Rindu Presiden “Gila”

Oleh: Tigor Damanik SH. Bahasa Indonesia terkenal kaya kosakata (perbendaharaan kata). Kosakata, terdiri dari dua jenis, Tekhnis dan Sub Tekhnis. Tekhnis, kata atau frasa yang digunakan sebagai istilah dalam bidang tertentu. Sub Tekhnis, kata atau frasa dari kosakata dasar yang digunakan dalam konteks tekhnis dengan makna khusus.

Kata : “Gila”, yang kerap dikonotasikan negatif, baik sebagai istilah, arti/makna khusus maupun sebagai abreviasi (singkatan kata) dapat dimasukkan ke dalam dua kosakata, tekhnis maupun subtekhnis.

Oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata gila tidak selalu memiliki arti negatif. Selain memiliki arti sakit jiwa atau berperilaku abnormal, juga memiliki arti positif, yakni terlanda perasaan “sangat suka” (mengidolakan seseorang/sesuatu) dan “tidak biasa” atau tidak sebagaimana mestinya.

Dengan meminjam motto auditor salah satu Bank Pelat Merah, dari sisi abreviasi (singkatan kata ) , kata GILA:

G = giat (rajin, sehat, bergairah/bersemangat, pro aktif, jujur, cerdas dan berintegritas.

I = Intuitif/Iintuisi (berdasarkan bisikan atau gerak hati).

L = Loyal (patuh/setia). Merasa memiliki (sense of belonging) dan merasa bertanggung jawab (sense of responsibility). Setia kepada lembaga/organisasi/institusi/perusahaan/negara/bangsa/rakyatnya ketimbang kepada pemimpin/atasannya.

A = Akrab. Dekat dan memiliki sifat bersahabat. Lebih mementingkan fungsi/tugas ketimbang status/kedudukannya. Mengayomi/ngemong, bijaksana, dewasa dan melayani.

Sedangkan “Presiden” adalah pemimpin/ketua/kepala/presiden direktur (organisasi/perusahaan/lembaga/institusi/pemerintahan/negara). Bagi negara berbentuk republik bersistem presidensial seperti Indonesia, Presiden adalah Kepala Pemerintahan sekaligus sebagai Kepala Negara.

Presiden : “ Lain Gaya dan Cara”

Setiap Presiden di Republik Indonesia (Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY) didalam mengendalikan negara/menjalankan roda pemerintahan memiliki berbagai kelebihan/keunggulan dan kekurangan/kelemahan.

Bak kata pepatah, lain lubuk lain ikannya, lain Presiden tentu lain pulalah gaya dan caranya.

Ada Presiden yang dinilai terlalu berhati-hati bahkan dicap lemah, lamban, peragu, dan mengurusi parpolnya melulu, dan lain sebagainya, namun dalam praktik berdemokrasi dan komunikasi politiknya dinilai bagus dan santun.

Meski kadang kala dalam menghadapi dan menyikapi beberapa situasi terlihat emosi, geram, tegang dan bahkan panik. Marah besar ketika mengetahui pembicaraannya disadap oleh negara lain yang nota bene dianggap sebagai sahabat dan tidak tahu diuntung mengingat narapidana narkobanya kerap diberi remisi.

Tapi kelebihannya , justru di era SBY-lah kebebasan pers semakin bertaji melalui penerapan UU No. 40 /1999 tentang : ”Pers” dan UU No. 14/2008 tentang : “Keterbukaan Informasi Publik ”.

Malah, jika insan media/pers tak dewasa kebebasan praktik berdemokrasi dan berpers dapat menjadi euforiaistis dan kebablasan serta semau gue. Di eranyalah tidak pernah ada pembredelan pers, kecuali mengkritisi melalui sindiran-sindiran “nyelekit” (tajam) .

Juga ada Presiden , yang didalam manajemen pemerintahannya bagus, pancasilais dan dekat dengan rakyatnya dan memiliki berbagai program handal dan akurat, namun didalam praktik berdemokrasi dan kebebasan pers dinilai kaku dan terkesan bertangan besi/diktator hingga kebebasan pers pun menjadi terkekang.

Juga ada Presiden yang saking terbuka dan euforis-demokratisnya dengan harapan bahwa dunia internasional menilai diri dan negaranya sudah sungguh-sungguh menerapkan demokrasi secara murni, malah berakibat lepasnya satu propinsi dari pangkuan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) dan merdeka.

