Oleh: Maulana Syamsuri. Ibarat menggali makam tua dan mengumpulkan semua tulang belulang yang sudah berserakan. Itulah peribahasa yang paling tepat untuk Hadi Poernomo, mantan ketua BPK (26 Okt.2009-21 April 2014) dan mantan Dirjen Pajak Kementerian Keuangan (2002-2004) yang telah melakukan serangkaian pelanggaran wewenang saat menjabat Dirjen Pajak Depkeu sepuluh tahun silam.
21 April 2014 KPK menetapkan Hadi Poernomo sebagai tersangka kasus korupsi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia Tbk tahun 2003. Sudah sepuluh tahun silam penyalah gunaan wewenang itu terjadi, namun sekarang baru mulai diusut. Ibarat menggali makam tua, sungguh sangat sulit mengumpulkan kembali tulang belulang yang sudah berserakan. Selama sepuluh tahun, bisa saja tersangka menghilangkan barang bukti, bisa saja mengalihkan aset-aset miliknya dari hasil kejahatannya, bisa saja mempengaruhi para saksi. Bahkan selama sepuluh tahun berlalu pelaku bisa saja merubah barang bukti dan fakta yang ada. Untunglah tersangka tidak sempat hengkang ke luar negeri.
Kasus yang melilit Hadi Poernomo diawali pengajuan surat keberatan pajak oleh Bank Central Asia Tbk atau transaksi non porforming loan (NPL) sebesar Rp.5.7 triliun. Pada awalnya surat permohonan ini sudah ditolak, namun oleh Dirjen Pajak , Hadi Poernomo justru diputuskan sebaliknya yakni menerima keberatan seluruhnya Diduga hal yang sama juga terjadi pada beberapa bank lainnya. Atas pelanggaran wewenang ini negara diperkirakan mengalami kerugian sebesar Rp.375 milyar. Atas kasus ini KPK dan seluruh jajaran pimpinannya menanda tangani surat perintah penyidikan tertanggal 21 April 2014. HP dijerat pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP dan HP terancam hukuman seumur hidup. HP juga dicekal untuk pergi keluar negeri.
Status tersangka ini diberikan KPK sebagai hadiah ulang tahun HP ke 67 sekaligus sebagai kado syukuran atas HP berpamitan yang memasuki masa pensiun. Suasana ulang tahun dan syukuran yang seharusnya berlangsung khidmat dan penuh kesyukuran tiba-tiba berubah menjadi muram, murung dan menyedihkan. Mudah-mudahan KPK dalam menggali makam tua ini bekerja ekstra istimewa untuk mengungkap oknum lain di lingkungan Dirjen Pajak lainnya yang terlibat dalam kasus ini. Jangan ada satupun oknum yang lolos dari jerat hukum.
Tidak hanya kasus yang menjerat HP yang dibongkar setelah 10 tahun terjadi. Masih banyak kasus-kasus lain setelah bertahun-tahun tenggelam akhirnya diusut kembali. Seperti halnya yang terjadi atas kasus Eddy Tansil yang bernama asli Tan Tjoe Hong, pemilik Group Golden Key yang bergerak dalam bisnis petrokimia. Selama periode 1989-1993 atau lebih dari 25 tahun silam ia membobol bank milik pemerintah, yakni Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan kini menyatu dengan Bank Mandiri. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis hukuman 20 tahun penjara namun 4 Mei 1996 Eddy Tansil kabur dari Lapas Cipinang Jakarta.
Selama bertahun-tahun buronan kelas kakap ini tidak diketahui keberadaannya.. Namun di akhir tahun 2013 Jaksa Agung menerima informasi bahwa Eddy Tansil berada di China. Kini pihak kejaksaan RI melalui Kementerian Hukum dan HAM selaku otoritas sentral bidang hukum, meminta bantuan Pemerintah China agar dapat memulangkan sang buron kembali ke Indonesia untuk dijebloskan kembali ke jeruji besi. Kenyataannya hingga saat ini sang buron dan puluhan koruptor lainnya yang eksodus keluar negeri belum berhasil dipulangkan ke tanah air.
Makam Tua dari Langkat
Dato’ Seri Syamsul Arifin SE, Gubernur terpilih Provinsi Sumatera Utara dilantik 16 Juni 2008. Sebelumnya Syamsul Arifin adalah Bupati Kabupaten Langkat periode 1999-2008. Syamsul Arifin SE melenggang ke kursi nomor 1 di provinsi Sumatera, padahal saat menjadi bupati Langkat, Syamsul Arifin meninggalkan dosa, yakni menyalah gunakan uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar Rp.98,7 milyar yang diduga dibagikan kepada sanak saudara dan kerabatnya. Terbongkarnya penyelewengan uang APBD ini setelah Syamsul menjadi Gubernur Sumut. Saat melenggang ke kursi Gubernur, Syamsul seakan adalah manusia suci yang tidak berdosa. Akhirnya Syamsul harus mendekam dibalik jeruji besi selama 6 tahun penjara.
Kasus korupsi yang hampir mirip dengan Syamsul Arifin juga terjadi atas diri Walikota Medan Rahudman Harahap yang sebelumnya menjabat Sekretaris Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan hingga tahun 2005. Setelah RH menduduki kursi walikota Medan, kasus korupsi Tunjangan Pendapatan Pemerintahan Desa (TPAPD) kabupaten Tapsel merebak ke permukaan. Bersama bendahara Tapsel Amrin Tambunan, RH disangka melakukan serangkaian korupsi sehingga negara dirugikan sebesar Rp.2,07 milyar dan perhitungan BPKP, negara dirugikan Rp.1,5 milyar.
Pengadilan Tipikor Medan memutuskan vonnis bebas bagi RH karena terbukti tidak bersalah, sementara jaksa penuntut umum menuntut RH 4 tahun penjara dan denda Rp.500 juta. Namun setelah melalui liku-liku yang panjang dan alot, akhirnya Mahkamah Agung tanggal 15 April 2014 RH divonis 5 tahun penjara. Salah satu hakim yang memeriksa kasus ini adalah Artijo Alkostar, yang sangat terkenal jujur, tidak doyan duit dan selalu bekerja dengan lurus.
Akhirnya RH dijeput paksa dari rumahnya dengan pengawalan ketat oleh pasukan Brimob dan kepolisian untuk menghuni Lapas Tanjung Gusta. Itulah yang selalu terjadi di negeri ini, pejabat menduduki jabatan baru, sementara pada masa lalunya meninggalkan jejak hitam dan penuh dosa.
Kasus Bank Century Alot
Pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) harus menyuntik dana Rp. 6.7 trilyun kepada Bank Century karena kalah kliring. 18 Nopember 2008 Bank Century mengalami kehancuran karena bank ini tidak dapat membayarkan penarikan uang kepada nasabahnya, tidak bisa ikut kliring, tidak bisa melayani transfer uang dan semua kegiatan perbankan. Bank Century kalah kliring karena diduga terjadi pembobolan oleh oknum pemilik bank itu, antara lain oleh Robert Tantular, Hesham Talaat Mohamed al Warraq dan Rafat Al Rivki. Ibarat menggali makam tua, yang tulang-belulangnya sudah berserakan, seperti itulah yang terjadi dalam pengusutan kasus hancurnya Bank Century.
Setelah bertahun-tahun ditelusuri dan diusut hingga kini kasus itu masih jauh dari kata tuntas. Dana suntikan sebesar Rp.6,7 trilyun yang diterima bank ini dibobol dan dilarikan keluar negeri. Syukurlah salah satu pemilik Bank Century, Robert Tantular kini harus menjalani hukuman 9 tahun penjara plus denda Rp.100 milyar yang dijatuhkan Mahkamah Agung tahun 2010 silam. Sementara itu Hesham dan Rafat dijatuhi hukuman 15 tahun penjara lewat persidangan in absentia karena kedua warga negara Inggeris itu sudah lebih dulu kabur dari Indonesia.
Kabar gembira datang dari Hong Kong , bahwa Pemerintah Hong Kong melalui Pengadilan Tinggi Daerah Administratif Hong Kong telah berhasil menyita aset Hesham dan Rafat al Rizvi untuk diserahkan kepada pemerintah RI.
Perburuan aset Century di luar negeri memang melalui proses yang panjang dan alot. Awal 2009 kasus Century mulai menjadi perhatian publik. Karenanya muncullah desakan agar pemerintah membentuk tim guna mengusut aset Robert Tantular cs yang menilep uang negara Rp.6,7 triyun Dana sebesar itu merupakan dana talangan (bailout) Century yang dikucurkan pemerintah melalui LPS sepanjang tahun 2008-2009.
Untuk penyelesaian kasus Bank Century Pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari Kemenkeu, Bank Indonesia, Kemenhum HAM, Kejaksaan Agung, Polri, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan LPS. Tim ini akan memburu dan mengembalikan uang yang disimpan di berbagai negara seperti di Singapura, Hong Kong, Inggris, Kepulauan Jersey, Australia, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, hingga kepulauan Bahama.
Harapan masyarakat Indonesia, dalam menangani kasus korupsi, jangan menunggu berlama-lama, akibatnya seperti menggali makam tua. Dalam hal mengangkat seseorang menduduki jabatan yang lebih tinggi harus ditelusuri jabatan lama bersih atau berlumur noda. ***