PRSU: Hidup Segan Mati tak Mau!

Oleh: Riduan Situmorang. Lihatlah PRSU, dia ibarat tubuh tak bernyawa. Dia juga ibarat waktu yang tak berkejadian. Betapa tidak, walaupun PRSU sudah hampir menempuh umur setengah abad, PRSU tetap saja tidak menunjukkan jati dirinya. Ibaratnya, PRSU itu hanya sebatas formalitas: dilakukan tak bertujuan, tak dilakukan pun tidak menjadi masalah. Akhirnya, PRSU itu pun menjadi proyek yang terabaikan.

Padahal, sejatinya, PRSU itu adalah menjadi corong dan sarana potensial bagi Sumatera Utara untuk menggalakkan sekaligus mempromosikan segala potensi yang ada di Sumut. Mestinya juga, PRSU harus menjadi senjata pamungkas bagi Sumut untuk mengaktualisasikan kekhasannya di mata nasional. Akan tetapi tidak, PRSU mengalami jalan buntu dan dilakukan hanya sebatas formalitas. Gejalanya jelas, rakyat Sumut seakan tidak peduli perihal PRSU yang walaupun setelah sepekan dibuka, pengunjung tetap saja sepi. Rakyat Sumut pun tidak tahu menahu perihal PRSU. Sudah begitu, pemberitaan terhadap PRSU pun kurang semarak.

Coba kita lihat di jalanan. Memang, satu-satu ada-ada saja baliho yang mempromosikan PRSU. Di sana dikatakan bahwa PRSU telah dimulai sejak 14 Maret lalu dan telah secara resmi dibuka oleh Gubernur Gatot Pujonugroho. Tapi, geliat masyarakat untuk mengunjungi PRSU masih terkesan stagnan. Ini tentu menjadi persoalan. Persoalan karena PRSU adalah bukan acara ingar bingar dan pesta-pesta saja. PRSU adalah pusat pagelaran kebudayaan dan potensi Sumut dari berbagai pelosok yang pembiayaannya berasal dari APBD. Akan tetapi, tahun ini, semua kabupaten yang ada di Sumut belum ikut bergabung dalam menyemarakkan acara ini.

Kampanye Terselubung

Ada lima kabupaten-Karo, Pakpak Barat, Nisel, Nias Barat, dan Gunung Sitoli-yang tak ikut dengan berbagai alasan. Hal ini makin membuat pengunjung PRSU makin sunyi. Sudah begitu, berita persuasif untuk mengajak masyarakat agar datang ke PRSU pun sangat terbatas. Seperti tadi, memang ada-ada saja satu-satu baliho. Akan tetapi, pada baliho itu yang dituliskan bukan ajakan, melainkan foto para pejabat birokrat di negeri ini. Alih-alih melihat, masyarakat malah mengabaikannya karena cenderung menganggap bahwa baliho itu adalah baliho caleg. Sudah begitu, baliho itu pun sangat sedikit. Baliho itu seakan tidak ada karena baliho-baliho caleg lebih banyak menempati tempat-tempat strategis. Akhirnya, PRSU kali ini kalah pamor dari berita para caleg. Singkat saja, ini sangat ironis, jika tidak tragis.

Pemerintah sepertinya abai dan di sinilah masalah itu beranak pinak. Pemerintah acuh dan masyarakat pun tak peduli. Ruang saling tidak memedulikan ini pelan-pelan makin menganga. Pada gilirannya, identitas Sumut pun terdegradasi. Rasa memiliki masyarakat terhadap segala potensi Sumut tidak ada lagi. Hal ini makin menegaskan bahwa rakyat Sumut sudah tidak lagi dipersatukan dalam rasa persaudaraan, melainkan dipecahkan dalam friksi-friksi karena terkavling pada rasa individual.

Pemerintah pun tidak berbuat banyak. Mereka sibuk memikirkan kepentingan mereka sehingga mereka asyik menumpang kampanye pada setiap momen yang dipersembahkan untuk rakyat. Setiap iklan dan imbauan dibuat ala kadarnya. Sudah begitu, di iklan itu seakan-akan ide utamanya bukan imbauan, melainkan foto para birokrat. Maka, jangan heran jika suatu saat kita melihat foto-foto imbauan di spanduk, tema besarnya adalah foto para birokrat.

Selain itu, PRSU ini pun tidak diminati rakyat juga karena terkesan sangat mengambang. Lihatlah, sejak PRSU dibuka oleh Gubsu pada 14 Maret lalu, nyatanya rakyat yang berkunjung ke sana masih sangat minim. Belum lagi kita berkaca pada efek yang ditimbulkannya nyaris tidak ada. Sejak di-launching-kan pada 43 tahun yang lalu, PRSU belum juga membekas dan meninggalkan prestasi.

Contoh nyatanya, tahun lalu, stan Kabupaten Toba Samosir sudah menggadang dan mengangkat agar Danau Toba masuk dalam geopark international. Namun, nyatanya hingga detik ini, Danau Toba belum menjadi geopark international padahal setahun sudah berlalu. Yang ada, malah saat ini Danau Toba sedang terancam. Di setiap sisinya perambahan hutan makin intens. Akan tetapi, tindakan pemerintah tetap tidak ada. Perambahan hutan tetap saja bergulir di sana tanpa ada yang tahu kapan hal itu akan berhenti.

Menghidupkan PRSU

Masyarakat bukannya diam. Berbagai aksi untuk mendukung agar pemerintah membabat habis para perambah hutan sudah digulirkan. Akan tetapi, pemerintah tetap saja diam sehingga akhirnya tahun yang lalu, 2 Agustus 2013, tiga orang pejuang lingkungan hidup asal Sumut tanpa ragu mengembalikan penghargaan yang pernah mereka peroleh. Mereka itu adalah Marandus Sirait, Drs. Wilmar Eliaser Simanjorang, Sipl. E. C. Dipl. Plan, M.Si. dan Hasoloan Manik. Akan tetapi, pemerintah tetap saja abai.

Hal ini tentu sangat ironis. PRSU yang digadang menjadi panggung rakyat dalam menyampaikan aspirasinya mendadak tidak berarti apa-apa. Sekali lagi itu sangat ironis. Kita menyadari kalau hutan dibalak hidup akan terusik, tetapi kita tetap saja membalak hutan. Pemerintah tetap saja memberi hak konsesi hutan kepada para pengusaha tambun yang seringkali jarang memerhatikan keasrian lingkungan.

Akhirnya, PRSU pun mati suri: hidup segan mati tak mau. Di sisi lain, berbagai daerah sudah sukses memunculkan kekhasannya, tetapi, kita masih tetap saja terhuyung-huyung dan tidak menemukan hal yang paling spesial dan substansial. Sebutlah, misalnya, Jember punya karnaval dan Solo mengandalkan Batik Carnival. Kita bahkan belum berkaca kepada ibu kota yang selalu semarak dengan pesta-pesta rakyatnya. Kini timbul pertanyaan, apakah PRSU ini akan selalu berjalan pada stagnasi hingga berujung pada jalan buntu?

Sebagai rakyat yang cinta pada daerahnya, kita memang berharap lebih pada PRSU. Semoga PRSU ini bukan hanya proyek pesta dan keriangan belaka. Semoga juga pemerintah intens dalam mengelolanya karena melalui corong PRSU ini, kita dapat mengaktualisasikan diri kita ke khalayak nasional, bahkan internasional. Pertanyaannya, mampukah kita untuk menghidupkan gairah PRSU ini supaya makin semarak dan benar-benar mampu untuk mengangkat derajat kebudayaan Sumut di tataran kehidupan? Semoga! ***

* Penulis adalah Staff Pengajar Bahasa Indonesia di Prosus Inten Medan, Konselor Pendidikan di Prosus Inten Medan, aktif di KDM-KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis)

()

Baca Juga

Rekomendasi