Oleh: Prof. RMH Subanindyo Hadiluwih, SH, Ph.D. Beberapa berita tentang perencanaan penetapan nama Jalan Soekarno Hatta yang akan menggantikan nama Jalan Garuda Hitam, saya terima dan saya coba untuk memahaminya, sebelum akhirnya saya diajak serta untuk ikut berpikir tentang ‘kelayakan’ dari pada penamaan jalan bagi pasangan Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia ini. Beberapa rekan lain juga diajak berembuk.
Antara lain Miduk Hutabarat, Burhan Batubara dan Meuthia Fadilla dari Himpunan Pengembang Jalan Indonesia (HPJI); H. Muhammad Twh, ketua Legiun Veteran yang juga wartawan senior, Ki Heru Wirjono, Ketua Angkatan ’45, Budi Agustono, Ichwan Ashari, Ratna S dari Fakultas Ilmu Budaya USU, Irwansyah, Idris Pasaribu, dan lain-lain secara terbatas.
Di luar keterkaitan dengan pengusulan nama jalan buat Proklamator Kemerdekan RI, ternyata menumbuhkan hasrat penulis untuk mengetahui lebih lanjut tentang penamaan jalan yang lain, yang ternyata mengandung berbagai alasan yang berbeda-beda.
Ada alasan historis yang terpaut dengan masa perjuangan RI, berikut masa gerilya di Sumatera Timur kala itu, juga nilai-nilai historis yang berkenaan dengan ragam etnik, bahkan pola okupasi penduduk Medan dan sekitarnya. Mulailah saya mencoba menelusuri jalan-jalan sekaligus mengumpulkan nama-nama termaksud, termasuk (dugaan) alasan-alasan penamaannya.
Ada nama-nama pahlawan nasional, ada nama-nama pahlawan yang berjasa bagi daerah, ada pula nama yang bertaut dengan sejarah atau mempunyai nilai historis yang tentunya tidak layak manakala harus diganti. Misalnya nama Kolonel Bejo (jalan Cemara), Jalan Nip Xarim, dan mungkin masih ada tokoh pejuang Medan Area yang lain.
Sementara Jalan Letda Sudjono, jelas terkait dengan peristiwa Bandar Betsy, anggota Babinsa yang gugur dikeroyok anggota-anggota BTI pada masa jayanya PKI. Kelihatannya, nama pahlawan itu yang hendak diabadikan, meski tak bertautan dengan jalan itu sendiri.
Begitu pula dengan Jalan Diponegoro, Jalan Sudirman, Jalan Kartini, Jalan Cut Nya’ Dhien, Cut Mutia, Teuku Umar, Jalan Brigjen Slamat Riady, dan Jalan SM Raja. Jalan Adam Malik pula, menggantikan nama terdahulu, Jalan Glugur. Sementara Jalan Perintis Kemerdekaan menggantikan nama Jalan Jati.
Sebagian dari Jalan Gaperta (Ujung) berubah menjadi Jalan Brigjen Manaf Lubis. Hal ini bisa dilihat pula pada Jalan Jenderal Ahmad Yani, yang menggantikan nama lama Kesawan. Sedang jalan Serdang menjadi Jalan Prof. Mr .HM Yamin..
Sementara nama-nama Pahlawan Revolusi juga bertebar menjadi nama jalan di kota Medan. Termasuk Jalan DI Panjaitan, Jalan S.Parman, Jalan Sutoyo Siswomihardjo, Jalan Haryono MT, Jalan Brigjen Katamso, Kolonel Sugiono, dan lain lain.
Pahlawan yang sudah diabadikan pada nama jalan yang terlebih dahulu ada, misalnya Jalan Gatot Subroto, Sutomo, Juanda, Iskandar Muda, Gadjah Mada, Hayam Wuruk dan lain-lain. Korban peristiwa G30S/PKI yang juga sudah diabadikan menjadi nama jalan antara lain jalan Ade Irma Suryani, puteri Jenderal Nasution.
