan kredit macet dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu penghapus bukuan secara administratif yang tidak menghilangkan hak tagih bank atau disebut juga hapus buku, dan penghapus bukuan yang dianggap sebagai kerugian dan tidak dapat ditagih lagi atau disebut juga hapus tagih.

Berkaitan dengan risiko kredit dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005 di atas Bank diwajibkan mempunyai cadangan berupa cadangan umum dan cadangan khusus dengan membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva (PPA) terhadap aktiva produktif dan aktiva non-produktif. Cadangan umum ditetapkan paling kurang 1 % (satu perseratus) dari aktiva produktif yang memiliki kualitas status lancar. Sedangkan cadangan khusus ditetapkan paling kurang sebesar: a) 5 % (lima perseratus) dari aktiva dengan kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi nilai agunan, b) 15 % (lima belas perseratus) dari aktiva dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan, c) 50 % (lima puluh perseratus) dari aktiva dengan kualitas diragukan setelah dikurangi nilai agunan, dan d) 100 % (seratus perseratus) dari aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan.

Dengan adanya peristiwa bencana alam, selayaknya kredit yang terkena dampak langsung dari bencana dilakukan hapus tagih dengan persyaratan bencana tersebut harus dinyatakan dalam keputusan pemerintah sebagai bencana nasional. Mengingat saat ini Indonesia telah memiliki Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dalam Pasal 5 menyebutkan Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggungjawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Ayat 2, memuat indikator yang meliputi: a) jumlah korban; b) kerugian harta benda; c) kerusakan prasarana dan sarana; d) dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Sehubungan dengan itu, berdasarkan Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Pemerintah dan pemerintah daerah menyediakan dan memberikan bantuan bencana kepada korban. Bantuan bencana dimaksud terdiri dari: a) santuan duka cita, b) santunan kecacatan, c) pinjaman lunak untuk usaha produktif; dan d) bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Sedangkan pinjaman lunak untuk usaha produktif diberikan dalam bentuk kredit usaha produktif dan kredit pemilikan barang modal. Dengan demikian bank dapat memberikan kredit baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam.

Faktor Non Hukum

Faktor non-hukum yang dimaksudkan dalam diskursus ini adalah keberpihakan pemerintah khususnya pemerintah dan dukungan masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keberpihakan pemerintah terhadap korban bencana merupakan bentuk implementasi Negara kesejahteraan (welfare state). Faktor non-hukum ini diterapkan ketika penyelesaian kredit bermasalah tidak memberikan kepastian hukum bagi debitur karena tidak menjamin penghapusan hutangnya.

Bukti diterapkannya faktor non-hukum adalah pada peristiwa gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006 di mana Gubernur Yogyakarta mengajukan permohonan penghapusan hutang kredit macet bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Permohonan tersebut diteruskan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang kemudian disetujui oleh Menteri BUMN sehingga dilakukan penghapusan hutang kredit bagi bank-bank Pemerintah dengan mekanisme korporasi. Penghapusan utang kredit juga dilakukan ketika terjadi peristiwa Tsunami di Aceh dan gempa bumi di Nias Sumetera Utara yang difasilitasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Esaka.

Penyelesaian melalui faktor non hukum ini melahirkan model hukum baru yaitu penghapusan buku tagihan kredit bermasalah akibat bencana alam perlu dasar hukum yang kuat dalam rangka sistem hukum perbankan berupa peraturan setingkat undang-undang, sehingga klausula force majeure seperti bencana alam dalam perjanjian kredit bank mempunyai daya kerja perikatan. Selanjutnya perlu dibentuk suatu badan/lembaga khusus untuk menyelesaikan kredit bermasalah akibat peristiwa yang diakibatkan bencana alam sehingga piutang kredit itu tidak lagi menjadi beban bank. Dengan hapusnya kredit bermasalah itu bank-bank akan lebih leluasa untuk memperluas ekspansi dan dapat lebih fokus menjalankan bisnis dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Hal ini sesuai dengan konsep negara kesejahteraan di mana Indonesia termasuk di dalamnya bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah terwujudnya kesejahteraan umum (bonum commune) sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Negara merupakan alat untuk mencapai tujuan bersama kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal tersebut seperti dikonsepkan W. Friedman tentang negara kesejahteraan yang menyatakan bahwa negara mengemban empat fungsi, yaitu negara sebagai pelayan, negara sebagai pengatur, negara sebagai wirausaha, dan negara sebagai wasit.***

Penulis adalah Candidat Doktor Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi