Namanya, Jalan Allah

Oleh: Muhammad Idris Nasution. Sesungguhnya kita adalah milik  Allah dan akan kembali kepada Nya.” Sesungguhnya kita sedang berada dalam sebuah perjalanan. Perjalanan kembali kepada Tuhan. Sementara di depan kita terbentang banyak jalan. Jalan yang mana yang akan kita lalui untuk bertemu dengan-Nya?

Di dalam al-Quran banyak sekali ditemukan ragam nama jalan. Mulai dari jalan Allah atau sabilillah, jalan thaghut (QS an-Nisa`: 75), jalan kaum mukmin (QS an-Nisa`:114), jalan kaum pendosa (QS al-An’am: 55), jalan petunjuk, jalan kesesatan (QS al-A’raf: 145), jalan kaum perusak (QS al-A’raf: 141) dan jalan-jalan yang lainnya. Ini untuk jalan kategori sabil. Sementara dalam al-Quran ditemukan juga penggunaan kosa-kata lain yang juga berarti jalan, misalnya kata thariq dan shirath. Dalam agama kita juga ditemukan beberapa istilah yang secara etimologi berarti jalan, seperti syari’ah dan thariqah. Seolah-olah al-Quran mengatakan, ‘Sesungguhnya kalian ini sedang berada di jalanan, coba perhatikan dengan baik, kalian sekarang berada di jalan mana? Masihkah kalian ingat kalian hendak ke mana?’

Sesungguhnya seorang muslim tidak bosan-bosan diingatkan agar selalu mengingat nama jalan yang harus ditempuh. Jalan itu bernama Shirath Mustaqim. Jalan ini, oleh Allah disebut sebagai Jalan Allah atau Shirath Allah (QS asy Syura: 57) Tujuh belas kali sehari semalam kita mengulang nama jalan itu, bahkan lebih. Tiap kali kita membaca Surah al-Fatihah. Jalan itulah sebelumnya yang telah dialaui oleh mereka, para hamba Allah yang telah dianugerahi nikmat oleh-Nya. Nikmat yang diamksud bukan nikmat kesehatan, rizki, anak atau rumah mewah. Akan tetapi yang dimaksud adalah mereka yang telah dianugerahi nikmat taat dan ibadah, atau nikmat ilmu yang dilengkapi dengan amal. Itu yang betul, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya ketika menganalisa Surah al-Fatihah ayat 7.

Sebanyak tujuh belas kali sehari semalam kita diwajibkan memohon kepada Allah agar ditunjukkan mana jalan yang dilalui oleh orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah. Karena tiada lain jalan inilah yang akan menyampaikan kita kepada Allah. Orang-orang yang melalui jalan merekalah yang akan dicintai dan diselamatkan oleh Allah. Dan pula, agar kita tidak terkecoh dengan banyak jalan dan simpang membentang di depan kita. Jika tidak ditunjuki oleh Allah, bukan tidak mungkin kita bakal salah pilih jalan, yang menyebabkan kita dibenci oleh Allah atau malah terjerembab dalam kesesatan. Oleh karena itu, wajar jika kita diperintahkan oleh Allah untuk senantiasa berdoa agar diberi hidayah, hingga tidak mengambil jalan yang keliru. Namun, pertanyaannya, apakah usaha kita sudah seimbang dengan doa-doa yang kita panjatkan?

Jalan itu telah dilalui oleh sekian banyak orang sebelum kita. Mereka iu, kata Allah dalam Surah al-Nisa’, adalah para Nabi, para siddiq, para syahid, dan orang-orang shalih. Tinggal bagaimana cara kita kita mengenal mereka, dan bagaimana jalan hidup mereka untuk dicontoh dan diteladani, agar kita segera dapat ‘tiket’ untuk memasuki ‘gerbong’ yang mereka lalui.

Setelah mendapatkan ‘tiket’ itu, kita masih ada pertanyaan, bersediakah kita menjalani hidup seperti jalan hidup mereka? Karena sebanarnya banyak orang yang mengetahui jalanya, tetapi enggan memasukinya dan memilih jalan lainnya. Firman Allah dalam Suarah al-A’raf ayat (145), “Dan jika mereka melihat jalan petunjuk itu, mereka tidak menjadikannya sebagi jalan. Dan jika mereka melihat jalan kesesatan mereka mengambilnya sebagai jalan.” Barngkali karena jalan ini menawarkan fasilitas yang memuaskan hawa nafsu dan keserakahan, sementara jalan itu tidak demikian, bahkan sering sebaliknya.

