Oleh: M. Syamsul Arifin. John Gardner mengatakan “tidak ada bangsa yang dapat mencapai kebesaran jika bangsa itu tidak percaya kepada sesuatu, dan jika sesuatu yang dipercayainya itu tidak memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban besar.” Indonesia, sebagai bangsa yang telah berusia 69 tahun memiliki sebuah ideologi yang dianut, yakni pancasila.
Prof. Dr. Buchori MS, M.Pd. dalam opini harian Kedaulatan Rakyat (11/06/2014) berjudul “Pancasila, Ideologi Terbuka” mengatakan bahwa “pancasila memenuhi syarat sebagai ideologi terbuka karena mengandung tiga dimensi, yakni dimensi realitas, idealitas, dan fleksibilitas”. Menurutnya, pada dimensi realitas, nilai-nilai pancasila digali dari nilai asli bangsa dan oleh bangsa kita sendiri yang nampak dalam fakta historis bahwa nilai-nilai pancasila tercermin dalam realitas hidup masyarakat sejak zaman dahulu. Dalam dimensi idealitas, nilai-nilai pancasila baik sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara diyakini terbaik dan paling tepat bagi bangsa Indonesia. Lalu dalam dimensi fleksibilitas, nilai-nilai pancasila mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan bahkan bersifat lestari.
Sulastomo (2012) berpendapat, pancasila milik bersama dan menjadi landasan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, Ia menjadi platform bersama dalam mewujudkan buat apa negara ini didirikan. Ibarat sebuah bangunan, pancasila adalah fondasi bangunan itu. Artinya, sepak terjang bangsa ini harusnya (das sein) menggambarkan perwujudan pancasila. Tetapi, jika kita cermati perjalanan bangsa selama 69 tahun, perwujudan pancasila sebagai budaya bangsa terkesan belum atau tidak terwujud. Hal ini tercermin dari perjalanan sejarah bangsa sejak awal kemerdekaan, baik dalam perwujudan perilaku sosial, politik, ekonomi, dan ideologi. Pancasila telah dipercayai sebagai mitos.
Karakter Pancasila
Pada bulan Juni 2014 mendatang, masyarakat Indonesia akan memilih presiden (pemimpin) baru. Harapannya, hajatan demokrasi itu bukanlah agenda yang hanya menghabiskan uang Negara semata, melainkan sebagai modal untuk memilih Capres berkarakter pancasila. Sebab, Capres berkarakter pancasila berarti ia adalah Capres yang memiliki lima karakter utama pancasila.
Pertama, karakter Ketuhanan yang Maha Esa. Makna kepercayaan adanya Tuhan sesuai agama dan kepercayaan dan bahkan budaya. Inlah landasan moral atau spiritual bangsa Indonesia yang harus dimiliki seorang Capres. Misalnya korupsi, itu tidak mungkin terjadi jika bangsa ini mengamalkan keyakinannya sebagai manusia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Sebab, tidak ada satu ajaran agama pun yang menganjurkan umatnya mencuri uang negara. Semua agama melarang perbuatan itu, karena sangat nyata tindakan itu merugikan negara dan rakyatnya.
Kedua, karakter kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia adalah gambaran manusia ideal yang mendasarkan tindakannya pada nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Ternyata, karakter ini mengilhami semangat untuk merdeka bangsa Asia-Afrika yang mengalami penjajahan bertahun-tahun oleh dunia barat. Pasalnya, formula adil dan beradab menjamin persamaan hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Serta sangat tidak mungkin manusia yang berkeadilan dan berkemanusiaan melakukan tindakan korupsi.
Ketiga, karakter persatuan Indonesia. Karakter ini menyadari keberagaman di satu pihak dan pentingnya persatuan di pihak lain. Adanya persatuan dan kesatuan bangsa merupakan syarat keberlangsungan hidup bangsa. Inilah landasan falsafah “Bhinneka Tunggal Ika”. Serta, manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan Indonesia, tidak mungkin melakukan tindakan korup, karena hal itu akan meretakkan ikatan kebangsaan.
Keempat, karakter kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Karakter ini menyadari wujud demokrasi yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Demokrasi yang sesuai dengan kondisi bangsa yang plural dengan perbedaan tingkat sosial/pendidikan yang masih besar. Pasalnya, karakter ini menjunjung prinsip equality. Serta pemimpin yang bijaksana akan mendasarkan tindakannya pada nilai-nilai agama, keadilan, dan kemanusiaan. Korupsi secara nyata melanggar nilai-nilai agama, keadilan, dan kemanusiaan.
Kelima, karakter keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Capres yang berkarakter ini akan menghindari terjadinya kesenjangan sosial dan menumbuhkan ekonomi untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Karakter ini menjadi spirit kebangsaan bagi rakyat Indonesia yang sadar makna kemerdekaan, sehingga sangat tidak mungkin jika sila ini diamalkan akan ada pelanggaran korupsi. Begitupun dengan kasus-kasus yang lain, kekerasan, diskriminasi, ketidakadilan, kemiskinan, dan pengangguran itu terjadi karena bangsa ini tidak mengamalkan nilai-nilai Pancasila.
Akhirnya, Capres yang diinginkan adalah sosok yang berkarakter, tidak sekedar memahami Pancasila, tapi nilai-nilai di dalamnya tertanam dalam jiwa dan diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Capres berkarakter pancasila merupakan pemimpin yang menggunakan kekuasaannya untuk menguatkan solidaritas nasional dengan memberi inspirasi kepada warga untuk mencapai kemuliaannya dengan membuka diri penuh cinta pada yang lain. ***
Penulis adalah Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Yogyakarta