Jauh sebelum Puisi Kau Sekap dengan Korupsi

Damiri Mahmud. Dalam ruang Rebana ini (18 Mei 2014) diturunkan tiga puisi Alex R. Nainggolan yang menarik untuk disimak. Terutama dalam puisi “Jauh Sebelum Kata”, Alex menggoretkan tentang kehidupan manusia sehari-hari. Hal-hal yang rutin seperti ini, “membenahi kursi di ruang makan atau seprai di kamar anak yang sering terlepas”. Tuntutan atau permintaan yang lumrah juga dalam sebuah keluarga, “tentang masa depan anak-anak, atau saldo tabungan yang menipis”.

Puisi ini mungkin tidak akan berarti apa-apa atau luput dari perhatian kita. Akan tetapi dia menjadi sesuatu yang unik apakala Alex membuka puisi itu dengan ungkapan yang tidak biasa, “jauh sebelum kata datang dalam puisi…” Idiom ini tentu mengganggu atau mengusik kita untuk menelusuri apa sebenarnya isi atau kandungan puisi ini.

Bentuk puisi ini dapat disebut “sajak prosa” (poetic prose). Puisi yang ditulis dalam ragam prosa tetapi memperhatikan matra, menjaga pola irama dan rima. Suatu bentuk yang disukai oleh para penyair Pujangga Baru, tapi kemudian ditinggalkan oleh Angkatan 45. Bentuk ini tampak menjadi trendi sekarang ini.

Meskipun dikatakan sebagai “sajak prosa” namun dalam banyak puisi yang kita baca, tingkat kerumitan untuk mengapreasisinya luar biasa. Seakan antara satu ungkapan ke idiom yang lain tidak nyambung.Hampir tak dapat kita cari hubungan sintaksis atau semantiknya. Teringat satu esai yang ditulis Sori Siregar di Horison, dia pun mengalami hal yang sama. Karena penasaran dia bertanya kepada redaktur yang memuatnya. Ternyata Sang Redaktur pun buka tangan. Dengan enteng dia bilang, penyairnya kan sudah terkenal. Biarlah dia saja yang mempertanggungjawabkan hal itu.

Puisi yang kita hadapi ini tidaklah demikian. Kata-katanya tampak mengalir dengan irama dan makna yang terjaga. Berselang-seling di antara lanskap, suasana hati dan pemahaman, serta “pertarungan” antara “engkau” dan “aku”.

jauh sebelum kata datang dalam puisi, engkau pasti akan kembali,

membenahi letak kursi di ruang makan,

atau seperai di kamar anak yang kerap terlepas. lalu

menyiapkan tubuhku, dipagi hari. menyayat segala

ketakutanku dengan senyuman manis, dan segelas kopi

lalu mengusir sunyi agar segera berkemas di atas

kepala. jauh sebelum kata datang, kau akan

mengenangkan sebuah ingatan. tentang masa depan

anak-anak, atau saldo tabungan yang menipis, aku akan

memhampiri tubuhmu, menyimpan semangat agar

senantiasa hangat. meski tanpa dekapan selimut, tapi

cukup lelahmu yang kurampas. supaya pagi tak mals

menghampiri tubir halaman rumah ini.

Pertarungan antara “aku” dan “engkau” nyaris tak kelihatan. Karena si aku tenggelam atau terseret dalam kehendak atau konsepsi si engkau. Siapakah aku dan siapa engkau. Ini tidaklah penting benar. Dalam puisi tampak diisyaratkan kepada hubungan suami isteri. Tampaknya si aku seorang yang idealis sementara engkau sangat pragmatis.

Idealisme si aku hanya ditandai oleh satu gagasan yang belum sempat muncul atau terwujud. “Jauh sebelum kata datang dalam puisi”. Puisi, dalam konteks ini, melambangkan konsep, ide, cita-cita, yang ingin dipraktikkan oleh si aku. Namun “sebelum kata datang”, sebelum menjadi embrio atau janin, dia telah ditelan oleh pragmatisme si engkau. “Engkau pasti akan kembali membenahi letak kursi di ruang makan, atau seprai di kamar anak yang kerap terlepas. Lalu menyiapkan tubuhku, di pagi hari. Menyayat segala ketakutanku dengan senyum manis. Dan segelas kopi lalu mengusir sunyi agar segera berkemas di atas kepala.”

