Mengulas Cerpen Preman Lontong

Rosni Lim. Preman Lontong sebuah cerpen di Rebana, Analisa, 30 Maret 2014, karya Idris Pasaribu, memiliki beberapa sisi unik untuk diulas. Pertama adalah asal-usul dan pengertian dari kata “preman” dan “preman lontong” itu sendiri.

Kata preman sebenarnya berasal dari Bahasa Belanda vrij man, atau Bahasa Inggrisnya free man yang artinya orang bebas, merdeka, tanpa ikatan, atau orang yang tidak bisa diatur oleh orang lain.

Kata ini memiliki asal-usul yang unik. Dikisahkan pada zaman penjajahan Belanda. Ada sekelompok orang kuat/jawara yang pintar berperang/berkelahi; mereka menentang segala aturan yang ditetapkan oleh Belanda. Kelompok ini bertahan lama dan karena memiliki kekuatan, Belanda tidak berani memaksa mereka. Tak jarang keahlian mereka dipergunakan oleh penjajah untuk menagih upeti atau mempertahankan kedudukan suatu daerah.

Setelah Belanda pergi, kelompok ini tidak tahu harus bekerja apa; karena itu mereka mulai mencari cara sendiri-sendiri untuk mendapatkan duit, yaitu mengutip uang keamanan dari daerahnya masing-masing. Karena kekuatan mereka pula, rakyat pun memberi. Oleh sebab itu kata “preman” seringkali memiliki konotasi negatif, seperti: orang yang tidak memiliki pekerjaan selain meminta uang secara paksa, orang yang suka bekeliaran di jalan dan mabuk-mabukan, bahkan banyak di antaranya yang memiliki tatto di badan dan berperawakan sangar (kumis, brewok, gondrong).

Kemudian kata preman, menjadi ragam bahasa bagi orang Medan. Indonesia pun mengakui, kalau preman itu berasal dari Medan. Kemudian terkenal kata Preman Medan, Preman Lontong tak bekuah, Preman Tngik dan sebagainya.

Sedangkan preman lontong adalah preman yang setengah kebalikannya dari preman, yaitu: orang yang walaupun memiliki kekuatan dan pintar berperang/berkelahi, namun tampangnya tidak garang atau lemes/klemek-klemek. Atau preman yang seakan preman hebat, ternyata bukan preman kali, atau preman yang tak ada apa-apanya

Dalam cerpennya Preman Lontong, Idris Pasaribu bercerita tentang seorang preman tampan/ganteng bernama Jogal, yang memiliki senyum indah, bertutur-kata sopan dan sama sekali tidak sangar. Jogal memiliki nama beken bukan saja di kampungnya, melainkan juga di kecamatan dan se-kabupaten. Jogal memiliki banyak pengikut yang kagum pada kehebatannya, walaupun banyak di antara pengikutnya tidak mengetahui wajah Jogal kalau bertemu langsung dengannya.

Asal-usul Jogal menjadi preman bermula dari suatu malam ketika ada 3 gembong penjahat dari daerah lain menyerbu ke kampung mereka untuk merampok. Tiba saatnya di depan gubuk Jogal yang berdindingkan anyaman gedhek, Jogal menerobos keluar dan menikam ketiganya -satu persatu- dengan pisau di tangannya. Bahkan penjahat yang terakhir memegang senjata berlaras panjang pun, tak luput dari tikaman Jogal. Ketiganya mati seketika.

Penduduk kampung Jogal geger dan ketakutan, karena mengira anak buah para penjahat itu pasti akan menyerang balik; membakar kampung mereka, merusak tanaman mereka, dan sebagainya, seperti yang terjadi sebelumnya bila terjadi hal seperti itu. Karenanya mereka bertanya pada Jogal, apa yang harus diperbuat; tepatnya, harus mengungsi ke mana?

Jogal yang pemberani menyuruh penduduk kampung tidak usah takut dan tidak usah mengungsi kemana-mana. Mereka menuruti kata-kata Jogal dan ternyata setelah sehari dua hari, anak buah para penjahat itu tidak datang menyerang; mereka pun aman. Idris tak menyebut desa, namun kampung, sebagai tempat tingal mereka.

Sejak saat itu Jogal terkenal di seantero kampung; namanya semakin harum saat dia mempelopori perbaikan/pengerasan jalan, membangun irigasi dan lain-lain, tanpa bantuan pemerintah. Kehidupan penduduk kampungnya pun baik dan aman. Pengikutnya bertambah banyak, bahkan sudah mencapai tingkat kecamatan dan kabupaten. Singkatnya, Jogal adalah kepala preman yang disegani, karena selain kehebatannya, dia juga banyak membantu penduduk dengan memperbaiki/membangun fasilitas umum.

Bahkan disebutkan, bila ada suatu masalah yang sulit dilaksanakan, mereka meminta bantuan Jogal. Tentunya, dengan menyertakan sedikit upeti buatnya. Di kampungnya, penduduk malah lebih mendengar kata-kata Jogal daripada kata-kata kepala kampung.

Jogal sendiri merupakan cucu dari Mbah Sarijem, yang putrinya dinikahkan dengan ayah Jogal. Ayah Jogal sendiri adalah seorang pelarian dari daerahnya pada masa aksi ganyang-ganyang. Di sini penulis berpikir, apakah mungkin ayah Jogal adalah seorang yang “diburu” juga pada masa tersebut?

