Damin Mahmud. Banyak negeri Pulau Sumatera, Medan yang bagus tidak bertara. Begitulah Madong Lubis memuja Medan dalam buku Taman Kesuma. Kumpulan lagu yang dinyanyikan anak-anak sekolah tempo doeloe. Kota golden leaves, daun-daun emas. Tempat toean-toean kebon mencurah-curahkan gulden dan dollarnya.
Setelah perkebunan tembakau dibuka pertama kali oleh Nienhuys, 1872, kemudian berkembang bagai cendawan tumbuh di seputar Sumatera Timur, Medan melejit menjadi kota elit dan makmur. Istana Sultan Deli berdiri megah, masjid Raya anggun, gedung-gedung perkantoran dan pertemuan high society dibangun,
Di sekeliling Lapangan Merdeka masih kita lihat sisa-sisa warisan kolonial itu. Di depannya berdiri Balai Kota (kini terjepit oleh hipermal). Di sebelah kanan berdiri Rumah Bola, tempat toean-toean kebon minum-minum dan berdansa. Kini sudah bersalin menjadi gedung bank. Ada pula kantor-pos yang masih utuh. Di halamannya ada taman kecil dengan air mancur. Selalu dipergunakan sebagai tempat minum kuda-kuda dokar atau bendi milik toean-toean besar dan asisten kebon.
Berjajar ke utara Balai Kota adalah Gedung Bank Indonesia yang masih dapat kita saksikan. Di sebelahnya Hotel de Boer, gedung aslinya masih tersisa. Berjarak kira-kira lima-ratus meter ke utara agak memojok, berdiri pula gedung maskapai tembakau Deli yang kesohor itu. Di belakangnya adalah Kuala Deli, pertemuan Sungai Deli dan Babura.
Ke selatan Balai Kota, menyeberang jalan raya, adalah perkantoran orang Inggris dan Belanda. Lebih ke selatan lagi, dikenal sebagai Kesawan. Itulah kawasan, hingga tahun limapuluhan dikenal sangat elit. Tempat shopping orang-orang Barat dan orang berduit dengan jajaran tokonya yang berhadap-hadapan. Masih dapat disaksikan beberapa gedung peninggalan kolonial itu. Terutama rumah minum Tip-top yang masih berfungsi.
Para wisatawan Belanda tua, apabila menjenguk Medan, banyak yang menangis menyaksikan gedung-gedung itu. Mungkin sekali mereka teringat masa jaya bangsanya di sini. Ada pula yang mengetahui, salah satu toko itu dulu adalah milik kerabatnya.
Di depan Tip-top itu pula berdiri megah rumah Tjong A Fie dengan lokasi yang luas menembus sampai ke jalan Perniagaan. Rumah dengan arsitektur kombinasi Eropa, China dan Melayu. Dia adalah milioner, orang terkaya Asia Tenggara waktu itu. Punya hubungan rapat dengan Belanda dan Sultan Deli. Masjid Lama di Gang Bengkok, belakang Kesawan, adalah sumbangannya. Dapat dilihat keunikan bangunan rumah ibadah ini. Bergaya Melayu dan China. Sedikit sekali dipengaruhi gaya Arab atau Timur Tengah. Tjong A Fie diangkat Belanda sebagai pemuka kaumnya dan diberi pangkat Mayor. Orang-orang Islam ketika itu banyak menduga Tjong A Fie penganut Islam sebab dermawannya kepada masjid-masjid. Setiap Ramadhan dia selalu memberi perbukaan ke mesjid sekitar Medan dan Labuhan Deli.
Seiring dengan itu berdatangan raja-raja uang dan maskapai dari Eropa, terutama Belanda dan Inggris. Mereka membangun rumah kediaman yang kukuh dengan halaman yang teduh dan luas sebagaimana yang masih dapat kita saksikan di sekitar Polonia, Medan.
Sebagaimana dikemukakan Dr. Ichwan Azhari, pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu, Medan bukan dibanjiri orang-orang Belanda dan Eropa klas pekerja dan serdadu. Medan dipenuhi oleh para terpelajar dan orang-orang berduit yang ingin menginvestasikan modalnya.
Mereka ini di negerinya sudah terbiasa setiap pagi sarapan Koran. Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu Koran-koran berbahasa Belanda Inggris dan Melayu terbit. Menurut catatan Dr. Ichwan Azhari pada decade itu telah pernah terbit sekitar 150 koran! Dia sendiri telah memboyong sekitar 50 koran dari Belanda. Kini mangkal di kampusnya di Unimed. Telah banyak menjadi bahan skripsi para mahasiswa.
Keinginan menerbitkan Koran itu telah tertular pula kepada bumi putera. Uniknya, para perempuan pun berkeinginan pula membuat Koran. Misalnya, menurut sejarawan itu, ada 20 orang ibu-ibu berkumpul sudah bisa menerbitkan Koran. Dapat kita lihat dari nama-nama Koran itu yang tampaknya menyebar ke semua suku di Sumatera Utara: Anak Batak, Palito, Soeara Djawa, Soeara Iboe, Perempuan Bergerak, Soeara Atjeh, Waspada, Soera Dairi, Pelita Andalas, Pewarta Deli, Pedoman Masyarakat, Tjermin Karo, Moetiara, Asahan, Ichtiar, Bintang Karo dan lain-lain.
