Apakah Kita Bangsa Curang?

Oleh: Rizal R Surya. APAKAH kita mau disebut sebagai bangsa yang curang? Logikanya, pasti tidak ada yang mau. Karena curang merupakan sebuah perbuatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral serta bermartabat rendah. Jadi, tidak ada orang (bangsa) yang mau disebut tidak bermoral dan bermartabat rendah.

Tapi kenyataannya, dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan pada perbuatan curang. Anehnya, perbuatan curang ini kerap dicontohkan oleh para penguasa dan elite poltik di republik ini.

Menjelang, saat dan setelah pemungutan suara pada Pemilihan Umum Legislatif (pileg) kemarin, kita kerap mendengar semacam, imbauan, harapan atau sejenisnya yang berisi agar pileg , tidak hanya berlangsung aman dan damai saja, tapi kerap diembeli-embeli perkataan, ‘jujur dan adil’ (jurdil).

Kenapa muncul kekhawatiran dari banyak pihak bahwa pileg tidak akan berlangsung jurdil? Karena pengalaman dari pileg-pileg sebelumnya, maupun pemilihan umum lainnya seperti pemilu kepala daerah (pilkada), selalu diwarnai dengan ketidakjujuran alias curang.

Buktinya, banyak caleg yang terbukti melakukan praktik politik uang (money politics), saat kampanye dan menjelang pemungutan suara (serangan fajar) serta ketika penghitungan suara. Anehnya pencurian suara dewasa ini kerap dilakukan oleh caleg separtai atau istilahnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kenapa praktik curang masih kerap terjadi di republik ini meski pengawasan terhitung cukup ketat dilakukan. Tidak hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja yang mengawasi tapi ada insitusi lain yang diberi nama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Di banyak negara lembaga semacam Bawaslu ini tidak banyak dikenal. Pengawasan pemilu hanya dilakukan oleh penyelenggara saja. Anehnya, meski sudah diawasi secara ketat tapi praktik curang tetap saja langgeng terjadi.

Praktik curang kerap terjadi karena penyelenggara dan pengawas pemilu yang harusnya berposisi sebagai ‘wasit’ sering ‘ikut bermain’. Kalaupun tidak ‘ikut bermain’ setidaknya mereka tahu ‘ada permainan’ di situ. Logika sederhana berpikir, sebagai ‘wasit’ tentu kita tahu bagaimana jalannya pertandingan tersebut. Wasit segera tahu siapa yang menang dan siapa yang kalah!

Masalahnya sangat sulit membuktikan praktik kecurangan ini. Maaf, ibarat buang angin (kentut), baunya bisa dirasa ke mana-mana meski sulit kita merabanya. Memang tidak semua, berprilaku seperti itu, karena masih ada penyelenggara pemilu yang jujur. Tapi penyelenggara yang berprilaku jujur ini kerap sulit melihat praktik kecurangan karena dilakukan secara sistematis dari bawah.

Seorang caleg yang di atas kertas sudah pasti menangpun kadang masih khawatir suaranya hilang dicuri. Mareka ini kadang-kadang tidak segan ‘mendekati’ penyelenggara pemilu hanya untuk satu hal, ‘tolong jaga suara saya agar tidak dicuri!’ Bayangkan yang sudah bersusah payah bersosialisasi di tengah masyarakat, bersusah payah mencari simpati warga, akhirnya suara yang diraih dengan susah payah itupun bisa hilang.

Bayangkan bagaimana daerah kita, negara kita, tidak rusak jika para wakil rakyat yang terpilih merupakan orang-orang yang berprilaku curang. Karena itu kita harus melawan prilaku curang ini. Sayangnya, sebagian besar dari kita apatis dengan kondisi bangsa dan negara kita. Bahkan tidak sedikit yang sudah ‘lupa ingatan’ atau amnesia. Hari ini disakiti, besok disakiti, lusa disakiti, tapi lima tahun kemudian ketika mereka datang membawa sekilo beras, gula, minyak tanah dan beberapa lembar uang recehan, kita akan tetap memilih mereka. Siapa yang salah? Kita sendiri.

Tapi kita tidak bisa menyalahkan mereka-mereka itu, karena praktik curang, tanpa disadari sudah diajarkan para guru kita sejak dini. Lihatlah saat ujian nasional (UN), untuk menjaga ‘reputasi sekolah’ tanpa sadar banyak sekolah (guru) yang mau memberikan kunci jawaban kepada murid-muridnya. Bukankah ini praktik curang?

Kemudian saat penerimaan pegawai negeri sipil (PNS), praktik kecurangan juga kerap terjadi. Akibatnya, tidak seluruh pegawai yang diterima itu betul-betul berkualitas. Kalau penyelenggara negara masuk dengan cara yang tidak benar, tentu dalam menyelenggaran pemerintah mereka juga akan melakukan praktik yang tidak benar pula. Bagaimana mereka nantinya tidak korup kalau masuknya juga harus membayar.

Kondisi seperti ini merupakan sebuah lingkaran setan yang sulit untuk memutusnya. Memang sulit, tapi pasti ada jalan kalau kita mau melaksanakannya, tentu dengan niat yang baik pula. Caranya, kita harus memilih wakil dan pemimpin yang benar-benar terpilih melalui cara yang bersih dan tidak curang. Kalau pemilihan sudah dianggap bersih, tugas kita menjaganya agar dalam proses selanjutnya tetap bersih!

Kita tidak mau dicap sebagai bangsa yang curang. Lawan praktik curang!

()

Baca Juga

Rekomendasi