Ketika Semua Menjadi Pemakan Tumbuhan

Oleh: Hari Murti, S. Sos. Tumbuhan adalah produsen makanan untuk semua mahluk hidup. Pada prinsipnya, semua mahluk hidup adalah pemakan tumbuhan. Tetapi, ada yang langsung memakan tumbuhan dan ada yang tidak langsung, misalnya hewan karnivora. Harimau  adalah karnivora yang memakan rusa yang merupakan herbivore pemakan tumbuhan. Ini  berarti tumbuhan sebagai produsen makanan bagi harimau juga. Malah, sudah jamak kita lihat bahwa beberapa jenis hewan yang dekat dengan manusia (hewan peliharaan) dari jenis karnivora dan herbivora telah meniru tuan-nya, yaitu menjadi omnivora. Kucing dan bebek sudah makan dari sisa nasi dan ikan kita yang diletakkan dalam satu wadah yang sama. Sisa nasi dan ikan dimakan kucing dan bebek secara bersamaan.

Di sisi yang lain, kita sudah sibuk dengan penipisan cadangan minyak fosil. Energi alternatif pertama yang dilihat manusia atas penipisan energi fosil adalah energi nabati, tumbuhan. Jagung, jarak, sawit, ubi, dan masih banyak lagi jenis tanaman  sudah diolah menjadi bahan bakar. Indonesia sering  mengalami kelangkaan  jagung untuk kebutuhan dalam negeri. Padahal, produksi dan konsumsi jagung dunia stabil. Selidik punya selidik, ternyata negara utama  eskportir jagung, AS, telah mengurangi ekspor jagungnya untuk diolah menjadi etanol untuk mencukupi kebutuhan energy dalam negerinya.

Apa yang kita lihat dari fenomena ini? salahsatunya adalah bahwa sekarang ini mulai terjadi keadaan dimana semua mahluk hidup akan menjadi omnivora dan semua benda mati buatan manusia yang bernama mesin akan bergerak menjadi “herbivora”. Singkatnya, semua mahluk hidup dan mati akan menjadi pemakan tumbuhan secara langsung. Mungkin pergerakan dimana semuanya akan  menjadi pemakan tumbuhan  ini perlahan, tetapi terlihat pasti.

Di sisi yang lain lagi, kita kurang peduli pada tumbuhan, baik jumlahnya maupun keanekaragamannya. Setiap kali ada permukaan tanah yang kosong di perkotaan, dapat dipastikan akan disesaki dengan benda kotak-kotak yang bernama ruko. Di pedesaan, setiap ada tanah kosong, hampir dapat dipastikan diisi dengan tanaman kelapa sawit (monokultur) sehingga tidak memperdulikan keanekaragaman. Ruko di kota, kelapa sawit di desa.

Jadi, apa masalahnya? Masalahnya mudah dijelaskan, tetapi kemudahan penjelasan itu justru membuat ketakutan. Yaitu, adanya situasi berbanding terbalik antara jumlah tumbuhan dengan jumlah pemakan tumbuhan yang terdiri dari mahluk hidup dan mesin-mesin. Jumlah pemakan tumbuhan meningkat sangat signifikan, mulai dari jumlah unitnya dan jumlah keanekaragamannya. Tetapi, si produsen makanan, yaitu tumbuhan justru mengalami kondisi sebaliknya, terus tergerus secara signifikan, baik dari aspek jumlah unit maupun keanekaragamannya. Inilah mungkin yang pernah dikhawatirkan oleh pakar ekonomi, Thomas Maltus, yang mengkhawatirkan kehidupan manusia di atas tahun 2000-an yang tidak lagi peduli pada tumbuhan.

Kita mungkin pernah  menonton film fiksi ilmiah produksi  Barat yang menceritakan tentang persaingan manusia dengan mesin-mesin buatannya sendiri yang memiliki kecerdasan, seperti komputer, robot, dan belakangan teknologi smart. Melihat fenomena dimana semua entitas akan bergerak menjadi pemakan tumbuhan  membuat kita berpikir bahwa film tersebut tidak berhenti hanya sekadar film. Suatu saat nanti, kita akan benar-benar bersaing  melawan  mesin-mesin dalam mencari makanan. Jelas bahwa persaingan itu tidak sempurna seperti persaingan mencari makanan antarsesama mahluk hidup. Posisi manusia tetap sentral, yaitu sebagai penentu mesin akan makan tumbuhan yang mana, kapan, berapa, dimana, dan apa. Tetapi, kita tahu bahwa manusia punya sifat serakah. Keserakahan  membuat manusia  menggunakan mesin-mesin canggih yang berbahan bakar dari  tumbuhan secara besar-besaran.

Maka, yang terjadi sesungguhnya bukan krisis pangan, tetapi krisis jumlah pemakan. Artinya, masalahnya kembali pada manusianya. Yaitu, kesadaran manusia tampaknya masih berhenti pada titik dimana manusia adalah ujung mata rantai makanan. Sedangkan kesadaran bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di muka Bumi untuk mengelola tumbuhan dan hewan-hewan agar lestari masih sangat minim. Bahasa mudahnya, manusia sedang membunuh dirinya sendiri secara tidak langsung dengan cara mengarahkan semua entitas menjadi pemakan tumbuhan, tetapi mendegradasi tumbuhan itu sendiri.

Bahan Bakar Hewani

Berhentikah manusia pada titik mencari bahan bakar dari unsur  nabati saja? Tidak! Pertama, pencarian arah ke nabati secara intensif lebih karena unsur nabati yang sudah nampak nyata hasilnya menjadi bahan bakar. Biodiesel sudah di SPBU-SPBU, bukan? Kedua, sudah sangat disadari bahwa jumlah nabati yang bisa diolah menjadi bahan bakar sangat sedikit dibanding realitas kebutuhan. Maka, pencarian akan mengarah kepada bahan bakar dari unsur hewani. Lemak-lemak yang dikandung tubuh hewan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk diusahakan menjadi bahan bakar.

Jika hewan dan tumbuhan sudah diolah menjadi bahan bakar, logika kita tertusuk. Cara telah dibalik menjadi tujuan. Maksudnya, mesin-mesin awalnya hanyalah  sarana atau cara  manusia untuk mencapai tujuannya, kebahagiaan dan kesejahteraan. Ketika mesin diupayakan agar tetap bisa hidup dengan berbagai macam bahan bakar, apakah situasi ini tidak terbalik dimana usaha agar mesin tetap dapat bekerja telah menjadi tujuan itu sendiri? Bayangkan kalau mesin-mesin telah menjadi “omnivora” yang memakani tumbuhan dan hewan-hewan.

Mengapa bisa semua bergerak menjadi pemakan tumbuhan dan akhirnya hewan? Satu saja jawabannya, yaitu manusia terlalu segan untuk kembali ke titik balik sistem perulangan alam. Ki-amat yang sesungguhnya adalah ketika semua entitas adalah mati, yaitu dominannya mesin-mesin di banding mahluk hidup. Tetapi, justru itu pula dianggap kehidupan, yaitu dengan mesin-mesin yang dominan mengambil alih peran manusia, hewan, dan tumbuhan. Sebaliknya, ajaran dalam biologi yang menyatakan bahwa fungsi hewan adalah sebagai bahan konsumsi, alat bantu kerja, dan kesenangan bagi manusia justru dianggap sebagai peringatan bahwa keadaan manusia menjadi buruk bila kembali seperti itu. Maksudnya, manusia sama sekali tak ingin kembali ke titik balik sistem perulangan, misalnya menggunakan hewan sebagai alat bantu aktivitasnya karena itu dianggap kemunduran. Hewan hanya untuk dimakan saja, pikirnya.

Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Begini: pergerakan pencarian energi ke arah nabati dan hewani tampaknya tak bisa dihindari. Maka, ada dua tindakan yang tak bisa ditunda-tunda lagi, yaitu secara besar-besaran mengembalikan jumlah hewan dan tumbuhan, baik jumlah unitnya maupun jumlah keanekaragamannya. Itu yang pertama. Yang kedua adalah mau tidak mau kita harus menge-rem ketergantungan kepada mesin-mesin dengan kembali ke hewan sebagai alat bantu aktivitas manusia. Dua langkah itulah yang paling dekat untuk dilakukan. Jadi, berhentilah bersikap naif seolah permukaan tanah hanyalah  tempat untuk ruko, pabrik, jalan, lahan parkir, plaza, tanaman monokultur, dan lainnya. Hewan dan tumbuhan mungkin berkata, keserakahanmu yang memusnahkanku sekaligus mengakhiri penderitaanku, tetapi mengawali penderitaanmu sendiri, wahai manusa!***

Penulis adalah pemerhati sosial, alumnus STIK Pembangunan” Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi