Oleh: Sita Herman
12 Mei 1998
“Nis, mau ikut aku ke Mall? Ntar kuantar kamu kembali ke sini,” ajak Toni, abang kedua Nissa, saat Toni datang berkunjung.
Ya, Nissa sedang berada di Jakarta sejak awal Mei dalam rangka liburan. Nissa datang dengan Mama, kakak ipar pertama dan keponakannya.
Tentu saja Nissa tak menolak ajakan Toni. Mereka pun meninggalkan rumah yang terletak di kompleks perumahan di kawasan Jakarta Utara setelah berpamitan dengan Mama.
Mobil membelah jalan ibukota yang padat, penuh debu dan macet. Saat hampir tiba di tujuan, ternyata sedang ada demo mahasiswa.
“Gak bisa lewat, Nis, jalan diblokir. Mana bisa pergi lagi”, celetuk Toni. “Kita balik ke apartemenku saja. Lebih dekat. Mau anterin kamu balik lagi, sepertinya sudah tak mungkin dengan suasana demo seperti ini. Besok saja aku antar kamu pulang”.
“Ya udah,” Nissa sedikit kecewa. Padahal ia sudah membayangkan sedang berjalan-jalan di mall favoritnya yang terletak berseberangan dengan dua universitas swasta bergengsi di kawasan Jakarta Barat.
Akhirnya mereka tiba di apartemen setelah melewati beberapa ruas jalan alternatif.
Baru saja menghempaskan tubuhnya di sofa hijau muda yang empuk, Nissa langsung menelepon Inge, teman karibnya.
Awalnya mereka sepakat untuk bertemu di suatu tempat di hari berikutnya. Namun malam itu juga Inge membatalkan janji dengan alasan akan pulang ke Kota Bogor.
13 Mei 1998
“Hari ini gak usah pergi kerja. Lagipula kemarin demo. Entah berlanjut sampai hari ini atau gak. Ntar macet parah,” seru Toni kepada Melly, istrinya.
“Gak bisa. Hari ini ada meeting. Mana mungkin gak pergi kerja,” bela Melly.
Toni yang kebetulan sedang off pun diam saja dan mengantarkan Melly ke tempat kerjanya.
Sekitar pukul sembilan pagi, Toni telah tiba kembali di apartemen sambil membeli sarapan dua bungkus nasi. Usai sarapan, tak ada lagi yang bisa Nissa kerjakan.
Karena suntuk, Nissa pun ke kamar Toni dan melihat-lihat ada buku apa saja yang menarik untuk dibaca.
Sambil membolak-balik halaman majalah, Nissa sesekali mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Tak lama, dia melihat asap tebal yang makin lama makin hitam dan membubung tinggi.
Nissa menduga telah terjadi kebakaran. Namun saat dilihatnya lagi asap tebal yang membubung di tempat yang berbeda, mulai timbul tanda tanya di hatinya. Apalagi tak lama kemudian, muncul lagi kepulan asap yang baru.
Dari jendela kamar apartemen lantai tiga, Nissa dapat melihat tiga titik kepulan asap dari tiga tempat berbeda.
“Masa sih bisa terjadi tiga kebakaran tapi beda tempat dalam waktu bersamaan?” gumamnya.
Saat hal itu dikabarkannya kepada Toni, ia tampak berpikir. Sejenak kemudian, Toni melangkah ke ruang tamu dan menghidupkan TV. Dan pemandangan yang disuguhkan di layar kaca sungguh membuat Toni dan Nissa tercengang tak percaya.
Siaran berita yang disiarkan oleh kantor berita asing dengan judul “Riot in Indonesia” menyajikan pemandangan massa yang berlarian kacau balau, mobil, bus dan bangunan dibakar dan terjadi penjarahan di mana-mana.
Ternyata telah terjadi kerusuhan di luar sana dan mereka tak tahu sama sekali sampai mereka menonton siaran berita di televisi.
Sesaat kemudian terdengar suara Toni menelepon Mama. Nissa kurang mendengar jelas apa yang dibicarakan mereka sebab ia masih shock dengan pemberitaan di televisi.
Ia hanya sekilas mendengar Toni bertanya apakah Mama baik-baik saja dan berjanji akan menjemput Mama menginap di apartemen pagi-pagi buta di hari berikutnya.