“Menyiapkan tubuhku”. Ungkapan ini begitu kuat dan sugestip. Di sini si aku sangat sadar “dikerjai” oleh si engkau. Si aku tampak membiarkan dirinya. Menyerah kepada gagasan atau pragmatisme si engkau. Si aku pun tahu cara atau senjata si engkau. Bagaimana cara menaklukkannya. Yaitu “menyayat segala ketakutanku dengan senyum manis.” Si aku sebenarnya takut atau tak bersedia dengan pragmatisme si engkau. Tak berdaya dengan senjata si engkau berupa senyuman manis.

Dengan senyuman manis si engkau yang menyugukan jasa berupa segelas kopi, terusirlah sunyi si aku. “Sunyi” di sini adalah symbol idealisme si aku. Sunyi adalah modal utama menciptakan puisi. Sebagaimana disebutkan tadi, “puisi” itu adalah dunia si aku. Berupa cita-citanya, gagasan-gagasannya, hidup dan kehidupannya. Dengan senyuman manis dan segelas kopi terusirlah “sunyi”. Pada gilirannya berkemas-kemaslah pragmatisme si engkau berupa kehendak yang telah diaturnya secara cermat. “Tentang masa depan anak-anak, atau saldo tabungan yang menipis.”

Kehendak si engkau tentang masa depan anak-anak atau masalah tabungan tentulah bukan suatu yang tercela. Dalam hal ini, tersirat bahwa si engkau memaksakan kehendaknya, sehingga si aku bertekuk lutut. Ungkapan “menyiapkan tubuhku” di atas sungguh sangat sugestip. Bahwa si aku harus patuh terhadap rencana yang telah diatur oleh si engkau. 

Dengan adanya pemaksaan atau penekanan ini, apa lagi dibumbui dengan “senyum manis”, menyiratkan tatacara yang ditempuh untuk menggemukkan “saldo tabungan yang menipis” tak lagi penting. Artinya, cara apapun boleh ditempuh asal saldo tabungan menjadi gemuk!

Sampai di sini, kita menjadi tahu arah yang ditembak oleh penyair. Korupsi. Inilah bahasa sastra itu. Dia tak menyebutkan secara eksplisit. Hanya menyiratkan. Kitalah atau pembacalah yang harus menyingkapnya. Dari siratan dan kilatan yang dipantulkannya, kita akhirnya tahu maksud atau makna puisi.

Di sini disarankan, segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat atau sebuah Negara, bermula dari rumah tangga. Kalau penghuni satu rumah tangga harmonis, apa yang disiratkan oleh penyair dalam puisi ini tidak akan terjadi. Suami atau kepala rumah-tangga hendaknya menyiapkan “kata” yang akan menjadi “puisi”, tanpa diganggu oleh “senyum manis” untuk “menyiapkan tubuhku”. Ibu rumah-tangga haruslah memahami fungsinya. Sehingga dia tak perlu melakukan ekspansi sedemikian rupa. Memberondong “sebelum kata datang dalam puisi”. Kita teringat ujaran bijak: Untuk melihat hancur-tegaknya sebuah Negara, lihatlah tingkah-laku kaum perempuannya.

Kedengarannya klasik. Sesuatu yang klasik belum tentu kuno. Tak dapat tempat lagi untuk dilaksanakan. Lagi pula, seperti dikatakan di atas, hubungan si aku dan engkau dalam puisi itu, tak penting benar apa dan siapanya. Paradigma aku-engkau itu dapat kita perluas menjadi dua-sahabat, kolega sekantor, majikan-bawahan dan seterusnya. Dengan begitu apa yang dewasa ini dikatakan sebagai korupsi jamaah itu menjadi mungkin dan punya alasan kuat.

