Oleh: Ali Sati Nasution. Dan orang-orang kafir Mekah berkata,”Mengapa tidak diturunkan kepadanya mukjizat dari Tuhan-Nya. Katakanlah Muhammad “Sesungguhnya mukjizat itu terserah Allah. (QS.Al-Ankabut: 50).
Pada era tahun 1970 an ke belakangnya di daerah-daerah yang panatik terhadap ajaran agama Islam, sisa minuman Tuan Guru menjadi rebutan murid-muridnya. Harapan satu-satunya adalah keber-kahan ilmu yang diajarkan Tuan Guru. Tuan Guru yang diidolakan adalah para ulama yang mendapat karomah (keramat) atau ma’unah dari Allah SWT,misalnya apabila ia berjalan pada saat turun hujan, ulama tadi tidak terkena guyuran hujan dan banyak kelebihan lainnya. Pemberian kelebihan dari Allah kepada hamba-hamba yang dikasihinya yakni, wahyu,ilham, mukjizat diberikan kepada Nabi dan Rasulnya. Karomah (keramat) kepada aulia Allah dan ma’unah kepada orang-orang alim kebanyakan. Pada zaman dahulu,tidak mengherankan apabila seseorang yang suhud dan wara’dapat saja bepergian ke Mekah tanpa menggunakan kendaraan.
Pemberian karomah kepada orang-orang yang alim oleh Allah,adalah untuk memperkuat keima- nan kepada Sang Khalik pencipta alam semesta , apabila ia berkehendak,apa saja bisa terjadi.Di lingku- ngan masyarakat awam terjadi di luar adat kebiasaan.Logika berpikir umat zaman sekarang telah banyak mengabaikan hal-hal seperti ini. Dengan mengedepankan logika berpikir tersebut hal-hal tersebut tadi telah diabaikan. Dasar keimanan yang kuat kepada Allah yakni ilmu Tauhid (ketuhanan), sudah kurang diminati sebahagian besar umat Islam. Ilmu tauhid, muara akhirnya adalah hakikat dan mak’rifat, sesuatu cabang ilmu yang rumit menurut pandangan sebahagiat umat. Umat Islam lebih cenderung mempelajari ilmu syariat (ilmu fikih) sebagai panduan ibadah sehari-hari.
Mulai dari pelaksanaan ibadah salat, puasa,zakat dan ibadah haji hanya mengacu kepada ilmu fikih sebagai sandaran utamanya. Padahal Nabi Muhammad SAW selama 13 tahun di Mekah, fokus mengajarkan ilmu Tauhid mengesakan Allah SWT. Berbekal ilmu Tauhid yang sangat kuat itu, maka sahabat terdekat Nabi tidak pernah goyah, walaun beliau sudah wafat. Sepuluh tahun berikutnya pada masa kerasulan Nabi Muhammad SAW beliau hijrah ke Madinah. Di tengaah perjalanan hijrah Nabi Muhammad menuju Yatsrib (Madinah) didampingi sahabatnya Abubakar Shiddiq.Mereka ditemani Amir Fuhairah, budak Abubakar dan Abdulah bin Uraiqith penunjuk jalan. Siang itu panas matahari di tengah gurun pasir tandus sangat menyengat. Meski kendaraan Nabi unta Al-Quswa, seolah tidak merasakan panas terik itu,namun Muhammad dan sahabatnya Abubakar, tetap sajamerasakan dahaga yang amat sangat. Seraya menahan dahaga yang menyekat di kerongkongan Abubakar masih sempat mengingat betapa mulianya akhlak Nabi akhir zaman di sebelahnya.
Suraqah bin Jusun yang berulangkali hendak membunuh Nabi dengan hadiah 100 ekor unta bermata merah,berulangkali pula Nabi menolongnya setelah kuda tunggangan Suraqah tersungkur dan terbenam digelombang padang pasir tandus. Setelah sekian kali gagal hendak menebas leher Nabi dengan pedang mengkilat,Suraqah akhirnya masuk Islam,dituntun dan didoa akan Rasulullah.