Usai percakapan telepon, barulah Toni bercerita bahwa massa hampir menyerbu masuk ke dalam kompleks di mana Mama tinggal. Mereka telah mulai membakar ban- ban bekas di depan pos penjagaan.
Bahkan asap pembakaran ban sampai masuk ke dalam rumah. Mama sesekali menutup hidung keponakan Nissa yang kala itu masih berusia satu tahun dengan sapu tangan yang telah dibasahi air agar tak menghirup asap tebal.
Istri paman yang tinggal di lain kompleks namun berdekatan, sampai menelepon Mama apakah ada makanan di rumah. Bila tidak, supir paman akan mengantarkan makanan kepada Mama.
Untunglah di pagi harinya, Mama masih sempat ke pasar berbelanja sehingga masih ada makanan yang dimakan saat mereka terkurung di rumah sehingga Mama pun menolak halus tawaran dari istri paman. Lagipula tak enak rasanya merepotkan orang lain di situasi genting seperti itu.
Tapi mereka mau ke mana sekarang? Akses satu- satunya untuk keluar dari kompleks tersebut hanyalah dari pintu gerbang depan. Dan saat itu sekelompok massa sedang berkumpul di gerbang depan sambil meneriakkan yel-yel.
Seorang ibu tua yang tinggal di rumah seberang, menyarankan agar semua penghuni kompleks serentak berdoa untuk memohon keselamatan dan perlindungan dari Tuhan.
Saran dari ibu tua itu pun dengan cepat tersebar di seluruh kompleks dan mereka pun serentak berdoa di rumah masing-masing.
Aneh tapi nyata. Tak sampai setengah jam, massa berangsur-angsur meninggalkan pos penjagaan dan menyisakan ban bekas yang sedang terbakar. Apakah itu karena kekuatan doa? Begitu hebatkah kekuatan doa?
“Kan sudah kubilang hari ini gak usah kerja. Sekarang gak bisa pulang 'kan?” omel Toni di telepon. “Aku mana bisa jemput kamu saat situasi seperti ini. Mau naik mobil atau motor sama saja. Kalau aku naik motor lalu distop dan disuruh buka helm dan nampak wajahku, lalu aku dibunuh bagaimana? Kamu nginap dulu di rumah temanmu. Besok kalau situasi memungkinkan baru kujemput”.
Dari pembicaraan Toni di telepon, bisa ditebak Nissa bahwa Melly sekarang sedang di rumah teman dan meminta Toni menjemputnya.
Sekitar pukul 19.30, pengelola apartemen meminta kepada semua penghuni apartemen agar memadamkan semua lampu supaya tak terlihat dari kejauhan. Karena tersiar kabar bahwa blok apartemen lain yang berlokasi di belakang apartemen yang mereka huni, telah dibakar oleh massa.
“Jangan sekali-kali buka pintu ya, kalau bukan aku yang pulang,” ingat Toni sebelum turun ke lantai dasar apartemen untuk mengecek situasi. “Kalau memang situasi sudah tak aman di sini, kita kabur saja.”
Sepeninggal Toni, Nissa seorang diri menonton siaran televisi yang sedang menyiarkan berita kerusuhan dalam suasana gelap. Terngiang lagi ucapan Toni agar kabur saja bila situasi tak aman.
“Tapi mau kabur ke mana? Situasi di mana-mana sedang tak aman. Tapi kalau Toni bilang kabur, ya aku ikut kaburlah entah ke mana pun itu. Pokoknya aku ikut aja,” ucap hati Nissa.
Nissa lalu teringat sesuatu. Kalau memang harus benar-benar kabur, ia harus mempersiapkan apa-apa saja yang mesti dibawa pergi.
Nissa lalu mengenakan celana jeans sambil memasukkan KTP, uang, buku tabungan dan kartu ATM yang diselipkan ke dalam dompet ke kantong belakang celana jeans sambil tak lupa menyambar sekumpulan dokumen penting yang telah dimasukkan ke dalam plastik besar yang tersimpan di laci lemari baju milik Toni dan diletakkannya di atas meja ruang tamu.
Ya, barang-barang itu saja yang akan diselamatkan bila mereka benar-benar harus pergi meninggalkan apartemen.