Kekuatan Jogal yang kebal terhadap benda tajam maupun pistol/peluru, diperolehnya dari tirakat (menyucikan batin) pada amben (sebuah tempat semacam untuk berbaring atau bergolek, bisa juga untuk duduk) di depan rumahnya. Karena itu Jogal bukan preman sembarang preman, melainkan preman yang memiliki ilmu kebathinan dan kebal terhadap senjata.

Banyak hal yang diceritakan Idris Pasaribu dalam cerpennya ini. Mulai dari sosok -pribadi dan perawakan- Jogal, asal-usul dirinya, asal-mula dia menjadi preman sampai terkenal seantero kabupaten. Ilmunya, kepandaiannya berdiplomasi dengan penduduk, kemuliaannya memperbaiki dan membangun fasilitas umum, hingga merebut hati banyak orang. Sepak-terjangnya, gerak-gerik anak buahnya, bahkan akhir hidupnya sendiri, di rumah sakit karena “tertembak” (padahal dia kebal senjata tajam maupun peluru) oleh polisi yang mencari-carinya selama setahun belakangan ini (karena dia diduga terlibat perampolan bank). Dia sakit/lemah/terkena demam berdarah akibat gigitan seekor nyamuk aedes aegypty, hingga bagaimana reaksi para pengikutnya dan penduduk kampung setelah kematian Jogal. Jogal yang tahan tikan, tahan bacok dan tahan tembak, justru sangat tragis, mati hanya karena seekor nyamuk. Daya tahan tubuhnya tak mampu mengatasinya, akibat demam berdarah dia harus mati.

Terus terang, penulis sangat kagum, bagaimana Idris Pasaribu memiliki keahlian demikian untuk merangkai begitu banyak hal yang menarik dari awal sampai akhir, dalam sebuah cerpen yang pendek. Hal-hal itu dirangkai dengan singkat, padat, memancing rasa ingin tahu, menarik dan kadang-kadang mengundang senyum.

Penulis tersenyum saat membaca awal-awal tentang bagaimana Jogal yang tampan makan gratis di setiap warung yang dikunjunginya. Pemilik warung, perempuan bernama Iyem tersipu malu dengan hati bergetar, karena kata-kata manis dan kerlingan genit dari Jogal.

Tentang dua orang anak buah Jogal -Tarjo dan Ponimin- yang menaiki kereta/sepeda motor (satunya tanpa plat dan satunya lagi beda plat muka belakang) dengan gaya khas preman, mereka yang meraung-raung dan meninggalkan debu beterbangan di jalanan tak beraspal.

Tentang Ponimin yang sok tahu dan dianggap pintar, padahal sebenarnya dia pun salah-salah dalam memberikan jawaban setiap kali ditanya. ICU itu apa? Itu tempat penjahat saat hendak dijemput maut. Menambah darah di rumah sakit dia katakan menyedot darah, hingga akibat informasi yang salah, pengikut Jogal yang lain pun naik darah.

Juga akhir dari hidup Jogal karena gigitan seekor gigitan nyamuk Aedes Aegypty,

“Ciiiit…!”

Begitu Idris Pasaribu melukiskannya. Akhirnya, ada satu lagi yang bisa membuat penulis tersenyum lebar dan tertawa kecil memasuki ending cerpen ini. Mungkin ini ada kaitannya dengan sosok Idris Pasaribu sendiri yang penulis kenal memiliki sifat yang humoris dan selalu berlapang dada.

Setelah membaca dan menyimak dengan perlahan cerpen Idris Pasaribu ini, penulis mengibaratkan seperti sedang makan sebuah kue pia (kue kering) yang padat dan ada rasa manis, asam, asin di dalamnya. Kue pia (kue kering) itu rasanya enak dan setelah habis makan satu, selalu ingin tambo satu dan satu lagi.

Idris Pasaribu memiliki ciri khas dan keahlian tersendiri dalam menceritakan suatu fenomena yang ada/terjadi di masyarakat; fenomena itu bisa tentang fenomena sosial, budaya, politik dan selalu diceritakan dengan sangat jelas, tepat dan menarik (masih ingat cerpen Idris sebelumnya tentang Anak Opera?). Keahlian seperti ini agak sulit, karena bisa memadatkan banyak hal dalam sebuah cerpen, menyusunnya dengan menarik dan banyak rasa, hingga selesai membacanya pembaca pun puas dan merasa tidak ada lagi yang kurang. Semuanya mampu diceritakan dengan baik oleh Idris hanya dalam sebuah cerpen yang ringkas.

Idris memiliki gambaran yang sangat jelas tentang setiap fenomena sosial, budaya, maupun politik yang sedang diceritakannya. Dia bisa menceritakan banyak hal yang memang “betul” seperti itu dan memang seperti itulah yang ingin pembaca nikmati.

Akhir kata, penulis merasa sangat puas dan terhibur membaca cerpen “Preman Lontong” ini (Preman Lontong judulnya cocok untuk sosok Jogal yang seorang preman tampan yang lembut/sopan, tidak sangar). Penulis menantikan lagi cerpen-cerpen Idris berikutnya.

Medan, April 2014

()

Baca Juga

Rekomendasi