Oleh: Liven R.
Cintailah setiap kehidupan, sebab demikian juga Anda ingin diperlakukan. Cintailah setiap kehidupan, sebab itu adalah anugerah-Nya!
ENAM tahun yang lalu, tepatnya di bulan November, keluarga besar penulis sedang bersiap-siap menyambut kelahiran keponakan penulis.
Saat itu, dikarenakan telah terjadi kontraksi pada kandungannya yang belum genap sembilan bulan, dan untuk mencegah hal yang tak diinginkan, kakak penulis diharuskan untuk segera menjalani operasi sesar untuk proses kelahiran bayinya.
Kala itu, dengan perasaan tegang bercampur gembira, keluarga penulis terus berdoa agar persalinan dapat berjalan baik dan lancar. Dan, tunggu punya tunggu, menjelang sore, melalui SMS dan telepon, kami pun menerima kabar dan saling mengabarkan bahwa persalinan telah usai, putra pertama kakak penulis telah lahir dengan selamat. Puji Tuhan! Foto si bayi yang baru keluar dari ruang persalinan pun segera kami terima melalui MMS saat itu juga dan segera menjadi rebutan kami yang tak bosan-bosannya berkomentar, “Lucu sekali. Mirip daddy atau mommy-nya, ya?!”
Malam itu saat penulis pulang kerja, Mama penulis yang baru pulang dari RS mengabarkan sebuah kabar buruk. Di balik kegembiraan kami kala itu, ternyata ada hal yang tak kami ketahui. Ya, putra kakak tak menangis saat dilahirkan!
Tentu saja ini adalah hal yang tak sewajarnya terjadi. Dokter memberitahukan hal ini sebagai suatu keganjilan dan akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap si bayi esok hari. Selain tak menangis, Kent (nama untuk bayi kakak yang telah diberikan jauh hari saat dia masih dalam kandungan) juga tak dapat bernafas dengan normal dan membutuhkan alat bantu pernafasan. Dan, oleh dokter dan suster kala itu, kami dipesan untuk tidak memberitahukan kondisi bayi pada ibunya. Sebab, ibu yang shock pasca-operasi dapat mengalami pendarahan hebat. Namun, berapa lama kakak dapat dibohongi?
Oleh kabar tersebut, untuk kesekian kalinya penulis dan keluarga kembali merasakan kecemasan yang amat sangat. Saat itu, tak ada yang dapat kami lakukan selain melafal doa yang tak henti-hentinya. Bahkan, (tak malu penulis mengakui) saking khawatirnya, saat terjaga di tengah malam pun penulis refleks melafal doa bagi Kent.
Keesokan harinya di RS, kondisi Kent tak banyak berubah. Dokter berkali-kali mencoba melepas alat bantu pernafasannya, namun berkali-kali juga tubuhnya menghitam tanpa alat bantu pernafasan. Di kedua bagian paha Kent saat itu mengalami memar yang cukup parah dan membuat miris hati yang melihatnya. Apa pasal? Karena Kent belum menangis semenjak dilahirkan, dokter dan suster mencoba mencubit pahanya berkali-kali agar dia merasa sakit dan menangis. Sebuah tindakan yang sia-sia!
Menjelang siang, dengan ambulans dan dikawal oleh suster, daddy, dan bibinya, Kent pun dibawa ke RS lain yang memiliki peralatan yang lebih canggih untuk keperluan rontgen. Dan anehnya, hasil rontgen yang keluar saat itu menunjukkan bayi Kent tak mengalami kelainan apa pun!
Jika hendak digambarkan keadaan Kent saat itu, di antara semua bayi yang ada di ruang bayi, maka Kent adalah bayi dengan ‘aksesoris’ selang terbanyak. Di saat satu menangis dan bayi lainnya ikut menangis hingga ruang bayi sudah bagaikan ‘koor’ tangisan bayi, Kent tetap tidur dan tak terpengaruh.
“Ada apa dengan bayiku? Apakah pendengarannya bermasalah?” tanya kakak penulis dengan kecemasannya saat itu.
“Tak akan ada masalah. Berdoalah!” jawab penulis kala itu untuk menenangkan kakak, meskipun sejujurnya hati tak kalah cemas.
Setelah dokter pertama tak menunjukkan hasil, dokter kedua pun segera menangani Kent. Sama halnya dengan yang pertama, Kent kembali diminta menjalani rontgen. Dalam hal ini kami keberatan. Bukan disebabkan oleh biaya, namun lebih karena mengingat sehari sebelumnya Kent baru saja menjalani rontgen, dan bukankah akan terjadi banyaknya sel baik yang mati untuk setiap kali menjalani rontgen? Lagi, bukankah hasil rontgen yang pertama masih dapat digunakan? Namun, dokter kedua tak hendak berkompromi. Akhirnya keluarga besar kami setuju untuk membiarkan Kent menjalani rontgen sekali lagi.
Setiap pagi, (selama hampir seminggu setelah kakak diizinkan pulang dan Kent tetap di RS) Mama penulis bertugas mengantar ASI untuk Kent di RS. Karena belum ada perubahan pada kondisi Kent, Mama yang mengantar ASI pagi itu pun nekat menerobos masuk ke ruang bayi (setelah menyogok suster penjaga tentunya). Di samping Kent, Mama membacakan doa (yang dikhususkan untuk bayi sesuai keyakinan kami) dengan maksud agar Kent dapat mendengarnya. Ya, kami sadar, meski telah memberinya upaya medis, di atas segalanya tetaplah Tuhan yang berkuasa!
