Oleh: H. Kliwon Suyoto. Arkand Bodhana Zeshaprajna yang selama ini bergelut didunia metafisika mengusulkan agar nama negara Indonesia diganti menjadi Nusantara. Doktor University of Metaphysics International Los Angeles, California, Amerika Serikat itu, punya lima argumentasi atas usulannya.
Pertama, nama adalah ideasi dan enerji bukan sembarang sebutan. Ungkapan apalah arti sebuah nama tidak berlaku baginya. Ilmu fisika menyebut energi bersifat kekal, tidak bisa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Segala sesuatu di alam semesta ini memiliki energi, termasuk nama.
Dalam pandangan Arkand, nama Indonesia untuk penyebutan republik ini dinilai tidak tepat. Dia pun mengusulkan agar nama Republik Indonesia diganti dengan Nusantara, penyebutan yang sudah sering digunakan di zaman Majapahit.
Kedua, menurut Arkand dalam pandangan metafisika, nama Indonesia hanya memiliki Synchronicity Value sebesar 0.5. Synchronicity Value adalah paramater dalam Arkand secret code untuk menganalisa sebuah nama.
Menurut Arkand, rentang Synchronicity Value berada di kisaran 0,05 hingga 1,0. Sedangkan Synchronicity Value yang positif berada di angka 0,8 hingga 1,0. Nama Indonesia sendiri kata Arkand hanya memiliki Synchronicity Value 0,5.
Ketiga, berdasarkan paramater Coherence Value, sebagai petunjuk struktur kode-kode dalam diri sendiri yang saling berkaitan satu dengan kode yang lainnya. Nama Indonesia hanya memiliki nilai 0,2. Padahal, rentang Coherence Value berada di kisaran 0,1 hingga 1,0 dengan nilai positifnya di kisaran 0,7 hingga 1,0.
Coherence Value dalam kehidupan bisa dilihat dari cara seseorang atau negara menguasai satu atau beberapa keahlian. Semakin tinggi Coherence Value tingkat penguasaan terhadap keahlian semakin baik, semakin kompeten.
Keempat, kata Indonesia bukan berasal dari orang Indonesia atau pribumi, sehingga membuat perjalanan bangsa kini menjadi terseok-seok. Nama Indonesia diberikan oleh James Richardson Logan pada tahun 1850 melalui artikel The Ethnology of the Indian Archipelago.
Logan kemudian memungut nama Indunesia yang sebelumnya diperkenalkan oleh George Samuel Windsor Earl, seorang ahli etnologi bangsa Inggris. Oleh Logan, huruf “u” diganti dengan “o” agar ucapannya lebih baik, maka lahirlah istilah Indonesia.
Kelima, Menurut Arkand, banyak kebudayaan di dunia yang mengganti nama seseorang yang sering sakit pada masa anak-anak. Begitupun dengan negara, jika bangsanya sering sakit-sakitan, maka mengganti nama negara bisa menjadi solusi.
Penggantian Nama Negara
Penggantian nama Indonesia menjadi Nusantara memang bisa menimbulkan pro dan kontra sesuai perspektif yang berbeda. Tetapi perlu diingat, bahwa banyak negara di dunia yang telah melakukannya.
Sebut saja East Pakistan atau East Bengal yang pada tahun 1971 berganti nama menjadi Bangladesh. Byelorussia (White Russia) yang pada tahun 1991 berganti nama menjadi Belarus. Southern Rhodesia menjadi Rhodesia (1965), Zimbabwe-Rhodesia (1979) menjadi Zimbabwe (1980). Portuguese Timor menjadi East Timor (1975) terakhir (2002) menjadi Timor-Leste. Gold Coast menjadi Ghana (1957). Siam menjadi Thailand (1949).
Contoh ini hanya sebagian kecil, masih banyak negara di belahan bumi ini yang pernah berganti nama. Bahkan belakangan ini ada dua negara yang juga berencana mengganti nama, yaitu Mexico dan Kazakhstan.
Beberapa hari sebelum menyelesaikan masa jabatannya, Presiden Meksiko Felipe Calderon menyampaikan pesan terakhir yang tidak biasa: “Ayo ganti nama negara ini.”
Dalam sebuah acara di kediaman kepresidenan, Calderon menyatakan telah mengajukan proposal kepada Kongres untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar, agar dapat mengganti nama resmi negara itu dari Perserikatan Negara-Negara Meksiko menjadi Meksiko saja.
Proposal Calderon itu mencerminkan rasa malu dan tidak puas akan nama sekarang, yang sudah bertahun-tahun dirasakan banyak warga Meksiko. Rakyatnya merasa nama itu membuat mereka terkungkung sebagai “adik” tetangganya di utara, Amerika Serikat (AS).
Sama halnya dengan Presiden Mexico, Presiden Kazakhstan, Nursultan Nazarbayev, mengeluarkan ide yang cukup mengejutkan rakyatnya. Dia mengusulkan pergantian nama negara di Asia Tengah itu dari Kazahkstan menjadi Kazakh Eli.
Tujuan pergantian nama itu disebabkan citra negara itu yang lekat dengan kemiskinan dan ketidakmampuan. Soalnya, kesan itu sudah melekat sejak negara pecahan Uni Soviet pertama kali merdeka pada 1991. Padahal, negara itu memiliki sumber daya alam berupa minyak bumi yang melimpah.
Selain itu, Kazakhstan juga memiliki luas negara terbesar ke-9 di dunia. Perekonomian mereka pun terus tumbuh dan menjadi yang terbaik di antara negara-negara ‘Stan’ lainnya, yakni Uzbekistan, Turkmenistan, dan Kirgistan.
Kenapa Tidak ?.....
Merujuk pada sejumlah referensi diatas, mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara, rasanya bukanlah hal yang tabu. Apalagi untuk disebut sebagai penghilangan atau melupakan sejarah. Toh nama Nusantara merupakan bagian dari sejarah jauh sebelum nama Indonesia digunakan.
Terlebih lagi bila dikaitkan dengan fakta perjalanan negara ini selama hampir 69 tahun merdeka, yang nyaris dapat disebut lamban untuk tumbuh dan berkembang walau didukung dengan kekayaan aneka sumber daya alam.
Pada era Bung Karno, perekonomian tak mampu membuat rakyat Indonesia sejahtera, karena enerji pemerintah lebih terkuras pada urusan “disintegrasi” berupa pemberontakan di berbagai daerah.
Padahal bersamaan dengan itu, pemerintah memandang pencitraan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka kepada masyarakat dunia sangatlah urgen.
Pada 32 tahun era Soeharto, Indonesia mengalami kebangkitan, tetapi mari kita bandingkan dengan negara jiran di Utara Indonesia, Malaysia, Singapura dan Thailand.
Harus diakui, bahwa kita kemajuan Indonesia dalam berbagai hal – utamanya infrastruktur — masih jauh ketinggalan.
Era reformasi yang kita harapkan dapat mempercepat kemajuan di negeri ini, ternyata juga masih belum memenuhi harapan. Arwah Pak Harto pun seolah berkata: “Masih enak di zaman saya, toh ?”, karena korupsi semakin merajalela.
Jadi, fakta setelah hampir 69 tahun Merdeka, kita masih juga belum merasakan kemajuan yang signifikan.
Masih kalah dengan negara jiran di belahan Utara Indonesia, sehingga kita tidak boleh menyepelekan pandangan secara metafisika terkait perlunya mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara.
Mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara, kenapa tidak?
Momentum Tepat
Jelang era pergantian kekuasaan pasca Pemilu Legislatif 2014 merupakan momentum yang tepat mengusung perubahan nama Indonesia menjadi Nusantara.
Beberapa slogan yang diusung sejumlah Parpol pada Pemilu 2014 dan relevan dengan harapan kemajuan Indonesia ke depan, adalah:
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), “Teriakan Indonesia Hebat”. Partai Nasional Demokrat (Nasdem), “Menggelorakan Restorasi Indonesia”. Partai Amanat Nasional (PAN), “Terus Berkerja Untuk Rakyat”. Partai Persatuan Pembangunan (PPP), “Memandu Menuju Indonesia Berkah”. Dipertegas dengan slogan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang bertanya: “Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi?”.
Sejumlah slogan diatas merupakan komitmen mendorong perubahan menuju Indonesia menjadi lebih baik, yang dapat “diboncengi” dengan mengusung perubahan nama Indonesia menjadi Nusantara.
Karenanya, Arkand Bodhana Zeshaprajna selaku penggagas penggantian nama diharapkan dapat mendekati kalangan Parpol yang dominan menjadi penguasa pada periode 2014 – 2019, utamanya PDI-P.
Memang tidak mudah, karena gagasan ini sangat sensitif dan berpotensi pada resistensi. Terlebih ketika salah seorang dari unsur PDI-P, yaitu Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo pernah menyatakan pergantian nama akan menghilangkan sejarah.
Menurut dia tidak mungkin nama negara diubah begitu saja hanya karena pertimbangan ilmu metafisika. “Kalau dari metafisika ya mungkin saja, tapi kan saya bukan orang metafisika,” terangnya.
Tetapi hal ini dapat disiasati Arkand dengan membentuk komunitas yang dapat menerima lima argumentasi diatas.
Kemudian komunitas ini mengemasnya untuk didiskusikan dalam skala nasional melalui seminar, sehingga mampu meyakinkan para pihak yang terkait dengan nasib bangsa dan negara Indonesia di masa mendatang.
***
Dari hal-hal yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pergantian nama suatu negara bukanlah hal yang tabu, terbukti telah banyak dilakukan sejumlah negara di dunia ini.
Terlebih ketika penggantian nama dimaksudkan untuk perubahan nasib perjalanan bangsa dan negara Indonesia ke depan.
Pergantian nama rasanya tidak harus menghilangkan sejarah. Sejarah bangsa dan negara Indonesia tetap seperti yang tertulis di sejumlah buku sejarah. Hanya nama Indonesia yang dirubah menjadi Nusantara, dan ini membuka lembaran sejarah baru perjalanan bangsa dan negara Indonesia.
Kita berharap dengan perubahan nama Indonesia menjadi Nusantara dapat mewujudkan Indonesia Hebat secara hakiki, tidak sekedar teriakan. Dalam arti aneka sumber daya yang dimiliki negeri ini dapat menjadikan bangsa dan negara Indonesia menjadi benar-benar hebat.
Jadi, mengganti nama Indonesia menjadi Nusantara sebaiknya kita lakukan. Kalau tidak kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.
Mari kita ganti nama Indonesia menjadi Nusantara, agar tidak kalah maju dengan negara di sebelah Utara, Malaysia dan Singapura. Semoga !!! ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial, ekonomi dan transportasi tinggal di Tebingtinggi.