Tak heran kalau dari Koran-koran ini muncul pula berbagai genre karya sastra. Dari sini telah lahir cerita-pendek, cerita bersambung atau novel, syair-syair atau puisi. Seorang mahasiswa Ichwan Azhari bernama Pidia Amelia, mengumpulkan puisi-puisi khususnya ditulis oleh penulis perempuan. Kumpulan yang diberinya nama Mutiara Kiasan itu ditulis dalam rentang tahun 1918-1942.
Saya berkesempatan memberi pengantar. Telah pula diluncurkan dan digelar diskusi di kampus Universitas Muslim Nasional (UMN) Medan. Temuan ini mengejutkan. Ternyata Medan adalah pionir penulisan sastra Indonesia Modern. Bukan Jakarta.
Seiring dengan itu muncullah sejumlah nama pengarang. Dari Medan dan Sumatera Utara telah lahir para pengarang yang mengukir tinta emas dalam blantika Sastra Indonesia Modern: Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, Mozasa, Chairil Anwar, Bahrum Rangkuti, Iwan Simatupang.
Khusus Chairil Anwar, dia memang lahir tepat di jantung kota Medan. Di daerah Kota Maksum, pada 26 Juli 1922. Penyair ini mengukir nama besar sebagai pembaharu. Meskipun berusia pendek, tapi karyanya abadi sepanjang zaman. Dia hanya meninggalkan sekitar 70 biji sajak, namun karya yang sedikit itu, cukup mengguncang persada sastra Indanesia bahkan dunia. Majalah Tempo pernah memilih 10 tokoh Indonesia. Di antara deretan nama Soekarno, Hatta dan Sjahrir muncul nama Chairil Anwar!
Kepadanya layak diberi gelar Pahlawan Nasional. Sebagaimana telah diberikan kepada Amir Hamzah, Abdoel Moeis, Raja Ali Haji, Hamka, Ismail Marzuki. Karena di samping sebagai pionir atau pahlawan bahasa dan sastra dia juga menulis sajak-sajak bertema perjuangan 1945.
Ironinya kita di Medan tidak mengenalnya secara wajar atau melupakannya sama sekali. Padahal dia sangat cinta Medan. Dalam setiap karyanya kental tercium aroma Medan.
Dalam salah satu suratnya kepada HB Jassin dia memberikan pengakuan. Sejak berusia 15 tahun dia menemukan konsep berkesenian secara utuh. Ini tentu digelutinya sepenuhnya di Medan. Karena baru pada usia 20 tahunlah dia berangkat ke Jakarta.
Sangat riskan dan memalukan kalau hingga hari ini, kita tidak tahu di mana rumah Chairil Anwar. Arief Husin Siregar, pendiri Aktor Studio Medan, pernah bilang sama A. Rahim Qahhar. Rumah Chairil di komplek perumahan pegawai Belanda di Jalan Gajah Mada, Medan Baru. Drs. Ben Pasaribu, MMA tampak menguatkan. Dia pernah cerita ke saya bahwa Sekolah MULO yang ditempuh Chairil berada di Jalan Abdullah Lubis.
Aldian Aripin pernah bilang, tahun 50-an ketika mengadakan peringatan Chairil, mereka mengundang ibunya Saleha yang bertempat-tinggal di sekitar Masjid Raya. Besar kemungkinan Chairil lahir di kampung sekitar Masjid Raya itu. Ini dikuatkan oleh cerita temannya, Sjamsulridwan, bahwa Chairil suka berkelahi. Ayahnya yang sangat memanjakannya selalu ikut-campur membela Chairil kalau dia dikeroyok. Jadi kurang masuk akal Chairil selalu buat keributan di sebuah perumahan Belanda yang tertib itu.
Kedua pendapat ini dapat dikaitkan. Setelah beranjak dewasa ayahnya Toeloes dan ibunya berpisah. Ibunya Saleha pindah ke Jakarta. Chairil mulanya ikut ayahnya yang sangat memanjakannya. Mereka pindah ke Rumah Gedong di perumahan Pegawai Belanda itu. Karena memang Toeloes adalah pegawai pamongpraja Belanda. Juga bekas Bupati Kisaran (bukan Asahan) zaman Belanda.
Kemudian Chairil lari dan menyusul ibunya ke Jakarta. Tujuh tahun di Jakarta Chairil meninggal. Ibunya kembali ke Medan dan menempati rumah mereka yang lama di Kota Maksum dekat Masjid Raya itu. Sajak-sajak Chairil seperti yang kita teliti menguatkan pendapat seperti ini.
Walau bagaimanapun, rasanya tidak terlalu susah untuk menemukan rumah Chairil Anwar di Medan. Tokoh yang telah mengharumkan nama kota dan budaya yang telah digelutinya seakarnya ini. Apa lagi pemerintah kota punya komitmen dengan masalah ini.
Pak Wali. Mari kita cari rumah Chairil Anwar!