Memanfaatkan beragam jenis biji-bijian menjadi kreasi bunga dan hiasan dinding yang sangat menarik dengan pengerjaan step by step secara detail
Biji, meski bentuknya cukup beragam dan unik tetapi biji sebenarnya merupakan bahan yang sering kali dibuang dan dipandang sebelah mata. Padahal, dengan sedikit ketelatenan dan peralatan yang sederhana, aneka macam biji dapat dikreasikan menjadi aneka bunga yang cukup cantik.
Selain itu, biji dapat disulap menjadi ragam hiasan dinding yang cukup unik jika dipajang di ruangan rumah Anda.
Warna-warni biji yang natural serta bentuknya yang unik menjadikan bunga dan hiasan dinding tersusun dari biji-bijian ini mempunyai nilai seni yang tinggi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan sentra produksi buah salak yang terletak di lereng Gunung Merapi yaitu Kabupaten Sleman. Banyak wirusahawan yang membuka peluang usaha baru dengan menciptakan berbagai produk olahan dari buah salak guna meningkatkan nilai tambah dan daya jual dari buah salak. Produk olahan tersebut di antaranya yaitu selai salak, keripik salak, sirup salak, bakpia salak, dan lain-lain.
Selain itu, DIY juga dikenal dengan produk jamu tradisionalnya yang berada di Kabupaten Bantul, tepatnya di Kiringan, Desa Canden, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Desa ini cukup terkenal di Kecamatan Jetis sebagai desa ”Sentra Jamu”, tempat 120 penjual jamu di desa tersebut memanfaatkan bahan-bahan alam lokal, salah satunya yaitu asam jawa.
Dari sini dapat diperkirakan bahwa limbah produksi berupa biji buah dari buah salak ataupun asam jawa cukup melimpah. Para produsen produk olahan buah tersebut lebih fokus pada produk mereka dan menganggap limbah produksi mereka seperti biji-bijian tersebut sebagai sampah yang mengotori lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pengelolaan sampah, dalam hal ini limbah biji salak dan biji asam jawa, serta limbah biji-biji tumbuhan lainnya yang dimanfaatkan menjadi barang yang mempunyai nilai jual yang lebih tinggi.
Seperti sekelompok mahasiswa prodi PGSD Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yaitu Ridwan Budiyanto, Tri Hardiyanti, dan Muhamad Ridwan menciptakan industri kreatif pemanfaatan biji-bijian menjadi aneka kerajinan berupa statement necklace atau kalung-kalung unik yang diberi merk Sentace. Bahkan mereka sudah mendaftarkan merk Sentace di Kementerian Hukum dan HAM melalui Kanwil DIY.
Potensi pasar kerajinan statement necklace masih cukup luas, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Harga statement necklace di pasar juga cukup menjanjikan yaitu berkisar Rp50.000,00 hingga Rp250.000,00. Selain itu, Yogyakarta sebagai salah satu kota pariwisata di Indonesia sangat mendukung berkembangnya industri kerajinan tersebut.
Nilai Jual
Menurut Ridwan Budiyanto, potensi biji-biji tumbuhan seperti biji rotan, saga, asam jawa, salak, dan sebagainya masih mempunyai nilai jual yang rendah di pasaran dan bahkan di beberapa lokasi merupakan limbah organik yang tidak termanfaatkan secara optimal. “Padahal nilai artistik dan natural dari rangkaian biji-bijian tumbuhan mampu memberikan nilai seni yang klasik dengan tekstur asli biji-bijian tumbuhan yang memiliki perpaduan warna yang unik,” kata Ridwan Budiyanto.
“Oleh karena itu, kami menciptakan Sentace yang merupakan aneka kerajinan kalung yang memanfaatkan biji-bijian tumbuhan sebagai bahan bakunya.” Tri Hardiyanti menambahkan bahwa keunggulan dan keunikan yang dimiliki produk Sentace dibandingkan produk statement necklace yang lain yaitu dari sisi desain yang menarik, bercorak khas, dan bernuansa etnik. “Sentace merupakan produk inovatif yang ramah lingkungan dengan bahan baku berupa biji-bijian tumbuhan yang sangat murah dan mudah diperoleh, sehingga harga yang ditawarkan cukup terjangkau,” kata Tri.
Pengawetan
Muhamad Ridwan menjelaskan, bahwa proses produksi Sentace dimulai dari persiapan bahan dan alat, kemudian biji-biji tumbuhan diberi lubang dan diawetkan dengan menurunkan kadar air dan pelapisan dengan cat, vernis, ataupun melamin. “Proses pengawetan tersebut berprinsip pada green-product, yang mana dalam pengawetan biji-biji tumbuhan tersebut tanpa menghasilkan limbah baru berupa bahan-bahan kimia sisa hasil pengawetan,” kata Muhamad Ridwan.
Proses pengawetan biji salak dengan secara alami yaitu melalui proses perendaman dengan minyak cendana selama 2 jam dan dilanjutkan dengan proses pemanasan untuk menurunkan kadar air biji-bijian tumbuhan.
Kemudian dilanjutkan dengan finishing biji-bijian yang berupa pengukiran dan pembuatan lubang rangkaian serta pengembangan desain berupa perangkaian biji-biji tumbuhan dengan desain yang unik sesuai segmen dan tren di pasar.
Di bawah bimbingan dosen PGSD FIP UNY, Dr. Ali Mustadi, tim Sentace berhasil memperoleh dana hibah kewirausahaan dari DIKTI dalam PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) di bidang kewirausahaan mahasiswa. Melalui dana tersebut, tim Sentace berusaha mengasah skill wirausaha mereka dan turut memberdayakan masyarakat sekitar sebagai bagian dari proses produksi dan pemasaran produk Sentace.
Kegiatan merangkai biji-bijian ini juga dilakoni warga di Desa Brayut, Pendowoharjo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Disela aktivitas sehari-hari mereka terlihat sibuk merangkai berbagai biji-bijian, seperti saga, jali-jali dan sebagainya.
Ikon
Biji-bijian itu dimanfaatkan jadi aksesoris menarik, seperti kalung, gelang, manik-manik, bros, anting-anting. Dipadu dengan batu-batuan dan berbagai bahan sintesis lainnya. Sejak beberapa waktu terakhir kerajinan ini memang mampu menjadi ikon baru tersendiri di desa wisata yang sudah dirintis sejak tahun 1999 tersebut.
Berbagai aksesoris ini juga diminati para wisatawan yang kebetulan berkunjung ke desa wisata tersebut. Peminatnya pun tak hanya para remaja, juga wanita dewasa dan ibu yang sudah tua. Apalagi harga yang dipatok tergolong sangat murah, yaitu berkisar antara Rp1.000 hingga 50 ribu rupiah per item untuk semua jenis.
Sayangnya hingga kini mereka masih terkendala cara pengawetan biji-bijian tersebut. Pasalnya, seringkali tidak bisa tahan lama atau dimakan serangga jika digunakan untuk membuat aksesoris.
Dengan jumlah perajin mencapai 30 orang, dalam sehari bisa dihasilkan tak kurang dari seribu buah aksesoris berbagai jenis. Dengan makin berkembangnya kerajinan aksesoris di Brayut ini, warga optimistis upaya untuk menjadikan desa wisata tersebut sebagai desa perhiasan. (Int)