Oleh: Jenny Gichara.Pesta demokrasi baru saja usai memilih para wakil rakyat di negeri ini dengan menyisakan berbagai cerita. Satu hal penting perlu dicatat bahwa pesta demokrasi kita semakin dewasa dan bijak. Dilihat dari sudut perolehan suara, hampir semua partai mendapat suara berimbang. Ini pertanda bahwa rakyat telah memercayakan aspirasinya sendiri pada partai pilihannya tanpa paksaan. Rakyat juga semakin jeli memilah-milah dan mencermati partai yang masih dapat dipercaya dan konsiten membela perjuangan rakyat Indonesia agar tingkat kehidupannya semakin baik.
Gagal dan Gangguan Jiwa
Namun, timbul pula hal yang cukup memprihatinkan manakala para calon yang tidak terpilih mulai dikait-kaitkan dengan urusan rumah sakit jiwa. Pertama, saya sempat bingung, apa hubungannya? Ternyata, banyak para caleg yang gagal disinyalir akan menjadi pasien di rumah sakit jiwa karena korban stres dan mengalami gangguan jiwa lainnya. Kenapa? Barangkali sudah terlalu banyak uang yang mereka keluarkan untuk meraih kursi terhormat di badan legislatif. Hal itu sudah dilakukan jauh-jauh hari dalam kampanye sebelum pemilihan umum berlangsung untuk mencari dukungan. Hasilnya? Ada yang berhasil, namun ada juga yang gigit jari. Kelompok caleg gagal akan menjadi cerita baru.
Tetap Bijak
Bagi para caleg yang tidak terpilih sudah merasa begitu besar pengorbanan yang telah diberikan demi terpilih menjadi salah seorang anggota terhormat di parlemen. Tapi apa mau dikata bila nasib berkata lain sehingga menumbuhkan berbagai pertanyaan. Apakah kegagalan akhir dari segalanya? Sampai begitu nekadnyakah seorang caleg mengorbankan hartanya tanpa memperhitungkan kompetensi diri sendiri sebagai calon politikus?
Begitu gampangkah menjadi seorang anggota legislatif hanya dengan politik uang? Apakah tidak ada bidang pekerjaan lain bagi para caleg bila mereka gagal terpilih? Apakah menjadi anggota legislatif sebagai satu-satunya jalan untuk mengubah kehidupan seseorang? Apakah anggota legislatif satu-satunya itujuan hidup sampai tidak ada lagi tujuan lain yang lebih baik dari itu? Mungkin bukan begitu halnya.
Namun, bila hal ini belum bisa terjawab, wajar bila para caleg banyak menjadi pasien rumah sakit jiwa karena tidak memperhitungkan matang-matang risiko kekalahan dalam suatu pertandingan besar. Mengapa harus membuang-buang uang, energi, dan waktu untuk meraih sesuatu yang belum pasti bisa diraih? Hal ini tentu menuntut kebijakan!
Saya yakin, para caleg merupakan figur manusia kuat yang telah mempersiapkan diri sebaik mungkin. Ketika mencalonkan diri, bukankah seorang caleg sebenarnya sudah siap untuk kalah dan menang? Tidakkah disadari ketika seseorang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif, segala kemungkinan bisa terjadi? Jadi, mengapa harus bertindak seperti orang-orang yang tidak punya harapan atau meledak dalam amarah bila belum berhasil meraih kursi? Kalah atau menang sudah seharusnya menjadi hal biasa seperti mengikuti dan perlombaan. Aggaplah pesta demokrasi sebagai perlombaan. Kalah atau menang tak perlu dibesar-besarkan karena sudah disipakan risikonya. Dengan demikian, para caleg tak perlu stres berlebihan sampai harus mengeluarkan dana ekstra berikutnya. Terimalah kekalahan dengan ikhlas dan bijak, serta tak perlu disesali bertubi-tubi.
Andai tidak terpilih, pastilah Anda punya rencana lain. Paling tidak, mempersiapkan diri untuk nyaleg pada periode berikutnya sehingga kompetensi dan kredibilitas Anda semakin matang dan tidak perlu lagi dipertanyakan rakyat. Siapa tahu Anda kegagalan Anda kali ini menunjukkan bahwa Anda memang belum benar-benar siap menyuarakan hati nurani rakyat. Jadi, semuanya perlu waktu dan tetaplah bijak menyikapinya tanpa stres yang sangat mengganggu jiwa dan meresahkan masyarakat tentunya. Sementara, bagi wakil yang terpilih, selamatlah. Mungkin inilah saatnya bagi Anda untuk bersuara di parlemen tanpa melupakan janji manis yang sudah sempat Anda umbar. Buktikanlah, bahwa semua visi dan misi Anda bukan sekadar slogan basi yang bisa berubah menjadi antipati rakyat. Ketika terpilih, Anda sebaiknya mulai memikirkan beban dan kepercayaan rakyat sedang ditaruh di pundak Anda agar segera dilakasanakan, bukan saatnya lagi bagi Anda di parlemen untuk datang, duduk, diam, dan uang.
