Oleh: J Anto. Pattaya tetap berdenyut di malam hari, walau jarum jam sudah menunjuk angka 01.30 dini hari. Di tempat wisata yang merupakan “Balinya” Thailand itu, para turis, terlebih pria, bak dimanjakan pemerintah negeri gajah putih itu.
“Di sini tak hanya lidah Anda yang digoyang dengan ragam kuliner yang rasanya ciamik dan harganya murah. Kalau Anda turis laki-laki, maka mata Anda juga dimanjakan dengan hiburan malam yang penuh perempuan berpenampilan sensual,”ujar Darsen Song, seorang turis asal Medan yang tengah membawa isteri dan anaknya ke sejumlah objek wisata di Thailand akhir April lalu.
Namun Darsen buru-buru menambahkan, “Namun harus hati-hati lo, soalnya ada perempuan asli, ada yang palsu,”ujarnya sembari tersenyum mesem.
Pattaya tentu tak hanya dikenal sebagai “sorga hiburan malam”, “sorga kuliner”, atau kehadiran para lady boys yang selalu tampil seksi dan sensual. Di sana juga ada wisata religi (Kuil Dewa Naga Putih atau Bai Long Wang), dan ada wisata apung buatan (floating market) dan tentu saja ada atraksi kesenian dan gajah, atau Thai Cultural and Elephant Show, yang terletak di Nong Nooch Village.
Darsen Song berangkat bersama 20-an peserta tour lain seperti Lie Ho Peng, Tan Hyu Nan, Aheng, Wahyudi, Sahat Sibarani, Jap Juk Lim dan rombongan lain. Mereka berangkat dari Medan sejak 26-29 April menggunakan jasa Awie Tour.
Pantai Pattaya
Beberapa referensi menyebutkan, Pattaya semula merupakan desa nelayan yang menjadi kawasan wisata sejak 1960, tatkala tentara Amerika yang bertugas saat perang Vietnam melancong ke sana. Pattaya masuk dalam wilayah Provinsi Chonburi, dan terletak di sisi timur Teluk Thailand.
Koran The Nation mencatat, jumlah wisatawan yang berkunjung terus meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2008 ada 5,8 juta turis, tahun 2011 jumlahnya melonjak menjadi 7 juta. Apa kelebihan wisata di Pattaya?
Saat menyisir Pantai Pattaya yang hanya sepelamparan batu dari tempatnya menginap di hotel A One the Royal Cruise, Lie Ho Peng tak bisa menyembunyikan rasa irinya melihat turis-turis bule, Korea, Jepang, Srilanka, India dan berbagai negara Asia lain bersEliweran memenuhi pantai Pattaya pada Sabtu 28 April lalu.
Ho Peng tak berlebihan. Semenjak pukul empat sore, ratusan turis sudah menyesaki jalan-jalan utama Pattaya. Tuktuk, mobil angkutan turis khas Thailand lalu lalang memenuhi jalan mengangkut para turis. Tarifnya cukup murah. Satu kali angkut atau per tujuan pemberhentian, turis hanya ditarik 10 bath atau setara dengan Rp 3.600.
Menurut Ho Peng pantai Pattaya tak terlalu indah. Namun demikian tiap tahun diperkirakan ada empat juta turis internasional yang berkunjung ke Pattaya.
“Inilah kalau pariwisata digarap serius oleh pemerintah. Kalau pemerintah kita karena hanya fokus mengembangkan kebun sawit, maka Danau Toba pun tak pernah biSA seramai ini,” ujar Ho Peng lagi. Nada suaranya terdengar sedikit kesal.
Maklum dari sisi keindahan, sekali lagi, pantai dan objek wisata alam yang ada di Indonesia, memang jauh lebih memesona dibanding Pattaya.
Tapi itu tadi, karena pemerintah kita tak terlalu serius mengurusnya, maka kalah jauh dengan Thailand. Di sana, infrastruktur jalan tak dibangun main-main. Termasuk kultur masyarakatnya.
Melintasi jalan highway Bangkok - Pattaya yang ditempuh selama kurang lebih 2 jam memang bisa bikin iri turis yang tengah berlibur ke Danau Toba. Jalan yang ada lebar dan mulus. Tak menjadikan badan penat, walau juga barusan terbang dari Medan selama kurang lebih 2 jam.
Jalan-jalan di Kota Pattaya idem dito. Selain itu, kebersihan juga terlihat sangat menyolok. Pedisteran yang ada juga nyaman bagi pejalan kaki, tak disesaki pedagang kaki lima seperti di Medan.
“Satu lagi yang saya lihat, para pedagang kaki lima di Pattaya juga tak mengejar-ejar turis yang justru sering bikin kesal turis,”tambah Sahat Sibarani.