Korupsi yang kini marak di negeri ini selalunya hasil persekongkolan aku-engkau itu. Hasil kolusi. Jarang sekali dia berdiri “single-fighter”. Tertangkapnya Nazaruddin menyeret Andi Mallarangeng, mendepak Anas Urbaningrum dan seterusnya. Demikian juga kasus Century apabila dikuak dengan fair, tentu akan melibatkan para petinggi yang memelototkan mata. Kasus Surya Dharma Ali pun tak mungkin dilakukan oleh seorang aktor-tunggal. 

Sangat disayangkan, terseretnya sang aku, seperti tampak pada puisi ini. Aku yang pada mulanya polos, punya idealisme, harus tenggelam. Terperangkap dalam “senyum manis”. Orang-orang seperti ini harus diselamatkan. Walaupun jumlahnya sedikit tapi pasti ada. Mereka harus dilindungi. Harus dikarantina. Caranya tentu dengan memangkas penyebab korupsi itu tanpa pilih kasih. Tanpa tebang-bambu, tapi tebang-tebu!

Melihat fenomena negeri ini, semua jala telah berlubang, kehendak ini kedengaran terlalu muluk. Tak ada sesuatu yang tak mungkin. Kita melihat misalnya, China dan India bisa keluar dari kemelut itu. Kini mereka diperhitungkan sebagai negeri raksasa yang punya landasan ekonomi yang kuat.

Keorisinalitas dan kebaruan

Cerpen yang baik ialah cerpen yang menawarkan keorisinalitas serta kebaruan, baik ide atau segmen yang ditawarkan. Dalam beberapa kasus yang pernah penulis jumpai, dan juga ketika penulis menyempatkan diri sebagai trainer menulis fiksi secara online, banyak calon penulis yang tidak memiliki ide orisinal. Mereka hanya menulis berdasarkan suatu cerita atau tokoh yang mereka idolakan. Ada yang meniru nama serta setting dari cerita lain secara terang-terangan dan ada juga yang sedikit mengubah nama serta setting, tetapi masih dengan konsep yang sama persis. Secara umum, tulisan demikian lebih cocok dikategorikan sebagai fans fiction.

Fans fiction umumnya sering ditulis oleh para pencinta karya manga/ klasik dari Jepang, Korea, atau Tiongkok. Di Jepang, sejumlah judul fans fiction juga dapat diterbitkan dan dijual kepada sesama fans. Hal ini tidak berlaku di Indonesia.

Baik ide atau segmen dari sebuah cerpen, hendaknya diupayakan hadir dengan konsep yang baru. Setidaknya cobalah agar cerpen tidak terkesan klise -gagasan yang terlalu sering dipakai atau berupa hasil tiruan- semisal si A mati ditabrak truk, seseorang tiba-tiba menepuk bahu si B dari belakang, atau telepon berdering tepat ketika C baru melangkah masuk.

Penutup

Tiada tip maupun teori yang lebih berarti dari praktik langsung. Bila memiliki ide dan tema, realisasikanlah menjadi sebuah cerpen. Secara ringkas, perlu diperhatikan, enambelas poin penting berikut; ide; tema; judul; nama tokoh; alur; outline; setting; penokohan; dialog; pemilihan kata; tanda baca; penyampaian; konflik; klimaks; keorisinalitas; dan yang terakhir ialah kebaruan.

Dalam kondisi tertentu, ketika seorang penulis terlanjur larut dalam cerita itu sendiri -di saat tengah menuliskannya- pandangan si penulis menjadi tidak objektif, dan sulit menemukan kekurangan dari cerpen tersebut. Mungkin juga, ada sejumlah poin dari keenambelas poin di atau yang terlewatkan. Untuk itu, biasakanlah diri untuk mengecek dan membaca ulang beberapa kali sebuah cerpen.

Mei, 2014

()

Baca Juga

Rekomendasi