Seorang murid saya pernah bertanya, “Mengapa banyak caleg yang protes bila tidak menang?” Lalu, saya katakan bahwa sudah menjadi salah satu sifat manusia untuk protes bila kalah dalam suatu pertandingan/perlombaan. Bagaimanapun, manusia cenderung membela diri dan tidak mau disalahkan bila membuat kesalahan meskipun hal itu layak ia terima. Itu merupakan hukum alam karena manusia pada dasarnya sangat sulit menerima kekalahan. Perlu waktu untuk pulih dari keadaan terpuruk tersebut.
Tak Perlu Kambing Hitam
Ketika gagal dalam suatu perlombaan atau pertandingan, umumnya kita berupaya membela diri terlebih dulu. Itu sudah natur kita sebagai manusia yang berdosa. Bahkan seseorang yang sudah jelas-jelas tertangkap tangan melakukan kejahatan sekalipun tetap berupaya berdalih bahwa bukan ia pelakunya, namun justru mengkambinghitamkan orang lain. Padahal, sudah sangat jelas, bahwa dialah pelaku utama yang sesungguhnya.
Menerima kekalahan diri memang sangat sulit pertama sekali dan sangat jarang orang yang mau berjiwa besar menerima kekalahannya. Memang ada orang yang sudah mempersipakan kekalahan sebelumnya. Tapi, itu pun bisa dihitung dengan jari. Kalau sudah terjadi klarifikasi, barulah mungkin sikap kita mau berubah. Bila kekalahan terus diributkan, mungkin akan timbul kecaman dan kritik, serta berbagai bentuk ketidakpuasan lainnya dari masyarakat.
Itulah dinamika demokrasi yang harus diterima dengan lapang dada. Kalah atau menang sebaiknya disikapi dengan pandangan positif bahwa memang itlah yang terbaik yang diterima saat itu. Anda juga dapat menjadi pihak oposisi yang dapat mengoreksi setiap kebijakan pemerintah nantinya. Bagaimanapun, pemerintahan tanpa pihak oposisi juga kurang seru karena semua kebijakan diterima bulat-bulat oleh rakyat.
Pembelajaran Berarti
Pilpres kita mendatang masih terus merupakan proses pembelajaran demokrasi yang semakin matang dan baru diterapkan setelah tumbangnya rezim Orde Baru. Cukup sulit menyaksikan nilai-nilai kejujuran dan kebebasan karena negara kita selama ini sangat ‘garing’ dengan nilai-nilai tersebut di panggung politik.
Masih jelas dalam ingatan saya ketika negara kita melakukan pilpres puluhan tahun lalu, pasti kandidatnya selalu menang mutlak dan merata di setiap daerah. Kemenangan pun sering mencapai angka 95-100%. Sebuah angka fantastis untuk suatu negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Namun, ketika melihat prosentasi suara yang rendah saat ini, hati kita belum rela menerimanya karena sudah lama terbuai dengan kemenangan mutlak. Bagi saya yang mulai melek politik selalu bertanya-tanya, apakah ini benar praktik demokrasi Pancasila yang sudah saya pelajari di bangku sekolah? Kok pelaksanaannya sering melenceng?
Saat negara kita sudah memasuki dimensi pembaruan demokrasi yang kian sehat, mata kita terbelalak dibuatnya dan kemenangan lawan masih sulit diterima. Kita pun ikut shock karena rakyat semakin pintar memilih calon legislatif dan presiden yang dianggap layak naik panggung kekuasaan.
Kini, rakyat tak perlu didikte. Mereka sudah mengenal calon pilihannya yang sesuai dengan pilihan hati nurani. Memang perlu waktu yang panjang untuk belajar dan menikmati demokrasi yang sehat tanpa perlu saling tuding. Diakui bahwa masih banyak yang salah dan kurang selama pilpres kita kali ini, tapi biarlah itu menjadi koreksi yang terbaik bagi semua pihak di masa depan. Kata orang bijak orang yang tidak pernah melakukan kesalahan adalah orang yang tidak akan pernah maju.
Saya yakin bahwa koreksi yang dilontarkan oleh pihak yang kalah pastilah didengar oleh pihak pemenang supaya kesalahan yang sama tidak terulang kembali. Seperti saya katakan sebelumnya, bahwa kita masih terus belajar menuju demokrasi yang sehat dan sempurna. Suatu pembelajaran yang berarti!
Belajar Demokrasi
Kita juga perlu belajar dari perjalanan panjang demokrasi di Amerika Serikat, terutama saat pertarungan Barrack Obama dan Mc Cain menuju kursi kepresidenan bulan Februari yang lalu. Meskipun Barrack Obama yang akhirnya memenangkan pemilihan, Mc Cain sebagai rivalnya menerima kekalahan dengan berjiwa besar dan rendah hati serta mengakui keunggulan lawannya. Bahkan yang lebih hebat lagi, kekalahan Mc Cain tidak dijadikannya sebagai sarana untuk mencemooh lawan, melainkan siap mendukung setiap kebijakan Barrack Obama.
Sungguh hal itu menjadi demokrasi yang sehat nan indah. Kita perlu belajar demokrasi dari ngara-negara mapan dalam hidup berdemokrasi. Setiap orang berhak maju menuju kursi kepresidenan bila ia layak dan didukung untuk memangku jabatan tersebut sesuai kapabilitasnya. Bangsa Indonesia merindukan calon pemimpin bangsa yang muda, enerjik, dipercaya rakyat, dan berkompetensi untuk lima tahun mendatang. Andakah salah satu orangnya? ***
Penulis adalah pengamat sosial dan pengajar.