Sartika Sari. Di Jerman, sejak pemerintahan Hitler, semangat kebangsaan yang diusung masyarakat akibat pengaruh Nazi adalah chauvinisme. Chauvisme mengagungkan bangsanya sendiri. Paham ini hampir sama dengan narsisisme, identik dengan pemujaan terhadap diri dan bangsanya sendiri.
Sejarah menuliskan, Hitler memang penganut narsisisme dan chauvinisme. Bagi Hitler, ras Aria di Jerman adalah ras unggul atau uebermensch dibandingkan ras Yahudi dan ras lainnya. Dengan semangat demikian, Hitler pernah menjadikan suku Yahudi sebagai target pembunuhan, karena dianggap menodai ras Aria.
Ideologi yang pernah dianut masyarakat Jerman pada masa Nazi Hitler, diduga berkaitan erat dengan paham etnosentris, yang menganggap kebudayaannya lebih baik dari kebudayaan yang lain. Paham ini mengakibatkan minimnya sikap toleransi antarsesama yang kemudian rentan menimbulkan perpecahan.
Dewasa ini, paham tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat sosial di berbagai belahan dunia. Pada hakikatnya cenderung memiliki perbedaan. Sekitar tahun 1906, W. G. Summer mendengungkan persoalan ini. Pakar sosiologi tersebut menuliskan etnosentris sebagai prejudicial attitudes antara in groups dan out groups.
Sikap, kebiasaan dan perilaku kelompok “kami” lebih superior dari pada kelompok “kamu”. Selanjutnya, paham demikian menjalari berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat dunia. Terutama yang bersinggungan dengan upaya mempertahankan eksistensi dan kelestarian suatu golongan kebudayaan. Tentu saja, jika ditelaah, paham ini pun pada akhirnya berhubungan erat dengan pergerakan ideologi kaum marxis atau hegemoni yang dipandu gramsci.
Keterlibatan masyarakat dunia, tak pelak membawa Indonesia sebagai bagian dari perkembangan paham tersebut. Etnosentrisme lambat laun muncul sebagai sebuah petanda dan penanda suatu kelompok etnis. Dalam kesejarahannya, paham tersebut kemungkinan besar telah mendasari keberadaan sistem norma dan budaya masing-masing etnis yang ada. Tidak menjadi bom waktu seperti pada beberapa waktu belakangan ini, ketika tingkat egoisitas dan kecurigaan semakin tinggi akibat tuntutan peradaban.
Seiring perkembangan zaman dan gejolak sosial yang berbeda pada tiap masa, sebagian besar dari kegiatan masyarakat plural di Indonesia menjadi sangat rentan dengan perseteruan dan perpecahan. Tidak hanya dikarenakan inkulturasi dan akulturasi kebudayaan asing dalam kehidupan sehari-hari, juga akibat lunturnya semangat berbangsa dan berbudaya.
Implementasi nilai-nilai luhur pancasila yang dinobatkan sebagai landasan negara masih menjadi cita-cita bersama. Keberagaman masyarakat pada tiap wilayah kerap menjadi amsal munculnya permasalahan sosial. Beberapa kasus yang terjadi misalnya, pertikaian antarsuku Nduga di Wamena, Papua yang menelan korban jiwa dan bentrokan antarwarga suku Nias di dusun Adian Nagoti dengan warga desa Tolang, kecamatan Sayurmatinggi, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Seyogianya, problematika semacam ini tidak menjadi persoalan pelik bagi Indonesia yang dibangun dari perbedaan.
Bak gayung bersambut, realita ini sudah memang seharusnya direspon dengan serius. Upaya peredaman konflik dengan jalur hukum tentu bukan merupakan solusi tunggal dan terbaik. Perpecahan masyarakat Indonesia adalah persoalan yang penyelesaiannya membutuhkan tindakan komprehensif tanpa menanggalkan satu pun dari sekian banyak yang berbeda itu. Etnosentrisme mesti dipupuki etnorelativisme. Penumbuhan kesadaran untuk mempercayai etnis lain ini tentu saja tidak sekedar perkara menerima dan memberi tempat di samping tempat tinggal. Terlebih bagaimana kepercayaan itu mampu menepis berbagai dugaan-dugaan buruk terhadap etnis lain.
