TINJAUAN BAHASA

Melenggang ke Senayan

Oleh: Hari Murti, S. Sos. Inilah salahsatu kata yang tidak perlu diterus-teruskan lagi penggunaannya ketika ingin menyebutkan seseorang yang berhasil terpilih menjadi anggota DPR. Selain makna sebenarnya berbeda dengan yang dimaksudkan si penutur ketika menggunakannya, tingkat keseriusannya juga tidak setara dengan apa yang ingin digambarkannya. Melenggang, setelah saya masukkan kata itu di kolom kata kunci Kamus Besar Bahasa Indonesia Versi Offline, hasilnya adalah “Tidak ditemukan pencarian kata melenggang”. Yang ada hanya kata lenggang, yang artinya ‘dalam keadaan berhenti (mengaso) sebentar; dalam keadaan tidak sibuk (untuk sementara waktu); senggang’. 

Dalam aktivitas berbahasa kita sehari-hari, bukan berdasarkan kamus standar, kata lenggang atau melenggang ini maknanya kira-kira adalah berjalan dengan santai dan berlenggak-lenggok ke sebuah tempat. Misal, “Ia melenggang saja pergi ke pasar, tidak sadar dompetnya tertinggal di rumah”. Kata lenggang tidak menampilkan kesan berat dan sulitnya di perjalanan untuk dapat sampai ke tempat yang dituju. Kata lenggang mengesankan perjalanan yang ringan, semudah jalan-jalan sore saja. Kata ini cocok untuk menggambarkan seorang peraga mode cantik yang bergaya di atas papan catwalk dengan ringan dan mempesona. Padahal, terlepas dari kabar adanya praktik ilegal seperti politik uang, nyatanya para calon anggota DPR ini begitu keras berusaha. Ada yang stres dan bertindak tidak lazim gara-gara mengingat betapa pengorbanan begitu besar ternyata tidak membuatnya jadi anggota DPR. Kata lenggang atau melenggang ke Senayan, setidaknya bagi diri saya sendiri, terasa mengecilkan usaha mereka itu. 

Saya tidak tahu mengapa makna kata lenggang antara pengguna bahasa dengan kamus itu bisa berjalan sendiri-sendiri tanpa pernah dipersoalkan. Itu yang saya tidak tahu mengapa. Tetapi saya tahu salahsatu penyebab makna yang bisa berjalan sendiri-sendiri itu karena antara kamus dengan pengguna bahasa jarang bertemu (baca : dibaca). Kamus itu ibarat sumur yang tak mungkin bisa mendatangi timba (pengguna bahasa). Timbalah yang mendatangi sumur. Nah, di sisi lain, kita sudah terbiasa melihat warga biasa, sebutlah mereka rakyat biasa, tidak membaca kamus. Mereka mungkin melihat kegiatan membaca kamus sebagai kegiatan bukan primer. Tetapi, jika yang tidak membaca kamus itu adalah pengelola media massa yang sehari-harinya bergumul dengan kata-kata dan berdampak luas terhadap bahasa masyarakat, kita menjadi khawatir. Khawatir apa? Khawatir kalau pemegang otoritas di bidang kebahasaan, yaitu pemerintah ternyata kalah pengaruh dibanding media massa terkait bahasa. Memang, bahasa itu hidup dan dibesarkan oleh penggunanya, termasuk media massa sehingga kamus kadang “tunduk” dengan kecenderungan makna yang diberikan masyarakat atas sebuah kata. Persoalannya, kalau untuk urusan makna kata saja terjadi tarik – menarik antara media massa dengan pemerintah, yang menjadi korban adalah masyarakat. Misal, seorang pengendara sepeda motor menabrak pejalan kaki. Saksi mengatakan si pengemudi melenggang pergi setelah menabrak. Ketika di pengadilan, petugas hukum mengartikan lenggang/melenggang berdasarkan kamus. Kalau sampai ini terjadi, paling-paling kita mengatakan, “Ah, beda-beda tipis aja-nya  artinya. Gitu aja kok dibahas-bahas”.

Jika masih ada kata yang pas dan baku untuk menggambarkan keadaan, media massa harus menggunakannya. Media massa tidak bisa beralasan bahwa begitulah bahasa Indonesia ragam jurnalistik, yaitu tidak terlalu baku dan tidak pula terlalu longgar. Maka, satu hal terkait menggunakan kata melenggang ke Senayan ini, ada kata lain yang tetap bercirikan ragam bahasa jurnalistik dan lebih patuh kaidah. Misalnya berhasil melangkah ke Senayan. Kata ini juga tidak terlalu tepat, namun masih lebih tepat dibanding berhasil melenggang ke Senayan.***

()

Baca Juga

Rekomendasi