5 Alat Musik Tradisional Batak Punah

Dolok Sanggul, (Analisa). Sedikitnya ada lima alat musik tradisional Batak Toba yang masuk dalam kategori kepunahan. Kepunahan dari alat musik tersebut disebabkan sulitnya menemukan orang yang mampu memainkannya. 

Ketua Program Studi Magister Pengkajian Seni dan Penciptaan, Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU) Irwansyah Harahap kepada Analisa, Selasa (10/6) mengatakan, kelima alat musik tersebut meliputi alat musik mengmung, talatoit, sagasaga, sordam dan arbab. Keseluruhannya secara umum dimainkan tunggal.

Kecuali mengmung kerap dimainkan bersama gondang hasapi. Penyelamatan dari sejumlah alat musik ini masih dapat dilakukan dengan kategori revitalisasi. Sebab dikawatirkan jika tidak dilakukan dari sekarang maka yang timbul kelak adalah merekonstruksi penggunaan dan pembuatan alat musik tersebut.

“Kalau dari kajian kita, kolonialisasi dan missionarisasi merupakan salah satu penyebab kepunahan dari alat musik tersebut. Sehingga harus segera dilakukan revitalisasi sebagai upaya penyelamatan dari alat musik yang kita kategorikan punah,” terangnya.

Irwansyah juga mengatakan, pada prinsipnya kelima alat musik tersebut merupakan kekayaan warisan yang cukup berharga. Sebab masing-masing alat musik memiliki fungsi sebagai media komunikasi. 

Seperti Mengmung yang merupakan alat musik pukul terbuat dari bambu. Alat musik ini hampir menyerupai suara gong. Sementara talatuit, sordam dan sagasaga juga alat musik batak yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan meniup. 

Sementara yang terakhir yakni arbab merupakan alat musik dengan menggunakan senar atau tali dan dimainkan dengan digesek. “Kalau yang total sama sekali tidak kita temukan di Indonesia adalah arbab, namun di salah satu museum di luar negeri saya pernah melihatnya. Tidak ada lagi yang dapat memainkannya,” ujarnya.

Kajian

Irwansyah juga menjelaskan, upaya merevitalsiasi sejumlah alat musik tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kajian, mendokumentasikan serta melakukan sejumlah kegiatan akademis. “Sehingga warisan alat musik tersebut dapat diselamatkan,” katanya. 

Maestro Batak Marsius Sitohang membenarkan, banyak dari alat musik tersebut tidak pernah dimainkan lagi. Terlebih saat ini alat-alat musik tersebut sudah jarang diperdengarkan dan dilihat oleh masyarakat umum. 

Bahkan Marsius sendiri yang saat ini menjadi dosen kehormatan musik tradisi di USU mengaku ada dari beberapa alat musik tersebut tidak pernah dilihat sama sekali. Seperti arbab. “Sehingga kita berharap ke depan ada upaya penyelamatan dari alat-alat musik tersebut,” ujarnya. 

Pemain musik batak lainnya Hardoni Sitohang mengatakan, upaya revitalisasi yang ada saat ini baru dilakukan oleh Pemkab Humbahas. Itupun belum menyeluruh untuk keseluruhan alat musik. Salah satu upaya revitalisasi yang dilakukan Pemkab Humbahas adalah ketersediaan sarune etek yang saat ini menjadi bagian dari inventarisasi daerah dalam pengadaan musik tradisi.

“Sementara kabupaten lain tidak ada, sehingga selain kelima alat musik tadi, sarune etek juga kita kategorikan sebagai salah satu alat musik yang berada diambang kepunahan jika tidak dilakukan revitalsiasi sejak dini,” ujarnya. 

Hardoni juga mengatakan, dari segi penggolongan musik tradisional batak dibagi dalam empat golongan esembel. Pertama esembel ende yang kerap dilakukan dengan mengumandangkan lagu-lagu ratapan atau yang disebut andung-andung. 

Sementara yang kedua adalah esembel musik gondang sabangunan yang merupakan penggunaan alat musik batak berupa tagading, gordang, odap, ogung dan sarune. Kemudian gondang hasapi meliputi, hasapi ende-hasapi doal–garantung, sarune etek. Kemudian yang terakhir adalah musik instrumen tunggal. 

“Dan yang umum yang hilang adalah musik tunggal ini. Sehingga kita berharap dapat melakukan revitalisasi sebagai penyelamatan,” ujarnya. 

Pembelajaran

Dosen Pascasarjana USU lainnya Rita Hutajulu mengatakan, kepunahan juga disebabkan tidak adanya pembelajaran terhadap generasi dalam pengembangan musik tradisi. Selain itu banyak dari pengguna musik tradisi dianggap sebagai komunitas kuno. Padahal dari segi akademisi dan hiburan musik tradisi adalah musik yang banyak menyimpan nilai serta dapat dikembangkan dalam kebutuhan hiburan di saat sekarang ini. 

“Kita dengan sejumlah komunitas sudah melakukan ini. Contohnya penggunaan musik tradisi dalam drama buku ende yang kita pagelarkan di beberapa tempat. Kita berharap perhatian terhadap musik tradisi ini dapat lebih dikembangkan lagi,” ujarnya.

Rita mengatakan, selain sejumlah alasan tersebut, pasar dari musik tradisi juga cenderung sudah semakin berkurang terutama di dunia hiburan. Kecenderungan saat ini masyarakat menyenangi musik-musik yang dapat dimainkan secara praktis dan dapat dibayar dengan harga murah. Sehingga peminat untuk mempelajari musik tradisipun semakin berkurang. 

“Coba kita bayangkan dalam salah satu acara pesta pernikahan adat batak, berapa biaya dikeluarkan untuk musik tradisi yang mengiringi pesta. Dari segi ekonomi hal tersebut sudah tidak wajar. Sehingga konsumen musik tradisi juga harus ikut mendukung pengembangan dari musik tradisi tersebut,” paparnya. 

Kepala Bidang Pariwisata Humbahas Nelson Lumbantoruan mengatakan secara khusus Pemkab Humbahas saat ini telah melakukan upaya revitalisasi untuk sejumlah alat musik tradisi dengan memasukkan pembelajaran alat musik tradisi tersebut dilingkungan sekolah.

“Kalau pengembangan terhadap musik tradisi terus kita lakukan, bahkan kegiatan-kegiatan dan agenda besar daerah selalu mempertontonkan musik tradisi,” jelasnya. (ph)

()

Baca Juga

Rekomendasi