Sementara nama Jenderal Abdul Haris Nasution diabadikan untuk jalan baru, ringroad yang memanjang dari Belawan sampai simpang Jalan Sisingamangaraja ke arah Perbaungan/Pematang Siantar. Meskipun diantaranya terpotong oleh nama-nama Jalan Yos Sudarso (pahlawan Trikora), Jalan Kapten Sumarsono, Jalan Asrama, Jalan Kapten Lumban Surbakti. Dan beberapa jalan memotong, termasuk jalan ke Deli Tua.
Lalu, apakah nilai historis dari pada Jalan Sutrisno, Jalan Kapten Sumarsono, Kapten Muslim dan mungkin masih ada lainnya lagi ? Misalnya Jalan Wahid Hasyim, Jalan H. Misbach (dikenal sebagai tokoh komunis muslim), Jalan Multatuli, lengkap dengan Jalan Saijah dan Adinda yang sempat menimbulkan bahasan panjang tempo hari.
Layaknya sebagai kawasan Melayu, ada yang namanya terkait dengan nama, setidak-tidaknya budaya Melayu. Misalnya Serdang, Gelugur, Jalan Johor, Jalan Sunggal, Jalan Sei Deli dan tentunya masih banyak lagi.
Disamping nama-nama Hang Tuah, Hang Jebat dan lain-lain. Sementara tanda bukti bahwa memang banyak keturunan China tinggal di Medan. Di era Tjong A Fie, dikenal pula Jalan Pajak Hongkong, Pajak Hang Kouw, Jalan Guangzou, Jalan Tjong Yong Hian, dan masih banyak lagi lainnya.
Pengaruh banyaknya orang Jawa, juga memberi nama-nama Jawa, meskipun pada umumnya ada di kawasan ‘pinggiran’, kecuali Jalan Jawa. Ada Jalan Klambir Lima, Tanjungsari, Tanjung Morawa, Sukadono, Purwosari, Pasundan dan lain-lain. Disamping nama-nama kerajaan di dunia pewayangan, seperti jalan Ngalengka, Jalan Dwarawati, Jalan Madura dan lain-lain.
Kelompok etnik Minangkabau pula tinggal di jalan-jalan Utama, Amaliun, Halat, Laksana, Nusantara, sampai Pasar Ramai. Nama-nama yang lain meliputi nama gunung, danau, kembang dan lain-lain. Mungkin yang masih dikenal Jalan Bukit Barisan, Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Toba dan lain lain.
Di Perumnas Helvetia, maklum jalan baru, ada nama kembang, Jalan Dahlia, Filisium, Mawar, Melati, di Medan-Baru, ada nama-nama Sei (sungai) seperti Sei Bingai, Sei Ular, Sei Besitang, Sei Seputih, Sei Musi, disamping Sei Batanghari, Sei Babura, Sei Rotan, dan Sei Wampu. Sementara di Jalan Ayahanda ada nama jalan peralatan masak, Jalan Kuali, Rantang, Panci, Gelas, dan peralatan menulis: Jalan Kertas, Jalan Pensil, Jalan Notes, Jalan Jangka dan lain-lain. Disamping nama-nama perkebunan seperti Helvetia, Marelan dan sebagainya.
Nama-nama jalan yang dikaitkan dengan bangunan yang terdapat di jalan tersebut juga ada, misalnya Jalan Pengadilan dimana terdapat kantor Pengadilan (Negeri dan Tinggi), jalan Kejaksaan, dulu terdapat kantor Kejaksaan Tinggi meski sekarang sudah pindah, Jalan Masjid, dimana terdapat masjid yang konon didirikan oleh Tjong A Fie, dan Jalan Gereja dimana pada jalan tersebut terdapat bangunan gereja.
Jalan STM adalah jalan dimana berdiri bangunan sekolah Teknik Menengah (STM), dan disekitar lokasi tersebut terdapat nama-nama jalan yang pakai ‘Suka’, Suka Maju, Suka Jadi, Suka Makmur. Keturunan India ada di kampung Keling (jalan Zainul Arifin), kampung Madras, sekitar kuil Sri Mariamman (1884). kampung Anggrung dan lain-lain. Ternyata, nama-nama jalan tersebut sudah banyak yang mengalami perubahan. Jalan Padang Bulan, sempat berubah menjadi Jalan Patrice Lumumba, Jalan Pattimura dan nama resmi saat ini, Jalan Jamin Ginting. Meski bagi penduduk lama, mereka lebih suka menyebut nama aslinya, Padang Bulan.
Begitu pula dengan jalan Sei Wampu, meski juga disebut nama barunya, toh banyak juga yang mengenalinya dengan nama lama. Lapangan Merdeka, yang merupakan salah satu bahasan untuk pengusulan nama Soekarno – Hatta, dulu bernama ‘Esplanade’ kemudian di zaman Jepang berubah menjadi lapangan Fukuraido. Baru setelah Gubernur T.M.Hassan membacakan teks proklamasi di lapangan tersebut, untuk seterusnya lapangan tersebut dikenali dan disebut Lapangan Merdeka.
Jalan-jalan di seputar lapangan tersebut antara lain Jalan Balaikota, Jalan Bukit Barisan (dahulu jalan Karambol-rumah bola), Jalan Stasiun (dahulu jalan Deli Spoor Maatschappij/DSM), dan Jalan Pulau Pinang yang berjumpa dengan Kesawan dan Jalan Kebudayaan. Sementara ditengah berjumpa pula dengan Jalan Raden Saleh.
Jalan Balaikota sendiri kemudian setelah ‘terpotong’ dengan Jalan Tembakau Deli, bersambung dengan Jalan Puteri Hijau, ketika ‘terpotong’ lagi dengan Jalan Glugur bersambung dengan Jalan Komodor Laut Yos Sudarso. Pejabat tinggi TNI-AL yang mengambil alih komando dari komandan KRI Macan Tutul, Kapten Wiratno, dan tenggelam ketika diserang oleh kapal induk Belanda, Karel Doorman.
Peristiwa pertempuran di Laut Aru dengan semboyan ‘Kibarkan Semangat Berperang’, ini diperingati sebagai Hari Armada setiap tanggal 15 Januari. Nama Gubernur TM Hasan sendiri ‘pembaca proklamasi’ di Lapangan Merdeka, sampai sekarang belum juga ditahbiskan untuk menggantikan nama Jalan Palang Merah, meskipun Surat Keputusan untuk itu sudah diterbitkan sejak tahun 2006. Konon bersamaan dengan Jalan GM Panggabean, menggantikan Jalan (stadion) Teladan, dan Jalan Tjong Yong Hian, menggantikan Jalan Bogor.
Penamaan Jalan Soekarno Hatta inilah yang diharapkan akan menggantikan salah satu nama jalan di sekitar Lapangan Merdeka. Setidaknya untuk memberikan semangat dan marwah yang lebih layak ketimbang menggantikan nama Jalan Gagak Hitam.
Sayang, kandungan historis yang sudah ada di jalan-jalan sekitar Lapangan Merdeka kelihatannya sulit untuk menempatkan Jalan Soekarno Hatta.
Meskipun kalau dicari peluangnya, sebenarnya masih mungkin manakala menggantikan nama Jalan Bukit Barisan di sisi utara. Tentu pintu masuk ke Lapangan Merdeka harus dirubah menghadap ke utara, menggantikan pintu masuk yang ada sekarang di sisi selatan. Pendapat ini tentu saja hanya sekedar bahan pertimbangan.
Manakala memang tidak memungkinkan, sesuai dengan semangat sang proklamator, rasanya kurang pas kalau namanya dipakai untuk ‘sekadar’ mengganti nama Jalan Gagak Hitam. Mungkin posisi yang lebih layak adalah penamaan jalan panjang yang menuju Kuala Namu International Airport (KNIA). ***
Penulis adalah seorang budayawan Dan Guru Besar UMSU Medan