Berkreasi, Eni mengumpulkan Biji-bijian dari Pedagang Jus

Dari luar rumah Eni -panggilan akrab Eni Dwi Susanti- terlihat sepi. Tak ada tanda-tanda aktivitas penghuninya. Namun, melihat berbagai macam hasil kerajinan tangan yang terpajang rapi di lemari kaca, bisa ditebak bahwa penghuninya adalah perajin. ''Silakan masuk,'' ungkap Eni yang mendadak muncul dari dalam.

Setapak melangkah ke ruang tamu, mata langsung disuguhi seabrek hasil kerajinan tangan. Di antaranya, bros, tempelan kulkas, gantungan handphone, dan gantungan baju. Kerajinan itu dibuat dibantu adiknya, Lucky.

Bros, misalnya, dibuat Eni dari bahan limbah dan biji-bijian. Di antaranya, biji melon, biji bunga matahari, dan kelobot (kulit jagung). Melihat hasil yang ada, pembuatannya tentu membutuhkan keterampilan dan ketelatenan. Setelah melalui proses, bahan-bahan itu dirangkai hingga menjadi bros. ''Biji-bijian itu dilem. Begitu juga kelobotnya,'' ujarnya.

Agar terhindar dari tumbuhnya jamur, kelobot yang sudah dilumuri pewarna tekstil diberi air kapur barus. Kelobot itu kemudian dipotong kecil-kecil dengan bentuk bulat. ''Kami pilih kelobot yang bagus. Yaitu, kelobot ba­gian luar. Itu kan kaku,'' katanya sembari menunjukkan bahan yang dimaksud.

Perempuan kelahiran 24 Januari 1981 tersebut mencari kelobot-kelobot itu bersama adik tercintanya di sawah. Mereka juga sering mencari kelobot di sekitar petani yang sedang panen jagung. ''Kelobotnya kan dibuang. Saya pernah mencari di Pungging,'' katanya.

Kalau biji-bijian, lulusan psikologi Unmuh tersebut memesan kepada penjual es jus. Setelah biji-biji itu terkumpul, dia akan mengambilnya. Namun, dia merasa kesulitan mencari biji buah-buahan yang munculnya musiman. ''Selain biji melon, ada biji srikaya, sirsak, petai kering, dan sogok telek. Biji sogok telek paling sulit dicari. Itu hanya ada di Malang,'' sebutnya.

Tak hanya limbah dan biji-bijian, tumbuhan yang menarik dan dirasa bisa disulap menjadi kerajinan akan diburunya. Untuk itu, dia bersama adiknya pernah nyebur ke rawa-rawa di Surodinawan. ''Saya di sana mencari ini,'' ungkapnya seraya menunjukkan suatu jenis rumput.

Bahkan, bunga cemara tak luput dari perburuannya. Dia mencarinya di sepanjang jalan menuju Trawas. Bunga tersebut biasanya dimanfaatkan untuk membuat hiasan kotak hantaran. ''Saya juga membuat kotak hantaran. Kotak-kotak itu dihias,'' katanya.

Pesanan

Saat ini, dia sudah mendapat pesanan. Maklum, setelah Lebaran, bakal banyak pesta perkawinan. ''Kalau ramai, saya kerjakan bersama keluarga,'' katanya.

Dengan memanfaatkan sapu lidi dan serabut palem, dia juga membuat jepit rambut. Begitu pula dengan tikar pandan. Dia mampu menyulapnya menjadi kotak kecil tempat ballpoint. ''Kami terbilang masih baru. Semua saya mulai pada 28 Maret 2009. Pemasarannya, masih dari teman ke teman,'' ungkapnya tersenyum tanpa bisa menyebut omzet.

Untuk kotak hantaran, tak semuanya memanfaatkan bahan baru. Kertas-kertas yang dipakai juga hasil daur ulang. ''Daur ulang kertas biasanya dikerjakan Lucky,'' katanya.

Lain Eni lain pula denan Edi Murtono, warga Jalan Raya Sragen-Batu Jamus, tepatnya di RT 004/RW 001, Dukuh Segong, Desa Mojodoyong, Kedawung, Sragen.

Alumnus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang kini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Solo itu memberi nama bengkel seninya Rumah Karya Kita. Rumah sederhana di depan SPBU Botok, Kedawung itu juga berfungsi sebagai galeri seni.

Berbagai macam suvenir, interior rumah, tas dan sebagainya dipajang di galeri kecil itu. Semua produk tersebut memanfaatkan kayu daur ulang hutan karet dan beberapa biji-bijian dan buah-buahan di lingkungan sekitar.

Di tangan Edi, buah karet kering yang sering dijumpai di hutan karet dijadikan kerajinan binatang unik seperti semut, lebah dan kupu-kupu. Sebagian besar karya Edi didominasi bentuk binatang semut. Seperti suvenir, lampu dinding, lampu duduk dan jam duduk. Uniknya, Edi menggunakan warna alami yang melekat pada bahan dalam pembuatan pernik-pernik suvenir itu.

Pernak-pernik suvenir itu juga dipadu dengan biji-bijian, seperti membuat mata dari suvenir berbentuk hewan dibentuk dari biji-bijian.

“Dari beberapa produk, saya hanya memanfaatkan limbah kayu, terutama kayu karet. Di sekeliling rumah banyak hutan karet. Awalnya, saya mengantarkan anak-anak TPA untuk outbound di hutan karet. Saya membuat permainan untuk mencari buah karet. Setelah terkumpul saya bawa pulang. Setelah diotak-atik, jadi suvenir berbentuk semut,” ujar Edi.

Lain halnya dengan lampu hias untuk melengkapi interior rumah. Lampu duduk itu memanfaatkan ranting benalu yang umurnya lebih dari satu tahun. Ranting benalu kering sering dijumpai di hutan karet. Biasanya ranting benalu itu dimanfaatkan warga untuk kayu bakar. Bagi Edi, ranting benalu itu bisa dibuat produk kreatif.

Usaha Edi dimulai sejak tahun 2001. Dari sekadar iseng, ternyata bisa mendatangkan order lumayan. Harga karya seni Edi itu relatif murah, hanya Rp1000-Rp50.000/produk. Pemasaran produk itu masih terbatas di wilayah Soloraya dan Jogja. Dalam sebulan, Edi mampu meraup omzet Rp10 juta-Rp12 juta. (Int)

()

Baca Juga

Rekomendasi