Menyikapi Golput Secara Bijak

Oleh: Amin Siahaan. Golongan putih atau golput merupakan bagian tak terpisahkan dari proses demokratisasi yang masih kita perjuangkan sampai saat ini. Istilah golput pertama kali hadir pada masa pemerintahan Orde Baru. Adalah Arif Budiman, aktivis angkatan 1966, yang pertama kali mengenalkannya dalam perbendaharaan kosakata demokrasi kita. Golput dilatarbelakangi oleh kekecewaan aktivis menjelang pemilihan umum 1971 yang juga pemilu kedua Indonesia atau pertama di bawah rezim orde baru. Mereka protes karena pemerintahan Soeharto dinilai gagal memenuhi janji untuk memperbaiki situasi ekonomi-politik pasca-peralihan kekuasaan dari Soekarno.

Rezim ini justru menggunakan institusi militer untuk memenangi pemilu dengan menggunakan berbagai cara. Sebagai tanda protes, para aktivis mengajak rakyat untuk mencoblos bagian kertas suara yang berwarna putih, bukan lambang sepuluh partai politik yang tercantum di kertas suara. Orde Baru pun mengecam golput sebagai gerakan inkonstitusional. Bahkan, Menteri Luar Negeri ketika itu, Adam Malik, menyebutnya sebagai golongan setan. Beberapa aktivis ditangkap untuk diinterogasi dan sesudahnya mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari.

Pro dan kontra

Bulan depan kita akan menyelenggarakan pemilu keempat di era reformasi. Fenomena golput kembali mengemuka. Dan seperti penyelenggaraan pemilu-pemilu sebelumnya, terdapat pro-kontra di masyarakat dalam menyikapi golput. Pemangku kepentingan seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, partai politik serta pemerintah sudah sejak lama mensosialisasikan kepada seluruh rakyat agar berpartisipasi pada pemilu April nanti. Terlibat aktif dalam pemilu berarti ikut berkontribusi membangun demokrasi yang selama ini dibelenggu oleh otorianisme Orde Baru. Pada era itu, rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam mendesain kebijakan negara melalui pemberian suara pada pemilu secara bebas. Negara justru memaksakan kehendaknya pada rakyat untuk memilih sesuai keinginan penguasa. Akibatnya, selama tiga puluh tahun lebih, rakyat hanya menjadi obyek pemilu.

Kondisi ini berubah seiring lahirnya reformasi. Kini rakyat diberikan kebebasan untuk memilih. Bahkan sejak pemilu 2004 rakyat diberikan kebebasan untuk menentukan secara langsung calon legislatif melalui sistem pemilihan umum terbuka. Dominasi partai dalam menentukan siapa yang berhak duduk di parlemen dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi. Selain sebagai bentuk arogansi, mekanisme seperti ini tidak jarang hanya menghasilkan praktik kolusi dan nepotisme.

Karenanya, dalam sistem pemilu terbuka, kekuasaan partai hanya sebatas menyediakan kader-kader yang dianggap mumpuni mewakili aspirasi rakyat. Namun, keputusan untuk menentukan siapa yang berhak lolos ke parlemen, mutlak berada di tangan rakyat. Karena itu, bagi penentang golput, sistem pemilu yang sudah semakin maju ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya oleh rakyat. Menjadi golput justru menciderai prinsip demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Golput dianggap sebagai sikap apatis. Tidak memiliki rasa nasionalisme.

Sedangkan yang setuju dengan golput menilainya sebagai bentuk hak asasi seseorang untuk memberikan suaranya atau tidak pada pemilu. Justru golput dianggap sebagai buah dari demokrasi yang mengakui dan menerima suatu perbedaan pendapat. Golput tidak akan menciderai demokrasi, malah golput adalah media untuk memperbaiki demokrasi itu sendiri. Yaitu ketika demokrasi dinilai tidak memihak rakyat kecil, dan justru hanya menguntungkan sebagian elite politik. Maka, golput merupakan salah satu bentuk protes-kritis rakyat terhadap penguasa. Golput adalah instrumen demokrasi untuk mengoreksi demokrasi ala penguasa.