Jalan itu, jalan-jalan setan memang sengaja dihiasi dengan pernak-pernik yang mengagumkan dan melenakan untuk menarik para pejalan mengunjungi mereka. Firman Allah, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan, senda-gurau, perhiasan, saling berbangga di antara kamu, dan berlomba untuk memperbanyak harta dan keturunan,” (QS al-Hadidi: 20) Dan terbukti banyak yang tertipu. Hanya segelintir orang tertentu saja yang tidak akan tertipu dan tak bisa ditipu oleh setan dan konco-konconya. Itulah orang-orang yang ikhlas, (QS al-Hijr: 40 dan Shad: 83) yaitu orang yang orientasi hidupnya adalah Allah, tidak ada yang lain. Apapun kegiatan dan pekerjaannya selama dalam perjalanan ini, dia lakukan itu semata persiapan dirinya akan bertemu Tuhan di akhir jalannya. Orang yang punya banyak kepentingan selain itu sangat rentan berbelok jalur, terutama setelah disuguhi dunia.

Itulah salah satu alasan mengapa kita diminta mengucapkan ‘ihdinash-shirath’ , bukan ‘ihdina ilash-shirath’ . Kalimat yang pertama berarti ‘sampaikanlah kami ke jalan itu’, yang berarti meminta kepada Allah bukan hanya sekadar ditunjukkan jalannya, tetapi juga diantarkan ke sana. Hidayah dalam arti seperti inilah yang menjadi hak mutlak Allah. Bahkan Nabi pun tidak diberikan izin melakukannya. (QS al-Qashash: 56) Sedangkan yang kedua hanya berarti ‘perlihatkanlah kepada kami jalan itu’. Sekadar memperlihatkan. Hidayah semacam ini, diberikan juga bagi Nabi Saw. (QS asy-Syura: 56) Hal ini diungkapkan, salah satunya oleh ath-Thabathabai dalam kitab tafsirnya, al-Mizan. (1/37)

Penghuni al-Sirath al-Mustaqim

Pertama, an-Nabiyyun. Yaitu, para Nabi. Merekalah yang menjadi pemimpin di jalan ini. Orang yang menjadikan selain mereka sebagai pemimpin, maka akan menyesalinya di hari akhir. Kabar Allah tentang mereka tertulis dalam Surah al-Ahzab ayat (66-67), “Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Wahai sekeiranya dahulu kami taat kepada Allah dan taat kepada Rasul’. Dan mereka berkata, ‘Ya tuhan sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).”

Kedua, ash-shiddiqun. Mereka itu menurut Buya Hamka adalah orang yang selalu menerima dan membenarkan segala apa yang diperintahkan Tuhan, dengan yakin, percaya dan jujur, tidak pernah berbelah hati dan tidak pernah ragu. Mereka itu contohnya adalah Abu Bakar, yang memang digelar Nabi dengan ash-Shiddiq, dan juga Maryam, yang dikatakan oleh Allah sebagai Ash-Shiddiqah. (Baca: QS al-Maidah: 78) (Tafsir al-Azhar, 5/152)

Dalam kitab tafsir al-Mizan tadi (4/418) disebutkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pada dasarnya tidak pernah berdusta. Yaitu, orang yang tidak melakukan sesuatu kecuali apa yang dipandangnya benar, bukan karena mengikuti hawa nafsu. Dia juga tidak mengatakan sesuatu kecuali apa yang dia anggap benar. Shidq itu menurutnya harus terdapat dalam ucapan dan tindakan. Dalam ucapan berarti perkataannya sesuai dengan apa yang terjadi, sementara dalam tindakan berarti perbuatannya sesuai dengan apa yang dikatakannya.

Ketiga, asy-Syhuhada. Yaitu, orang yang telah syahid, telah memberikan kesaksian atas kebenaran agama Allah, dengan segenap pengorbanan yang ada padanya. Ulama lain mengatakan, mereka adalah orang-orang yang telah menegakkan neraca keadilan.

 Keempat,ash-Shalihun. Yaitu, orang yang baik jiwanya, dan baik amalnya, hanya saja dia kurang kepandaian dan ilmu. Mereka bukan pakar di bidang hukum islam dan segala permasalahannya, mereka adalah orang-orang yang awam, tetapi ketika ada pembangunan masjid, misalnya, mereka turut membantu, ada yang menjadi donator, tukang, atau sekadar pengangkut pasir dan semen. (Tafsir al-Azhar, 5/152)

Menurut an-Naisaburi, sebagaimana dikutip oleh al-Alusi dalam kitab tafsirnya, mereka adalah orang-orang yang mengerahkan umur mereka dalam taat kepada Allah, dan membelanjakan harta mereka di jalan yang diridhai-Nya.

Demikianlah, semoga kita termasuk ke dalam penghuni Jalan Allah ini, yaitu Shirath Mustaqim. Dengan meneladani sikap para penghuninya. Mari berjuang dan bersungguh-sungguh, karena dengan bersungguh-sungguh, Allah akan menunjukkan jalan-jalan-Nya. “Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS al-‘Ankabut: 69)

*Penulis adalah mahasiswa IAIN Sumatera Utara Medan, Fakultas Syariah, Jurusan Ahwal al-Syakhshiyah, Semester VI.

()

Baca Juga

Rekomendasi