Oleh: Rizal R Surya. DALAM Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diterbitkan Pusat Bahasa, panutan berarti anutan, teladan. Teladan sendiri berarti sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk dicontoh tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya.
Siapa yang pantas dijadikan panutan?Yang pantas dijadikan panutan sudah pasti para pemimpin. Pemimpin di sini maksudnya bukan sekadar kepala negara, kepala daerah, pemimpin lembaga dan institusi pemerintah, tapi juga orang yang dianggap punya kompetensi keilmuan dan para penegak hukum (aturan).
Kalau di rumah, yang menjadi panutan sudah pasti kedua orangtua. Setelah orang tua, saudara yang dianggap lebih tua. Kalau di sekolah sudah pasti para guru. Bisa juga ketua kelas bagi murid-murid lainnya. Di dalam negara ini, panutan itu mulai dari yang tertinggi Presiden, dan seterusnya ke bawah.
Karena menjadi panutan, maka mereka itu harus menjaga perbuatan, kelakuan, sifat dan lainnya. Menjaga di sini maksudnya tindak-tanduk yang dilakukan harus baik dan tidak boleh menyimpang dari aturan yang ada. Bagaimana mereka bisa dijadikan anutan kalau mereka melanggar aturan yang harusnya mereka jaga.
Sayangnya, banyak orang yang harusnya menjadi panutan, malah menjadi contoh tidak baik bagi orang yang diayominya. Akibatnya, seperti yang kita saksikan sekarang di republik tercinta ini. Mulai dari tingkat atas hingga bawah, para panutan ini kerap melanggar aturan yang harusnya mereka jaga.
Sebagai contoh kecil bisa saya kemukakan di sini. Jumat pekan lalu saya melintas di Jalan Sakti Lubis menuju ke Jalan Brigjen Katamso. Saya bermaksud berbelok ke kanan menuju Kota Medan. Karena lampu pengatur lalulintas sedang berwarna merah, saya beserta pengendara kendaraan lain berhenti di belakang garis pembatas.
Tidak lama kemudian dari arah belakang muncul sepeda motor berusaha menerobos lampu merah. Tapi karena banyak kendaraan yang berbelok dari Jalan Brigjen Katamso menuju Jalan Sakti Lubis membuatnya tidak bisa menerobos dan harus tertahan di tengah jalan. Dari belakang saya lihat, helm pengendara sepeda motor tersebut tertulis ‘Dishub’. Saya berpikir siapapun bisa memakai helm milik Dishub alias Dinas Perhubungan. Tapi dari seragam pakaian yang dikenakannya, tidak bisa ditutupi lagi bahwa ia merupakan salah seorang staf atau pegawai Dinas Perhubungan.
Bajunya memang dibalut jaket sehingga tidak kelihatan. Tapi celananya yang berwarna biru tua tidak bisa ditutupi. Demikian pula sepatu laras tinggi yang dipakainya tidak bisa disembunyikan lagi. Apalagi di balik sepatu tersebut terselip buku yang biasa dipakai untuk menindak (tilang) pengguna kendaraan umum yang melanggar aturan. Harusnya petugas Dinas Perhubungan yang menjadi panutan bagi pengendara kendaraan malah melanggar aturan!
Belum lagi lampu hijau menyala, ‘sang Dishub’ tadi langsung menerobos. Aksinya diikuti pengendara lain di belakangnya. Akibatnya, kendaraan yang mau berbelok jadi tertahan. Giliran lampu hijau menyalah, kami yang dari tadi menunggu dan harusnya jalan, jadi terhambat karena kendaraan yang harusnya berbelok terhambat akibat aksi terobos ‘sang Dishub’ tadi.
Saya yang merasa penasaran berusaha mendekati untuk memastikan apakah ia memang benar-benar pegawai Dishub. Saya baru berhasil mendekatinya di lampu pengatur lalulintas selanjutnya di persimpangan Jalan Pelangi. Tapi seperti tadi, ia juga menerobos tanpa pernah merasa bersalah. Bahkan dari caranya mengemudi sepeda motor, terlihat ia sangat bangga sekali ‘berhasil’ melannggar aturan.
Kenyataan yang sering saya alami langsung dalam kehidupan sehari-hari ini merupakan contoh kecil bagaimana penegak aturan malah melanggar aturan. Masyarakat yang awalnya takut, malah ikut-ikutan melanggar aturan. Siapa yang salah?
Dalam skala yang lebih besar, kejadian di atas kerap terjadi. Aparat penegak hukum yang harusnya menjadi ‘penjaga’ malah mengajari masyarakat bagaimana ‘mengakali’ aturan agar bebas dari sanksi hukum. Petugas pajak yang harus menjadi ‘benteng’ bagi negara malah mengajari wajib pajak bagaimana caranya agar bisa terbebas dari kewajiban membayar pajak atau setidaknya bisa mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.
Para wakil rakyat yang harusnya membela kepentingan rakyat malah ‘berselingkuh’ dengan pemilik modal untuk mengusir rakyat dari tanahnya. Atau.......
Masih banyak contoh lain yang sudah kita lihat, dengar bahkan rasakan sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Lantas siapa yang bisa atau mau kita jadikan panutan saat ini?