Keberadaan tentang Lady Boys
“Tak lengkap rasanya ke Pattaya tanpa nonton Cabaret Show,” tutur Lie Ho Peng, pemilik usaha furniture Lie Pin dengan senyum mengembang. Cabaret Show adalah pertunjukan tari-tarian dari berbagai Negara, termasuk tari dari Indonesia, yang dibawakan lady boys. Lady boys ini adalah laki-laki tulen awalnya. Namun lewat operasi transgenik mereka berubah menjadi perempuan.
Tapi jangan salah sangka. Tampilan mereka kadang bahkan lebih feminim, lebih sensual, cantik lagi mempesona dibanding penampilan perempuan sebenarnya. Jika silap dan mata tak jeli, maka lady boys ini bisa mengelabui wisatawan.
“Harus saya akui, penampilan lady boys ini sangat fantastis. Tata cahayanya juga sangat artistik dan megah. Walau tarian dan lagu tradisional yang mereka bawakan sebenarnya juga ada di negara kita. Tapi cara mengemasnya sungguh luar biasa, sangat megah dan menawan,”ujar Sibarani lagi.
Soal lady boys yang meruyak di Pattaya ini, konon punya sengkarut sejarah dengan pendaratan pasukan Amerika pada tahun 1960 saat berkonflik dengan Kamboja. Dari Pattaya ke Kamboja memang bisa ditempuh kurang lebih lima jam.
Seorang pemandu wisata, yang namanya minta tak ditulis menuturkan bahwa Pantai Thai atau Siam di Pattaya, pernah dijadikan tempat pendaratan tentara Amerika yang hendak dikirim berperang ke Kamboja.
Malam hari sembari menunggu diberangkatkan ke Kamboja, tentara Amerika membuat pertunjukkan gay sebagai hiburan di kala malam. Para tentara melarang penduduk lokal melihat pertunjukkan itu. Terkecuali untuk kaum perempuan. Nah, rupanya tak sedikit pria muda yang tertarik dengan atraksi gay itu. Mereka pun kemudian bersiasat dengan cara menyamar dan berdandan seperti perempuan. Sejak itulah berkembang apa yang belakangan dikenal sebagai lady boys.
Lady boys tak hanya dijumpai pada show-show cabaret yang sangat terkenal di dunia itu, tapi juga di Thai Cultural and elephant show. Mereka terlihat lemah gemulai dan kenes saat mengenakan busana tradisional yang menjadikan seperti puteri kerajaan.
Namun di balik panggung saat menggoda turis untuk berfoto bersama, mereka kembali ke kodrat asalnya: duduk dengan kaki mengangkang!
Tentu saja di Pattaya, lady boys paling banyak berseliweran di Walking Street, yang terletak sekitar satu kilometer ke arah selatan Pantai Pattaya. Seperti namanya, di kawasan ini juga tumpah ruah para turis yang berjalan kaki. Di sisi kiri kanan jalan ada toko-toko, café, bar, diskotik, pub, dan tempat-tempat “adult entertainmentt” yang menawarkan aneka hiburan malam seperti pertunjukkan striptease. Sejumlah lady boys dengan busana minimalis dan mempertontonkan lekuk tubuh mereka, coba merayu para turis untuk singgah ke tempat mereka.
Sebuah diskotik memasang sebuah tulisan nyeleneh: ”good guys goes to heaven, bad guys goes to Pattaya.” Alamaak.
Yang Mengandung Daging Jadi Kuliner
Tapi tak usah keburu jengah, di kawasan Walking Street juga dapat ditemukan ragam kuliner jalanan yang rasanya serba maknyus. Menurut Darsen Song, tak sedikit turis asal Medan yang datang berombongan ke Walking Street khusus untuk menyantap masakan China.
“Selain berburu di China Town, Bangkok, Pattaya juga jadi tempat perburuan para penggemar kuliner dari Medan,” ujar Darsen yang tengah menyantap nasi putih bercampur irisan daging babi muda. Soal harga menurutnya lebih murah dibandingkan Medan.
Untuk menyantap satu mangkuk mie bercampur irisan daging bebek dan sayur kailan disiram kuah kaldu, turis cukup mengeluarkan uang 50 bath atau sekitar Rp 18.000.
Selain itu, sejumlah pedagang jalanan juga menjual makanan kecil yang tergolong langka seperti kalajengking, ulat, jangkrik, belalang, bahkan kecoak goreng.
“Kalajengking itu katanya untuk mengurangi kolestrol,”ujar Wahyudi, Direktur Eksekutif Bitra Indonesia, salah satu peserta rombongan tour. Dalam amatan Wahyudi, apa saja yang mengandung unsur daging, di Thailand mampu dijadikan kuliner untuk menggoda selera turis.
Ia lalu menunjuk sate buaya, camilan keripik ekor buaya, dan astaga: camilan penis buaya! Nah, satu tusuk sate buaya berisi lima kerat daging dijual seharga 20 bath, atau sekitar Rp 7.200. Konon, sate buaya punya khasiat untuk menambah vitalitas tubuh.
“Setengah jam setelah menyantap sate buaya, badan memang jadi panas, dan berkeringat,”tutur Tan Hyu Nan dengan tawa bergelak. ***