Mendengar suara burung pemakan bangkai memekik,Abubakar pun tersentak. Suasana semakin senyap, kengerian mencekam, ditambah kelelahan yang mendera di sekujur tubuh. “Sabarlah Abuba-kar,Allah tidak akan meninggalkan kita,” Nabi Muhammad menghibur. Mengharungi perjalanan panjang itu mereka menemukan kemah pengembala kambing, namanya Ummu Ma’bad. Kemah itu milik Aktsam yang ditunggui istrinya Atiqah binti Khalid.Suami istri ini mengelola usaha kecil-kecilan, menjual daging, kurma dan susu hasil perahan kambing milik mereka untuk bekal musafir yang melintas di jalur Mekah-Yatsrib. Abubakar yang memiliki uang 8000 dirham, mengajak Nabi singgah untuk membeli berbagai bekal di perjalanan. Ternyata seluruh barang dagangan di kemah itu sudah habis terjual diborong para musafir yang melintas terdahulu.
“Andainya aku masih punya barang yang kalian butuhkan tentu akan kuberikan kepada kalian secara cuma-cuma, tapi apa yang kalian harapkan itu sudah habis semua”, ujar Atiqah kepada tamunya dengan ramah. Setelah berpamitan,rombongan Nabi hendak melanjutkan perjalanan. Ketika hendak menaiki unta pandangan Nabi tertuju kepada seekor kambing kurus terikat di sudut kemah. Perjalanan lalu diurungkan.
“Milik kalian kah kambing itu…?”Tanya Nabi kepada Atiqah.
“Benar,”jawab Atiqah.
”Namun ia sedang sakit kami tidak tega menyembelihnya.”
“Diperah susunya..?” Atiqah terperangah.
“Saya yakin ia tidak punya susu,kalaupun diperah ia akan kesakitan.”
“Kalau Tuan tega memerah susunya, silakan,tapi saya sudah memperingatkan,”ujar Atiqah terheran-heran. Setelah Nabi berjonggkok dan mengelus-elus tengkuk kambing itu,seraya mengucap “Basmalah” . Mahabesar Allah,pada perahan pertama saja air susu kambing itu memancar dengan deras.Rasulullah menyuruh Atiqah mengambil bejana, lalu perempuan itu buru-buru mengambil kirbath,tempat air dari kulit. Setelah kirbath penuh Nabi menyuruh Abubakar minum duluan, dengan alasan karena beliau masih memerah susu.
Demikian seterus-nya mereka minum bergiliran sampai kepada pemilik kambing Atiqah. Setelah semuanya minum barulah Nabi minum dengan menggunakan kirbath yang sama. Selesai minum, Nabi memerah susu lagi, persedian untuk Aktsam,suami Atiqah. Atiqah tidak mau menerima bayaran dari perahan susu itu, malah ia gemetaran seraya merekam kuat-kuat dalam ingatannya wajah Nabi yang akan ia laporkan nanti keapada suaminya.
Setelah rombongan Nabi pergi, Aktsam, suami Atiqahpun pulang dari mengembala kambing,lalu meminta disuguhi minuman. Atiqah membawa kirbath berisi air susu kambing sekaligus menjelaskan latar belakang dari susu kambing dan kambing yang tadinya kurus, kini telah segar bugar. Seraya memi-num susu dari kirbath bekas bibir Rasulullah menempel di kirbath itu Aktsam menanyai Atiqah tentang ciri-ciri lelaki yang merah susu itu.
“Apabila beliau menyebut namanya Muhammad bin Abdullah dari Bani Hasyim. Orang-orang mengagumi kejujuran dan kesederhanaannya.Kalau begitu apa yang disampaikannya bahwa beliaulah Nabi akhir zaman,berkemaslah besok kita akan menyusulnya dan masuk agama yang diajarkannya,” ujar Aktsam dengan nada pasti kepada istrinya.