Urgensi Syuro dalam Perspektif Islam

Oleh: Anang Anas Azhar MA. Ilmuwan Islam dan Barat dalam 10 abad terakhir, sering berdiskusi, membahas bahkan mempertemukan antara konsep syuro (musyawarah) dengan demokrasi (democration). Aliran dua konsep Islam dan barat ini, ternyata memiliki titik perbedaan, tapi di sisi lain memiliki beberapa persamaan.

Upaya ilmu Islam dan Barat ini justru mengalami pasang surut. Ilmuwan Islam menganggap syuro sebagai satu-satunya jalan membuka pintu ijtihad dalam konteks politik dan musyawarah. Sementara ilmuan Barat, menganggap, demokrasi adalah hasil ijtihad manusia tanpa memiliki landasan apapun. Rambu-rambu yan dijalani demokrasi tanpa batas. Bahkan, antara yang haq dan bathil tidak terlalu diutamakan. Karena demokrasi dipandang sebagai produk barat, maka konsep syuro dipandang lebih jauh beretika ketimbang demokrasi.

Sejumlah literatur yang mengkaji syuro dan demokrasi ini banyak menemukan kita temukan dalam karya-karya pemikir Islam yang mengulas sekelumit tentang permasalahan-permaslahan syuro. Asumsi dasar mengapa syuro dan demokrasi sering diperdebatkan dalam kajian pemikir Islam? Permasalahannya tak lain, tentang perbedaan dan persamaan syura dan demokrasi. Alasannya, mengapa ada pemikir yang tidak sependapat syuro dan demokrasi disamakan. Para cendikiawan muslim, beralasan pemahaman syuro lebih mendalam jika dibanding demokrasi. Syuro mengikat banyak nilai dan etika, sedangkan demokrasi bebas nilai dan cenderung pragmatis.

Perspektif Islam

Dalam pendekatan bahasa, arab, syuro (musyawarah) adalah mashdar (kata-dasar) dari kata syawara (Zallum, 2002: 216). Syura secara bahasa memiliki banyak makna. Menurut Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab, jilid II halaman 379-381, pada pasal sya-wa-ra, makna syuro antara lain, mengeluarkan madu dari sarang lilin (lebah).Dalam konteks syariat, syuro sering didasarkan pada nas-nash al-Quran dan as-Sunnah. Syuro dimakna mengambil pendapat (akhdh ar-ra’y]) (An-Nabhani, 1994: 246). Syuro untuk mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah.

Setelah runtuhnya Dinas Abbasiyah akibat serangan Bangsa Tar Tar Mongolia, perkembangan demokrasi di dunia barat khususnya di Eropa Timur menempatkan isu demokrasi sebagai isu yang menarik. Kajian ini justru sering dipersamakan dengan kajian syuro. Awalnya demokrasi hanya dibatasi pada wilayah kekuasaan (politik). Secara etimologis demokrasi berarti pemerintahan (demos) dan rakyat (kratos) yaitu pemerintahan rakyat, yaitu menyangkut seluruh seluruh aspek, politik, gender, agama, ras dan hak sosial,

Dalam konteks kekinian, demokrasi dijadikan sebagai alat untuk mempropaganda sistem pemerintahan yang memberikan kontribusi besar bagi kemajuan suatu Negara terutama dalam sistem pemerintahan, karena prinsip demokrasi sendiri lebih menekankan kepada memberikan kebebasan kepada setiap anggotanya untuk mengeluarkan pendapat dalam mengambil sebuah keputusan dalam memecahkan suatu masalah.

Dalam perspektif Islam, agama Islam menuntunkan umatnya untuk bermusyawarah, baik itu di dalam kehidupan individu, keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan individu, sahabat Rasulullah sering meminta pendapat kepada Rasulullah SAW, khususnya dalam masalah-masalah yang bersifat personal. Sebagai contoh adalah tindakan Fathimah yang meminta pendapat kepada Nabi Muhammad SAW ketika Mu’awiyah dan Abu Jahm berkeinginan untuk melamarnya.

Dalam konteks kehidupan keluarga juga, Islam mengajarkan untuk mendepankan syuro. Allah SWT berfirman : “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan“. (Al Baqarah: 233).

Lantas apa yang tersirat dari firman Allah SWT tersebut. Ibnu Katsir mengatakan, tafsir yang terkandung dalam ayat tersebut, apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Karena keduanya telah bermusyawarah untuk memutuskan kesepakatan bersama. Dengan demikian, manfaat menyapih di antara keduanya saling menguntungkan, bahwa memberikan kesempatan kepada keduanya untuk menjalankan kesepakatan tersebut.

Dalam Islam jika kita merujuk kajian sejarah, ternyata syuro dan demokrasi sudah banyak dibahas tokoh-tokoh islam, para pemikir dan ulama-ulama besar baik di luar maupun di dalam negeri. Sejarah juga mencatat bahwa demokrasi pertama kali muncul pada zaman kerajaan kota Athena pada masa Yunani kuno, yang mana memiliki jumlah penduduk yang hanya ratusan. Pada zaman ini setiap keputusan yang akan dibuat akan ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat kerajaan kota tersebut dengan cara mengumpulkan mereka di pusat kota Athena.

Sedangkan dalam syuro, sejarahnya waktu itu para pemuka suku atau kota Mekah menjalankan urusan bersama melalui permusyawarahan. “institusi inilah yang kemudian didemokrasikan al-qur’an, yang menggunakn istilah syuro. Dalam kisah perjalanan nabi, kita banyak menemukan bagaimana Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ketika hendak berhijrah ke Madinah, beliau kumpulkan sahabat-sahabat utama untuk bermusyawarah guna membicarakan strategi penting perjalanan hijrah.

Apa yang dihasilkan dari musyawarah itu, ternyata memberikan dampak yang baik dalam hidup Rasulullah. Salah satu manfaatnya, job decription dari masing-masing sahabat dapat dijalankan. Khususnya pada saat hendak berperang, atau menjalankan aktivitas lainnya. Dalam setiap aktivitasnya, Rasulullah tetap mengedepankan syuro untuk memberikan contoh kepada sahabatnya dalam menjalankan tugasnya masing-masing.

Penutup

Bercermin dari uraian di atas, ternyata syuro tidak lahir dari akidah yang berafilisasi kepada sekularisme, melainkan lahir dari akidah Islam. Syuro adalah hukum syariat yang dilaksanakan sebagai bagian dari perintah Allah. Tapi sebaliknya, demokrasi lahir dari rahim sekularisme yang bebas nilai dan tidak bertetika.

Karena syuro beda tipis dengan demokrasi, maka mari kita jadikan syuro sebagai patron hidup kehidupan beragama di negara kita. Setidaknya bagi pribadi muslim, agar kebiasaan rasulullah dalam menjalankan syuro semasa hidupnya terus menggema dari zaman ke zaman. **

** Penulis adalah Dosen UMSU dan sedang studi Program Doktor (S3) Konsentrasi Komunikasi Islam Pascasarjana IAIN Sumut **

()

Baca Juga

Rekomendasi