Sesungguhnya banyak argumen yang dapat dijadikan pembenaran bagi masing-masing pihak. Golput itu sendiri pada awalnya sebuah gerakan moral-politik dari para aktivis menyikapi pemilu 1971 yang diprediksi tidak akan berlangsung demokratis. Pemerintah dituduh telah mendesain pemilu sedemikian rupa untuk dimenangi salah satu kelompok (golongan karya) yang merupakan bagian dari penguasa (Orde Baru). Golput ketika itu lahir dari sebuah pemikiran kritis para aktivis yang menilai demokrasi telah dibajak penguasa. Demokrasi yang mengagungkan kebebasan bersuara justru dibungkam. Rakyat tidak lagi bebas menyalurkan aspirasi politiknya.

Pada pemilu-pemilu berikutnya, fenomena golput tetap muncul. Bahkan tren golput seakan mendapatkan ruang di hati masyarakat mengingat persentase golput yang selalu meningkat. Pada pemilu 1971, persentase golput adalah 6,67% lalu menjadi 8,40% (1977); 9,61% (1982); 8,39% (1987); 9,05% (1992); 10,07% (1997); 10,40% (1999); 23,34% (2004); dan 29% (2009). Angka golput pada pemilu 2014 nanti juga dikuatirkan akan kembali meningkat. Namun, motif golput pada tiap pemilu, khususnya setelah Orde Baru tumbang, tidak bisa serta merta disebut sebagai buah dari pikiran kritis rakyat. Dimensi golput menjadi lebih luas. Setidaknya ada tiga hal yang membuat pemilih menjadi golput.

Pertama, ia menjadi golput akibat kesalahan administrasi karena namanya tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). Kekisruhan DPT sendiri masih dipertanyakan banyak pihak sampai saat ini. Apakah ia murni kealpaan database kependudukan atau memang ada kesengajaan dari pihak tertentu. Kedua, sikap apatisme yang terlanjur melanda kepercayaan masyarakat. Rakyat kecewa karena janji-janji politik pada masa kampanye hanyalah isapan jempol belaka. Ketiga, alasan ideologis. Masyarakat memilih golput karena caleg dan parpol tidak memiliki ideologi yang jelas dan tegas. Seperti tidak ada bedanya platform partai berbasiskan agama dengan non-agama (nasionalis).

Lalu, apakah mereka yang memilih golput otomatis dapat dituduh sebagai pihak yang tidak peduli pada negaranya? Pada kasus pemilu 1971 justru para aktivis mengajak rakyat untuk bertindak kritis terhadap diskriminasi politik Orde Baru. Dengan kata lain, kemunculan golput pada pertama kalinya adalah untuk mengajarkan kita tentang pentingnya kesadaran kritis. Yaitu kesadaran tidak tinggal diam ketika penguasa sudah menghalalkan segala cara untuk berkuasa. Dalam perjalanannya kini, latar belakang menjadi golput memang tidak sama lagi seperti dulu. Yang kita sesalkan adalah golput karena apatis atau tidak mau peduli tentang perkembangan demokrasi kita. Namun, golput yang berasal dari permenungan kritis terhadap sistem perpolitikan nasional harus dihormati.

Fenomena golput, baik karena alasan permenungan kritis atau apatis, sesungguhnya dapat kita minimalisir jika saja partai politik dapat memerankan pendidikan politik secara maksimal. Kenapa? Karena pendidikan politik mengharuskan setiap partai turun langsung ke basis masyarakat untuk mensosialisasikan visi-misi, nilai-nilai dan program kerja partai. Selain itu, partai menjadi tahu secara tepat apa yang menjadi permasalahan di lapangan dan mencari solusi atau jalan keluarnya. Ada interaksi langsung antara partai dengan rakyat. Sehingga akan terjalin hubungan emosional yang kuat antara rakyat dengan partai. Semoga.***

Penulis adalah Anggota Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS)

()

Baca Juga

Rekomendasi