Tak lama Toni pun kembali. Ternyata kabar tentang apartemen belakang yang dibakar hanyalah isu. Dan telah ada sekompi pasukan dari TNI AL yang ditugaskan untuk berjaga-jaga di areal apartemen sehingga situasi sudah bisa dikendalikan dan mereka tak perlu lagi meninggalkan apartemen.
14 Mei 1998
Pukul 05.30 Toni berangkat untuk menjemput Mama, kakak ipar pertama dan keponakan.
Nissa yang ditinggal seorang diri terus berdoa di dalam hati selama Tony berada di dalam perjalanan dan berharap mereka bisa kembali dengan selamat. Lega rasanya saat mendengar suara Mama sesaat mereka tiba di apartemen.
Sorenya, Toni menjemput Melly. Saat malam, mereka berkumpul di ruang tamu, tak sabar ingin mendengar cerita dari Melly.
Menurut Melly, para karyawan disarankan agar lebih cepat pulang kerja. Sama sekali tak diduganya bila kerusuhan terjadi di segala penjuru.
Saat memanggil taksi, anehnya supir taksi menolak mengantarkan Melly. Rekan kerjanya, yang beretnis Jawa, berbaik hati menawarkan Melly untuk menginap di rumahnya. Namun ia mengingatkan jangan sampai massa melihat Melly saat di dalam mobil.
Melly pun berada di dalam mobil namun dalam posisi berbaring telentang di kursi belakang mobil agar tak terlihat dari luar oleh massa.
Saat mobil sedang berjalan melalui sebuah supermarket, di saat yang sama pula sedang terjadi penjarahan besar-besaran di supermarket tersebut.
Walau Melly dalam posisi telentang, namun dari jendela mobil ia masih mampu mengintip sekilas massa yang berebutan menjarah barang-barang.
Yang sempat diintipnya, ada dua lelaki yang menggotong kulkas. Ada yang menjarah komputer. Ada juga yang membawa troli berisikan pesawat televisi. Asap tebal pun terlihat mengepul dari bangunan supermarket yang telah dibakar.
Menurutnya, suasana kala itu sangat mencekam hingga ia tak berani bergerak sedikit pun dan tetap dalam posisi telentang di kursi belakang mobil sambil memalingkan wajah dan sesekali memejamkan mata.
16 Mei 1998
Beberapa hari kemudian situasi di luar sudah mulai terkendali. Stok makanan pun mulai menipis. Tony mengajak Melly dan Nissa keluar membeli makanan.
Suasana jalanan di ibukota bagai baru terjadi perang. Aktivitas masih belum normal, hanya sedikit orang yang berlalu lalang.
Kendaraan tank berseliweran di mana-mana. Baru sekali inilah Nissa yang biasanya melihat tank hanya dari layar kaca, sekarang dapat melihatnya langsung.
Dan juga bangunan, bangkai-bangkai mobil dan bus yang dibakar. Bau gosongnya masih tercium.
Mereka juga melewati rumah salah seorang taipan terkaya di Indonesia. Walau bangunannya masih utuh, namun cat dinding rumah yang telah berwarna hitam menandakan bahwa rumah tersebut ikut dibakar saat terjadi kerusuhan.
“Untung waktu itu supir taksinya tak mau antar aku. Coba, kalau saat itu aku pulang naik taksi dan distop di tengah jalan, aku bakal jadi apa?” ucap Melly saat mereka masih dalam perjalanan pulang usai membeli makanan.
“Sama dong! Waktu itu padahal aku sudah janjian dengan Inge ke Mall. Tapi akhirnya Inge batalkan janji,” cerita Nissa menggebu-gebu. “Untung tak jadi pergi karena kan mesti ganti bus dua kali.”
“Iya, syukur Mama juga dalam keadaan baik-baik saja. Massa tak sampai menyerbu ke dalam kompleks. Ternyata Tuhan masih sayang keluarga kita ya, Nis?” tutup Melly.
Nissa dan keluarganya merupakan saksi hidup dalam kerusuhan Mei 1998 yang menimbulkan banyak kerugian materiil dan korban nyawa. Puji Tuhan, Nissa sekeluarga selamat dalam tragedi yang takkan terlupakan itu.
* Januari 2014
Catatan: Cerpen ini berdasarkan kisah nyata yang penulis alami.