Menjelang siang, Kent pun kembali dibawa dengan ambulans menuju RS lain untuk menjalani rontgen kedua kalinya.
Dalam cemas, kami yang menunggu di rumah mendadak menerima kiriman MMS audio dari daddy Kent. Saat rekaman audio tersebut diputar, terdengarlah suara tangisan bayi yang kencang disertai suara tawa lainnya. Ya, sebuah hal tak terduga terjadi! Dalam perjalanan dengan ambulans, Kent mendadak menangis dengan kencang (suara tangisannya yang pertama). Semua yang mengawalnya dan merasa surprais dengan tangisannya itu pun segera merekamnya dengan ponsel dan mengirimnya untuk kami.
Puji Tuhan! Sungguh, mendengar rekaman tersebut, membuat kami bagaikan telah memenangkan lotere setriliun rupiah. Asal tahu saja, rekaman tangisan pertama Kent tersebut masih kami simpan hingga hari ini. Hehehe...
Hasil rontgen kedua kalinya juga menunjukkan tak ada kelainan pada Kent. Segera setelah itu, dokter ketiga yang bergelar profesor pun diminta memegang Kent. Olehnya, Kent tak perlu menjalani rontgen apa pun. Sehari berselang, semua alat bantu pernafasannya telah dilepas dan Kent pun diizinkan pulang.
Saat ini, Kent telah tumbuh menjadi seorang anak yang lucu, lincah, dan cerdas dengan segala celoteh dan (tentunya) kebandelan ala kanaknya. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Kent enam tahun yang lalu? Sering kami menebak. Namun, semua pertanyaan tetaplah menjadi pertanyaan hingga hari ini. Dan, jika kami menoleh kembali pada kejadian itu, kami sadar, ada ungkapan syukur yang wajib kami haturkan atas kasih-Nya yang telah terjadi.
***
SEBUAH kisah nyata lainnya terjadi di sebuah keluarga kaya raya. Keluarga tersebut mempekerjakan seorang pembantu laki-laki. Pembantu tersebut dibayar dengan upah yang minim untuk segala hal yang mampu dia kerjakan; selain bertugas mengantar barang, menagih hutang, pergi ke bank, dan menyapu rumah, pembantu tersebut juga bertugas membelikan segala keperluan bos dan anak-menantu serta cucunya.
Suatu hari, putri bos jatuh sakit dan disarankan untuk banyak beristirahat.
Karena amat menyayangi putrinya, si bos menyuruh pembantunya tersebut untuk pergi membelikan nasi sayur kesukaan putrinya. Karena hari mulai mendung, si pembantu pun pergi tergesa-gesa dengan naik sepeda. Alhasil, karena kurang berhati-hati, dia terjatuh dan pulang membawa nasi sayur dengan kaki berdarah.
Sesaat kemudian, si bos keluar dari kamar putrinya dan memberitahu si pembantu bahwa putrinya hari ini tak ingin makan nasi, melainkan mie. Si pembantu diminta untuk pergi lagi membelikan mie yang dikehendaki.
Mendengar perintah bosnya, si pembantu memandang kakinya yang berdarah dan kemudian memandang langit yang mendung, “Akan turun hujan, Pak,” katanya.
“Tak mengapa. Pergilah cepat! Bila perlu, bawa saja payung...,” jawab si bos.
Karena tak mungkin membawa payung sambil bersepeda, akhirnya si pembantu pun pergi dengan kaki yang masih berdarah. Sesaat, gerimis pun turun menyertai kayuhan sepedanya.
***
Profesional muda, setelah membaca dua cerita nyata di atas, kesimpulan apa yang Anda peroleh? Setiap orangtua di dunia ini adalah demikian mencintai anaknya, benar? Ya, setidaknya kita tahu, hampir semua orang di dunia ini selalu ‘lebih’ menyayangi orang yang memiliki hubungan darah dengannya daripada terhadap orang lain.
Terkadang, dengan uang dan kekuasaan seseorang merasa berhak mengorbankan orang lain demi membahagiakan keluarganya sendiri (seperti pada cerita kedua).
Pada kisah nyata yang terjadi pada keponakan penulis di atas, penulis ingin mengajak Anda untuk merenung, betapa berharganya sebuah nyawa hingga dua keluarga besar (pihak ayah dan ibu) demikian bersedih dan berusaha apa saja untuk menyelamatkan nyawa kecil yang (walaupun) hanya berusia kurang dari seminggu tersebut.
Kisah Kent di atas mungkin mewakili kisah-kisah lainnya yang pernah terjadi pada orang-orang di sekeliling kita, di mana kita tak pernah tahu bagaimana pengorbanan mereka dalam mempertahankan kelangsungan hidup sanak keluarganya di suatu masa dalam kehidupan mereka dulu.
Setiap manusia, sesungguhnya adalah permata hati bagi keluarganya, tak peduli kaya ataupun miskin. Semua nyawa manusia adalah sama berharganya, tak peduli apa pun status sosialnya. Memiliki harta dan kekuasaan, bukanlah indikator seseorang berhak menindas dan mengabaikan nuraninya dalam memimpin.
Setiap orang menyimpan kisah hidupnya tersendiri. Jika Anda berkesempatan mendengarkan kisah hidup seseorang dalam memperjuangkan hidupnya, mungkin Anda akan menangis. Dengan menyadari hal ini, masihkah kita tega menyakiti?
* Maret 2013
* Penulis adalah ghostwriter/co-writer