Oleh: Mihar Harahap. Terus terang, saya sengaja datang ke Lomba Berdendang Syair Sumut oleh Balai Bahasa Medan, baru-baru ini, untuk melihat tiga hal. Pertama, apakah syair adalah puisi lama Indonesia. Kedua, apakah peserta dendangkan syair sesuai lagu daerahnya. Ketiga, bagaimana peserta menampilkan dendang syair itu di hadapan penonton.
Ternyata, hal pertama adalah benar. Peserta mendendangkan syair dari puisi lama Indonesia. Rupanya, syair itu, memang disediakan panitia. Syair Nasehat Kepada Anak karya Raja Ali Haji, Syair Perahu dan Syair Burung Unggas karya Hamzah Al-Fan-suri dan Syair Bahtera Keselamatan karya K.H.Abdullah bin Nuh.
Alhasil, penelusuran kita, apakah peserta ada atau tidak menyimpan/menemukan syair di daerahnya sendiri menjadi tertunda. Jangan-jangan panitia membatasi cuma syair yang disediakan saja. Padahal, syair itu telah berkembang sejak masuknya agama Is lam di Indonesia. Bahkan memasyarakat dalam kehidupan orang Melayu.
Itulah sebabnya, kita ingin mendengar syair dari daerah (syair lama, baru, dewasa ini). Mungkin dari Binjai, Langkat, Medan, Deliserdang, Sergei, Tebing Tinggi, Asahan, Tanjungbalai, Rantau Prapat dan lainnya. Sayang, jangankan mendengar syairnya, pesertanya pun kurang. Hanya enam peserta untuk tingkat Sumut.
Lebih parah lagi, hal kedua dan ketiga, pun tak saya peroleh. Peserta tidak mendendangkan syair sesuai lagu yang berkembang di daerahnya, kecuali ha-nya selendang delima. Lagu ini bersifat umum, di mana-mana daerah ada. Di masa kanak dahulu, saya justru mendengar lagu itu dari siaran radio Malaysia.
Ada satu peserta dari Asahan. Itupun membawakan lagu senandung Tanjungbalai malah dicampur qasidah. Biasanya satu lagu per daerah. Hanya di Langkat, kabarnya, ada empat. Ada lagu dodoi (emak menidurkan anak), dedeng (nelayan memanggil angin), daduh (keluhan jiwa orangtua/anak) dan nandung (pekebun mengambil nira).
Mengapa lagu-lagu daerah ini tak muncul? Saya kira panitia tak membatasi lagu. Mungkinkah lagu-lagu itu sudah tak dikenali generasi muda. Kalau benar begini, alamat dendang syair akan punah. Lalu, siapa yang bertanggungjawab? Apakah masyarakat, pe-merintah atau keduanya, karena tak melestarikan kekayaan budaya daerah.
Bagaimana dendang syair ketika ditampilkan di atas pentas dan di hadapan penon ton? Bahwa peserta tidak memanfaatkan teknik tampil, misalnya secara dramatik. Mulai naik pentas, berdendang syair hingga turun pentas, biasa-biasa saja.Cuma fokus pada teks dan dendang syair, seakan takut salah, sangat terikat dan serba kaku.
Padahal bila kita amati syair yang disediakan panitia, maka syair lama dari penya-ir terkenal itu, sangat mungkin untuk mendramatisasi tunggal. Misalnya secara sederhana Syair Nasehat Kepada Anak karya Raja Ali Haji. Dengan kostum, rias, ekspresi, duduk di bangku/lantai, kelihatan berakting orangtua sedang menasehati anak.
Kalau sudah begini, apa jadinya? Bermanfaatkah lomba? Beranikah panitia mele-pas sang juara untuk mengikuti lomba yang sama pada tingkat nasional di Pekanbaru? Maaf, kalau saya katakan panitia tak serius membidani lomba yang langka ini. Sangat tak relevan antara pelaksanaan dengan isi pidato pembukaan acara lomba.