Tidak hanya penting bagi golongan tua yang notabene menjadi pemuka adat. Etnorelativisme sangat urgen untuk ditularkan ke kalangan muda. Hal ini sekaligus sebagai bentuk antisipasi terhadap berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk yang saat ini dekat dengan kaula muda. Misalnya dalam organisasi keetnisan, organisasi kepemudaan dan organisasi kampus yang memiliki pergerakan ke masyarakat.
Sebagai agen perubahan, mahasiswa adalah cerminan bangsa Indonesia beberapa waktu ke depan. Melibatkan mahasiswa dalam upaya pelestarian dan penjagaan nilai-nilai budaya yang adiluhung adalah pilihan paling bijak.
Universitas Negeri Medan, dengan berteguh niat pada The character Building University, memberi celah tafsir bagi berbagai kalangan, khususnya mahasiswa untuk membentuk karakter yang sesuai dengan keluhuran bangsa. Salah satunya dalam menanggapi kasus antaretnis yang berbahaya.
Bermula dengan serius melakukan kajian tentang kebudayaan, dalam asuhan Mukhlis Hasbullah M.Sn., serangkaian aktivitas mahasiswa jurusan Seni Musik bersama mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni lainnya, perlahan-lahan dilengkapi dengan pernak-pernik dan ornamen etnis yang ada di Sumatera Utara. Setiap hari rabu, seluruh mahasiswa yang mengikuti kajian kebudayaan ini secara serentak mengenakan dan memodifikasi berbagai bentuk aksesoris yang menunjukkan identitas kebudayaan di Sumatera Utara menjadi pakaian yang dikenakan di lingkungan kampus.
Sebagai wilayah yang multikultur, aktivitas ini sangat bermanfaat. Beberapa di antaranya dapat mengenalkan kepada publik, khususnya antarmahasiswa, tentang ornamen etnis yang ada di Sumatera Utara. Juga beserta nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Menumbuhkan kesadaran memiliki antaretnis, mengembangkan sikap toleransi dan kecintaan pada semua etnis di Sumatera Utara. Menanamkan sikap dan paham multikulturalisme yang substansional untuk pengembangan etnorelativisme di kalangan mahasiswa.
Dalam misi yang sama, pada Rabu, 19 Maret 2014, kembali diadakan diskusi ‘dekonstruksi’ dengan beberapa praktisi dan akademisi. Tidak membatasi kajian pada sejumlah ranah mata kuliah yang ada di lingkungan perguruan tinggi. Perbincangan diperluas ke pengetahuan lain, bersifat implementatif di kehidupan sehari-hari.
Agaknya memang rabu yang cerah kemarin, menjadi diskusi kebudayaan yang paling greget. Dibuka dengan penampilan dua orang musisi jalanan, kemudian perbincangan soal wirausaha dari seorang pengusaha Mie Aceh MMTC. Kemudian perbincangan tentang seni multimedia oleh Chairil Shaleh, M.Sn., ditutup dengan provokasi oleh sejarawan, Dr.Phil Ichwan Azhari, M.S.
Pembicaraan ihwal kebudayaan pada akhirnya menjadi suatu wacana gempal yang lahap sekali dikunyah oleh para mahasiswa dan dosen yang mengikutinya. Berkali-kali, sejarawan pemburu arsip sejarah itu memaparkan bagaimana sebenarnya kondisi Indonesia dan sejarahnya secara dekonstruktif.
Dengan provokasi yang begitu gencar, Ikhawan berharap dapat membangkitkan kesadaran mahasiswa sebagai pengampu masa depan Indonesia agar cerdas berpikir dan bertindak.
“Di negara yang salah nama ini, segenap warganya pun salah menamai dan memaknai perjuangan serta kemerdekaan. Sebagai golongan cendekia, mahasiswa harus melakukan perubahan.” pungkasnya.
Kegiatan sederhana, namun bernas. Rutinitas ini menjadi sangat menarik ketika para mahasiswa yang sudah menawan dengan aksesoris etnis begitu antusias dan kritis menanggapi persoalan yang didiskusikan. Semoga menjadi momentum kebangkitan yang serius!
Penulis mahasiswa program studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan