Sinabang, (Analisa). Atraksi debus Simeulue merupakan warisan turun-temurun masyarakat kepulauan Simeulue. Namun, kini atraksi seni tradisional itu mulai pudar terkikis era modernisasi. Mayoritas generasi muda Simeulue kurang tertarik memainkan atraksi ekstrem tersebut.
“Sekarang ini sudah kurang diminati. Padahal kalau dilestarikan akan memberikan nilai tersendiri bagi daerah karena debus ini merupakan warisan penduduk Pulau Simeulue,” kata tokoh masyarakat Simeulue, Kasidin, di Sinabang, Senin (21/4).
Bukti debus Simeulue sebagai warisan daerah kepulauan itu adalah mantranya yang berbahasa Pulau Simeulue. Pemain debus dapat membengkokkan besi atau berbagai bentuk sesuai keinginan pemain. Saat beratraksi, mereka diiringi syair berbahasa daerah.
Dalam acara seremonial sekarang ini, sebagian besar atraksi debus kerap dimainkan para orang tua. Hanya sebagian kecil saja anak muda yang ikut memainkannya. “Kalau dulu banyak anak muda yang bermain debus, tapi sekarang sudah jarang,” ungkapnya.
Atraksi debus Simeulue biasanya dimainkan pada acara seremonial baik untuk penyambutan tamu luar daerah maupun dalam hiburan keluarga seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya.
Dalam acara penyambutan tamu, atraksi debus biasanya menggunakan rencong dan pedang. Orang-orang terlatih memainkan debus dibarengi tarian rebana dan memanfaatkan lengan, perut, telapak tangan, dan paha sebagai sarana untuk ditusuk dengan benda tajam.
Sedangkan untuk hiburan keluarga, selain rencong Aceh dan pedang, juga menggunakan potongan kayu tajam sebagai bahan untuk memainkan debus. Dalam bahasa Simeulue, potongan kayu yang sengaja ditajamkan tersebut dinamakan “Anifung”
Menakuti Lawan
Dalam sejarahnya, atraksi debus Simeulue digunakan para pejuang kemerdekaan untuk melawan penjajah yang masuk ke pulau paling barat Aceh itu. Meski pada waktu itu pejuang menggunakan bambu runcing melawan musuh, namun juga menggunakan rencong untuk menakuti lawan dengan menancapkan ke tubuh para pahlawan yang sudah kebal.
Kasidin yang juga ahli memainkan debus itu mengatakan, dibanding dengan zaman dulu, terjadi perbedaan signifikan antara minat pemuda masa kini dengan dahulu.
“Kalau dulu, orang berlomba-lomba menuntut ilmu besi untuk bisa bermain debus. Tapi sekarang, orang malah takut,” katanya.
Pantauan Analisa selama beberapa bulan di Pulau Simeulue, sejumlah desa masih melestarikan seni debus. Meskipun saat ini didominasi penduduk lanjut usia, namun para generasi muda terus diajak untuk melestarikan budaya turun-temurun itu agar seni ini tidak hilang ditelan zaman. (bei)