Azmi Tz. Perupa muda asal Surabaya ini, membuat gebrakan lukisan kartun lewat pameran tunggal di Galeri Nasional dan mencengangkan mata. Tema yang diusungpun sedikit aneh buat kaum awam dengan judul “Partikular Allegoris”.
Pameran dikuratori Suwarno Wisetrotomo ini, menambah lengkap acara hajatan yang disponsori oleh Lee Soetikwan dari Galeri Go Art Space.
Pelukis ini lengkapnya bernama Dhanoe Puji Sampurno. Memilih menjadi seniman ketimbang menamatkan pendidikan SMU-nya. Hasrat melukis yang begitu kuat, sehingga membulatkan tekadnya menjadi pelukis. Pilihan sikap yang semula ditentang oleh keluarganya, kini berbalik mendukung.
Ketekunannya belajar gambar secara otodidak ditambah talenta berimajinasi ini ke dalam pusaran senirupa nasional. Karya lukisan mirip kartun berukur tiga meter, terpampang pada dinding Galeri Nasional. Sejenak terbayang menatap lukisan itu berapa hari menyelesaikan satu lukisan walaupun dengan alat sederhana yakni pinsil dan akrilik.
Tentu diperlukan kesabaran yang tinggi, ketika menggarap dan menyusun gambar demi gambar yang bercerita itu. Ada penonton nyeletuk saat itu begini “...jangan puas dulu kalau belum paham sekali pandang, coba ulangi lagi sebab tutur demi tutur gambar yang diurai laksana sebuah parodi”.
Hal yang sama dijelaskan kurator Suwarno dalam katalog pameran bahwa: ”Misi Dhanoe adalah menciptakan gambar dalam deretan kritik bersambung alias satu sosok (figure) berkaitan satu dengan yang lainnya. Memang terbilang ribet (rumit), namun di balik itu semua ternyata ada adegan bak drama hidup keseharian manusia”.
Kritikan pedas Dhanoe bagaikan parodi (adegan peristiwa) tentang carut-marut kehidupan sosial dalam berdemokrasi saat ini. Kisruh politik, haus kekuasaan, hingga dalam hiruk-pikuk sosial ekonomi nampak nyata dalam karya berjudul: ‘Not Only Adigang Adigung Adiguna 1’. Sindiran keras kepada pemimpin yang tamak dan arogan yang seharusnya berpihak kepada rakyatnya.
Lewat parodi kritik secara humor ini tercetus tema “Partikular Alegoris” kartun Dhanoe menyiratkan tentang kaum yang menyatu untuk melawan arus deras kezaliman. Dengan kemahiran perupa muda berbakat ini, mungkin saja ke depan dia bisa menyajikan karya lukis dan dengan media yang berbeda lebih brilian lagi.
Khusus pada pameran tunggalnya di Galeri Nasional ini, Dhanoe sengaja menyusun dan merangkai gambar demi gambar membentuk satire (sindiran) lewat humor berbungkus kartun. Cara ini buat Dhanoe lebih akurat ketimbang berdemo mengerahkan masa ke lapangan, karena biasanya orang yang disindir merasa miris. Karya seni satire (menyindir) selain karikatur, kartun atau vignet terbilang lebih disukai memang bukan baru tapi sudah ada di era sebelumnya.
Zaman modern ini memang lebih maju dalam mengemas kritik, bahasa boleh santun, tapi isi kritikan bagaikan pantun, menyerang sasarannya secara beruntun. Awalnya bahasa garis Dhanoe sebagai sampiran berikutnya bahasa visual, berubah menjadi sindiran yang berantai. Walaupun pertama kali Dhanoe berpameran, tapi langsung menyengat tidak saja buat situasi perpolitikan yang kelam, juga seniman (perupa).
Pameran tunggal di Galeri Nasional merupakan ajang untuk membuktikan, media melukis Dhanoe tidak harus mahal. Di tangan pemuda yang lugu ini, pinsil yang banyak diabaikan perupa bisa jadi berbeda. Tatap saja lukisannya dengan alat sederhana seperti pena dan pinsil apabila dikombinasikan dengan warna cerah mampu menghasilkan senilukis kartun.
Gambar-gambar yang syarat dengan simbol alegoris (allegories symbollism) dikemas sedemikian rupa menghasilkan karya lukisan yang brilian (menakjubkan). Lukisan Kartun yang dikemas secara humor ini termasuk langka, hanya di tangan Dhanoelah senilukis kartun bagaikan sebuah parodi.
Goresan demi goresan sangat ilustratif (gambar yang bercerita) namun bisa menggugah rasa terdalam yakni nurani. Senilukis kartunnya adalah bentuk retorika demonstratif (representasi menyampaikan makna selain kata-kata yang diucapkan). Salut buat Dhanoe teruskan berkreasi dengan cara anda, mungkin idemu jadi inspirasi buat rekan seniman di nusantara ini.