Juga terdapat sosok seorang Presiden, meski secara fisik “kurang sehat” dan tidak dapat melihat, namun justru hatinya sangat terbuka dan terbelalak terhadap situasi dan kondisi sosial kemasyarakatan, humoris dan sangat dekat dengan rakyatnya.

Juga ada Presiden yang konsekuen di dalam penegakan HAM dan pelaksanaan demokrasi sesuai Pancasila, namun sayang memiliki sosok pembantu utama/menteri emosional yang ketika berwawancara di salah sebuah televisi swasta nasional mencengkram kerah baju lawan bicara/debatnya, karena kalah berdebat hingga emosi, dan sebagainya.

Masih banyak lagi gaya dan cara kelima Presiden RI yang pernah kita miliki yang dalam mengendalikan negara dan pemerintahannya tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

Mendambakan Presiden “Gila” di 2014

Betapa prihatin kita ketika melihat Presiden RI dari hasil pemilu yang demokratis (2004-2009 dan 2009-2014) ternyata lebih banyak dan fokus mengurusi soal politik, partai dan koalisinya ketimbang tugas kepemerintahannya serta kepedulian terhadap kesejahteraan rakyatnya. Mulai dari persoalan politik tetek-bengek hingga ke (rencana) konvensi partai berkuasa yang diperkirakan akan menguras tenaga dan waktu tersebut.

Berikut ketidakefisienan struktur kabinetnya yang memberadakan jabatan Wamen (wakil menteri) sehingga berakibat inefisiensi keuangan negara yang jelas ikut memiliki andil melemahkan APBN. Praktik korupsipun semakin merajalela yang mayoritas justru dilakukan oleh para (oknum) pejabat eksekutif (pusat dan daerah ), legislatif maupun yudikatif.

Menggurita dan mengganasnya praktik korupsi, terutama di partai-partai politik hingga berakibat beberapa fungsionaris teras partai, termasuk ketua umum partainya harus tumbang dan sudah ditetapkan menjadi tersangka/terpidana.

Dari segi hukum dan praktik penegakan hukumpun lebih cenderung mengutamakan kekuatan hukum formal ketimbang hukum material (fakta dan kebenaran) dan rasa keadilan. Khususnya penegakan hukum terhadap para koruptor, dimana hukum dan penegakan hukum masih terkesan mandul dan atau tebang pilih dan pilih tebang.

Malahan para hakim tipikor yang diharapkan menjadi palang pintu terakhir pembasmi koruptor, terkesan lebih sekedar menjalankan status/tugas formalnya “memvonis” ketimbang keseriusannya untuk menegakkan hukum dan memprioritaskan rasa keadilan di masyarakat.

Karena pertimbangan tersebut maka timbul ide atau pemikiran, pasca tidak menjabatnya lagi Presiden SBY di 2014 , negeri ini perlu (sosok pemimpin) Presiden “gila”. Giat, Intuitif, Loyal dan Akrab, terutama sosok yang : “Tidak biasa atau tidak sebagaimana mestinya”.

Tidak semata pekerja keras hingga kerap kurang tidur. Tapi harus jujur, terbuka, tegas dan adil , terutama ramah dan akrab dengan rakyatnya. Juga “BEJO” sebagaimana kata mantan Ketua MK Mahfud MD : “BErani, Jujur dan Ojo-dumeh (jangan mentang-mentang sedang berkuasa).

Harapan Presiden (bertindak) “Gila” , dimana begitu dia terpilih (bulan Oktober) di 2014 dan dilantik menjadi Presiden agar secara suka rela segera menanggalkan dan meninggalkan seluruh atribut dan kepengurusan kepartaiannya sehingga dirinya betul-betul murni sebagai presiden/milik rakyat.

Sehingga tidak lagi melulu mengurusi partai politik, tapi menjadi fokus dalam mengurusi kepentingan/keperluan “rakyat” sebagai konstituennya menuju tercapainya cita-cita masyarakat adil dan makmur dengan terpenuhinya sandang, pangan dan papan. Tentu dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak kurang lebih 240 juta jiwa pasti ada minimal satu atau dua orang calon Presiden “berkualitas” dan “GILA”, dalam arti Giat, Intuitif, Loyal dan Akrab.

Semoga saja !.****

Penulis : Alumnus FHUI 1982 dan Pemerhati Politik, tinggal di Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi