Ketika Ridho Tidak Sekolah

Oleh: Harmen Azmi. Dengan terburu-buru Diko menyusun buku ke dalam tas ranselnya. Hari ini ia terlambat bangun karena tadi malam keasyikan main game online. Ia tidak boleh terlambat, karena jam pertama akan diisi dengan ulangan Matematika.

Setelah meminum segelas susu, Diko berangkat sekolah. Sebenarnya, ia selera dengan nasi goreng buatan ibunya, tapi ia tidak sempat sarapan lagi. Nanti, ia akan sarapan di kantin ketika jam istirahat tiba.

Sekolah Diko tidak terlalu jauh dari rumah, cukup ditempuh sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki. Teman-temannya tampak tekun belajar ketika ia masuk ke dalam kelas. Tetapi bangku di sebelahnya masih kosong.

Mengerut kening Diko melihat bangku itu masih kosong. Biasanya Ridho selalu datang cepat ke sekolah.

“Mungkin ia ketiduran seperti aku,” Diko membesarkan hatinya.

Tetapi sampai bel tanda masuk berbunyi, Ridho belum datang juga. Diko jadi gelisah. Tadi malam, ia sama sekali tidak belajar. Seperti biasa, ia memang ingin menyontek ulangan dari Ridho. Siapapun tau, Ridho murid paling pintar di kelasnya. Ia pun tidak pernah pelit memberikan contekan sama Diko.

“Aduh Ridho, kemarin bukannya bilang kalo hari ia nggak masuk sekolah. Seenggaknya, aku kan bisa baca-baca buku sedikit biar nggak bego-bego amat,” umpat Diko.

Tidak lama, Pak Basuki guru matematika memasuki kelas. Pak Basuki langsung meminta seluruh murid hanya menyiapkan dua lembar kertas di atas meja. Kemudian beliau menyalin soal di papan tulis.

Dari lima soal, tidak satupun yang bisa dijawab oleh Diko. Ketika ia meminta contekan sama Yayat yang duduk di belakangnya, Yayat pura-pura tidak mendengar. Begitu juga ketika ia mencolek-colek punggung Biana yang duduk di depannya.

“Waktu tinggal sepuluh menit lagi,” Pak Basuki mengingatkan dari depan.

Diko menatap kertas ulangannya yang masih kosong. Ia ingin menjawab dengan asal-asalan supaya kertasnya tidak kosong, tapi itupun tidak bisa dilakukannya. Karena pelajaran matematika bukanlah pelajaran mengarang bebas.

“Awas saja besok, aku akan memarahi Ridho dan aku nggak akan mau lagi mentraktirnya di kantin,” bisik Diko pelan seraya menatap kertasnya yang masih kosong.

Akhirnya, kertas kosong itu tetap kosong ketika ia kumpul ke depan. Diko hanya menunduk ketika Pak Basuki menatapnya.

“Kenapa kosong? Tinta pulpenmu habis?” tanya Pak Basuki.

Diko tidak menjawab, ia hanya menunduk.

“Kembali ke bangkumu.”

Diko tetap menunduk sampai duduk di bangkunya. Pasti teman-teman sekelasnya menatapnya sekarang. Ini semua gara-gara Ridho. Diko benci sahabatnya itu.

***

Hari ini, Diko datang sedikit terlambat. Seperti kemaren, bangku di sebelahnya masih kosong. Sampai guru masuk, Ridho belum datang juga. Tidak biasanya Ridho absen, apalagi sampai dua hari seperti sekarang.

Pak Basuki memasuki kelas dengan tampang murung. Setelah duduk di bangkunya, Pak Basuki berkata, “Anak-anak, Bapak baru saja mendapatkan kabar duka. Kemaren, Ridho terserempet sepeda motor ketika akan berangkat. Sekarang, ia sedang dirawat di rumah sakit. Keadaannya lumayan parah. Nanti sehabis istirahat, kita akan menjenguknya ke rumah sakit.”

Diko tersentak, demikian juga dengan seluruh murid di dalam kelas. Kepala Diko menunduk, ia teringat dengan makiannya terhadap Ridho semalam.

“Oya, sebelum memulai pelajaran, Bapak akan mengembalikan kertas ulangan kalian.”

Anak yang disebut namanya, maju ke depan untuk mengambil kertas ulangannya. Ketika tiba giliran Diko, ia tidak berani menatap wajah Pak Basuki. Nilainya pasti nol.

“Kali ini nilaimu nol,” kata Pak Basuki. “Bapak akan memberikanmu kesempatan untuk ulangan susulan minggu depan. Kau siap?”

Diko mengangguk mantap. Kali ini, ia akan belajar sungguh-sungguh di rumah. Tidak boleh ia selalu mengharapkan dari Ridho. Supaya jadi anak pintar, ia harus berjuang sendiri. ***

()

Baca Juga

Rekomendasi