Rupanya, selain Medan/Sumut, lomba ini juga diadakan oleh kantor/balai bahasa wilayah Sumatera yakni Lampung, Sumsel, Padang, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, Pekanbaru, Kepulauan Riau dan Aceh. Dilaksanakan dalam rangka merayakan Pekan Bahasa dengan tema sentral kemelayuan dalam perspektif budaya global.
Mengutip isi pidato Hj Dr. T. Syarfina, M. Hum, Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumut (dibacakan yang mewakili) ada empat hal yang menarik sekaligus menguatkan dasar lomba. Pertama, Kegiatan ini merupakan hasil diskusi Badan Pengembangan dan Pembi-naan Bahasa untuk merevitalisasi kekayaan budaya Melayu.
Kedua, kegiatan ini dilaksanakan untuk mengenalkan kembali kekayaan budaya Melayu kepada masyarakat. Ketiga, hilangnya atensi generasi muda kepada budaya Melayu ini, karena kecenderungannya terhadap budaya pop. Keempat, padahal kekayaan itu memiliki nilai etika dan estetika penguatan kebhinekaan.
Saya sepakat dengan isi pidato ini. Dasar lomba adalah merevitalisasi kekayaan budaya Melayu, mengenalkannya kembali, mencegah pengaruh budaya pop dan merebut ulang nilai-nilai etika dan estetikanya. Kekayaan budaya Melayu itu, misalnya dendang syair, meski hanya dalam bentuk lomba. Tentu tak berhenti di sini.
Peran panitia menurut dugaan saya hanyalah mendistribusikan pengumuman lomba, itupun tak berhasil. Terbukti hanya enam peserta untuk tingkat provinsi. Perlu dievaluasi, panitia yang tak jemput bola (mengingat acara langka) atau masyarakat Melayu yang acuh terhadap lomba. Bukankah Bu Syarfina orang Melayu yang ramah.
Membuat/menyediakan pentas di halaman kantor, lumayan bagus. Mengundang juri, walau ada juga dari panitia (semoga objektif) dan menyediakan naskah/teks puisi berupa syair terkenal. Saya tak tahu, apakah boleh di luar naskah tersedia. Setelah itu, mungkin menyediakan hadiah, termasuk memfasilitasi ke Pekanbaru.
Panitia belum masuk membidani acara lomba. Bukan mengajari limau berduri, karena Balai Bahasa adalah lembaga profesional di bawah pemerintah berkuasa. Setidaknya mampu merelevansikan isi pidato dengan isi kegiatan. Isi pidato dapat dipertangungjawabkan, tidak ateoretis, seremonial dan asal bunyi saja.
Di sinilah perlunya teknikal miting kepada peserta. Terpenting, misalnya, sebagai peserta mampu dendangkan syair jenis selendang delima. Untuk menang, harus mampu dendangkan syair sesuai ciri khas lagu daerahnya. Dari sistem ini akan diketahui apakah dendang syair daerah itu masih ada, eksis, berkembang atau tidak.
Tidak berhenti di situ, dalam artian harus ada pembinaan dan pengembangan dari Balai Bahasa Medan. Katanya mau merevitalisasi, mengenalkan kembali, mencegah peng aruh budaya pop serta merebut nilai etika dan estetika dendang syair sebagai kekayaan bu daya Melayu. Kita akan lihat sejauhmana usaha baik ini dilakukan.
Terpenting lain, persoalan penampilan di hadapan penonton. Biasanya den- dang syair itu tidak dipertontonkan. Dia merasuk ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu dan masyarakat etnis lainnya. Saya kira pada masyarakat Batak, Aceh, Padang pun ada, walau namanya berbeda. Barangkali perlu penelitian.
Mau tak mau, peserta harus mampu menguasai unsur-unsur dramatik tunggal, seperti akting, ekspresi, bloking, improvisasi, pengaruh efek, kostum, rias, musik dan seba-gainya. Penampilan peserta, tidak saja dapat dinikmati sebagai pertunjukan, na- mun dapat pula melarutkan makna syair ke dalam penghayatan penonton.
Penulis Kritikus Sastra, Ketua FOSAD, MPR OOS, Dosen UISU