Medan, (Analisa). Tiga terdakwa perkara pemalsuan surat dan menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik atas sengketa lahan di Jalan Rebab, Pasar 2 Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru, masing-masing dituntut dua tahun enam bulan (2,5 tahun) penjara, Selasa (29/4).
Ketiga terdakwa yakni Safrin Sitepu dan Efrata Ngerajai Ginting dinyatakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Medan, melanggar Pasal 266 Ayat (1) KUHPidana jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana, karena menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, sehingga dengan pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian di pihak lain.
Sedangkan Adi Pinem SH selaku notaris dinyatakan JPU melanggar Pasal 264 Ayat (1) ke-1, karena membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan.
Dalam tuntutan JPU yang dibacakan di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan salah satunya diketuai hakim Sherlywati, pada Rabu, 10 Juli 2002, terdakwa Safrin Sitepu dan Efrata Ngerajai Ginting mendatangi kantor notaris Adi Pinem SH di Jalan Kolonel Sugiono Medan, untuk membuat akta melepaskan hak atas tanah dengan ganti rugi.
Notaris Adi Pinem meminta identitas terdakwa Syafrin dan Efrata, serta fotokopi alas hak obyek yang diganti rugi berupa fotokopi surat keterangan di bawah tangan tanggal 28 April 1956, dan surat keterangan pendaftaran tanah tanggal 18 April 1967. Di dalam gambar tersebut sudah lengkap ukuran dan batas tanahnya.
Setelah melihat dan membaca fotokopi kedua surat itu, notaris Adi Pinem langsung membuat akta melepaskan hak atas tanah dengan ganti rugi No.24 tanggal 10 Juli 2002. Surat itu lalu ditandatangani terdakwa Syafrin dan Efrata, serta notaris Adi Pinem.
Tidak sesuai
Menurut jaksa, dalam akta pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi No.24 tersebut, ada beberapa keterangan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau data pendukung, yakni keterangan pihak I menerangkan Syafrin Sitepu satu-satunya ahli waris almarhum Djajam Sitepu.
Perbedaan lainnya terlihat pada bagian yang menguraikan batas-batas tanah, yaitu sebidang tanah kosong seluas kurang lebih 8317 M2 terletak di Provinsi Sumatera Utara, Kotamadya Medan Kelurahan Titi Rantai, Kecamatan Medan Baru (Pasar 2 Jalan Terompet) yang mempunyai ukuran dan batas-batas tanah: sebelah Utara berbatasan dengan Jalan Terompet sepanjang 70 M, sebelah Selatan berbatasan dengan Jalan Rebab sepanjang 108,5 M, sebelah Timur berbatasan dengan jalan sepanjang 70 M dan sebelah barat berbatasan dengan jalan sepanjang 108,5 M.
Kata JPU, keterangan yang dimuat dalam akta pelepasan No.24 tersebut tidak sesuai dengan dokumen pendukung, yaitu dalam surat keterangan pendaftaran tanah tanggal 18 April 1967, yakni batas-batas tanah itu adalah sebelah Utara berbatasan dengan jalan sepanjang 70 M, sebelah Selatan berbatasan dengan jalan sepanjang 70 M, sebelah Timur berbatasan dengan jalan sepanjang 108,5 M dan sebelah Barat berbatasan dengan jalan sepanjang 108 M.
Akta melepaskan hak atas tanah dengan ganti rugi No.24 itu lalu digunakan terdakwa Efrata untuk mengajukan gugatan kepada Pemko Medan, Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut dan BPN Kota Medan sesuai putusan PN Medan tanggal 2 Februari 2006.
Terdakwa Efrata juga mengajukan permohonan eksekusi lahan itu ke PN Medan sesuai dengan surat penetapan eksekusi tanggal 28 April 2010.
Menurut jaksa, permohonan eksekusi itu bila dilaksanakan akan menimbulkan kerugian terhadap pihak GBKP di Jalan Rebab, karena mereka akan kehilangan lahan seluas 1162 M2 tempat gereja itu berdiri. Namun, permohonan eksekusi itu belum terlaksana sampai sekarang, karena situasi di lapangan belum kondusif.
Atas tuntutan JPU, ketiga terdakwa didampingi penasihat hukumnya menyatakan mengajukan pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya.
Aksi damai
Sementara, usai sidang ratusan warga dan jemaat GBKP Jalan Rebab yang menghadiri sidang menggelar aksi damai di halaman depan PN Medan. Mereka menyesalkan tuntutan JPU kepada para terdakwa yang dinilai masih rendah.
Mereka berharap majelis hakim yang menangani perkara ini dalam putusannya nanti menghukum tinggi para terdakwa.
“Mereka (para terdakwa) itu mafia tanah, mafia hukum. Mereka harus disikat habis. Hakim jangan mau disuap, jangan mau makan uang suap dan uang korupsi. Ingat jangan beri anak istrimu (hakim-red) makan uang suap, korupsi, nanti datang kutukan dari Atas (Tuhan-red)”, teriak massa tersebut. (dn)