Heru Maryono. Zaman sekarang orang bebas bepergian tanpa takut tersesat. Hal ini berkat keakuratan sistem pemetaan yang dilengkapi dengan koordinat, berupa persilangan garis lintang dan garis bujur bumi. Komputerisasinya dalam piranti GPS (Global Positioning System) yang dapat diakses melalui internet, semakin memberi kemudahan dan kecepatan bila sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melacak yang tersesat.
Secara kreatif, seniman Swedia bernama Erik Nordenankar (dengan mencarter pesawat terbang) memanfaatkan piranti GPS untuk menggambar di udara (dan disebut GPS Drawing Full). Sesuai dengan jalur penerbangan yang ditempuh, alurnya (sinyal GPS) membentuk gambaran manusia. Ukurannya pun mendunia. Oleh karena itu diklaim sebagai Biggest Drawing in the World.
Memanfaatkan sarana pemetaan (piranti GPS) untuk menggambarkan obyek tertentu (manusia). Sejalan dengan pemanfaatan gugusan bintang, untuk pemetaan (pada zaman dulu. Khususnya untuk fungsi penunjuk arah saat melaut di malam hari dan menentukan musim tanam) yang diwujudkan (dalam arti diangankan untuk selanjutnya dipatungkan) berupa manusia maupun binatang (seperti dijumpai dalam kebudayaan Yunani Kuno). Keberadaannya dimitoskan sebagai dewa. Pemujaannya sama artinya mentaati rambu-rambu arah dan musim dalam menjalani kehidupan agar tidak tersesat atau gagal panen.
Memang, segala sesuatu dapat dijadikan petunjuk. Kapasitasnya sebagai clue, didefinisikan petunjuk tanpa sumber referensi. Artikel ”Menelusuri Danau Kaldera Toba dengan Perspektif Kebudayaan”, tulisan Juhendri Chaniago, di kolom Rebana, harian Analisa, 25 Mei 2014, juga dapat dimanfaatkan sebagai petunjuk. Bagian yang menjadi petunjuk, terbaca dari pertanyaan yang dikutip penulis berikut ini.
”Misalnya, seperti apakah ’apresiasi budaya’ manusia yang hidup pada zaman ketika dahsyatnya erupsi supervulcano Toba itu terjadi”? Terus terang, pertanyaan ini menjadi petunjuk untuk menghubungkan asap membumbung tinggi erupsi Sinabung dengan tongkat Tunggal Panaluan dari artifak budaya Batak Toba. Keduanya memiliki persamaan pola. Kecil di bawah dan membesar di atas.
Terlepas dari penuturan Togu Sinambela (seniman Medan). ”Itu sebenarnya melambangkan hukuman akibat incest (perkawinan keluarga)”. Bagi penulis, secara fisik yang terlihat rangkaian figur bersusun. Keistimewaannya lagi, dijumpai (penulis ketika ke Samosir tahun 2007) ada jenis yang menampilkan figur paling atas mengendarai hewan bertanduk dengan kedua tangan memegang tanduk.
Meminjam tampilan visual wayang kulit (karena kesulitan mencari pertautan dengan mitos Batak). Batara Guru (Siwa) juga digambarkan berkendaraan (berdiri di atas) lembu (Nandi). Lumpuh (oleh karena itu ditopang Nandi) tetapi memiliki kekuatan maha dahsyat. Kontradiksinya serupa danau Toba. Kelihatannya (seperti) danau yang tenang (dan menyejukkan), tetapi menyimpan potensi maha dahsyat erupsi Gunung Toba. Karenanya, jangan biarkan permukaan air Danau Toba terus menyusut. Siapa tahu? Bisa memunculkan perangai asli kaldera Toba yang panas membara.
Mengalegorikan (alegori dari serapan allegory, artinya simbol figuratif atau simbol berwujud manusia, oleh karena itu kata mengalegorikan dapat diartikan memanusiakan) erupsi Toba sejalan dengan memanusiakan gugusan bintang menjadi sosok dewa (berwujud manusia) dalam mitos Yunani Kuno. Re-interpretasinya (tafsiran tahap lanjut) menghasilkan asumsi, figur bersusun adalah skala erupsi gunung. Paling bawah, erupsi kecil. Bagian tengah, erupsi sedang. Paling atas, erupsi dahsyat.
Re-interpretasi tahap lanjut (re-interpretasi terhadap hasil re-interpretasi di atas), menghasilkan alegori migrasi (peta penyebaran) orang Batak. Figur paling bawah, alegori bagi yang tetap tinggal di Tanah Batak. Figur di atasnya, alegori bagi yang bermigrasi di wilayah Sumatera Utara. Figur di atasnya lagi, alegori bagi yang bermigrasi di pulau Sumatera (di luar wilayah Sumatera Utara). Paling atas, mengalegorikan perantau jarak jauh. Untuk wilayah NKRI, lokasi paling jauh bila diukur dari Sumatera adalah Papua. Sekalipun berseberangan dari ujung ke ujung, (khabarnya) banyak orang Batak merantau, hingga ke Papua. Seolah-olah ini peringatan. Radius jarak aman erupsi gunung Toba, pergi meninggalkan pulau Sumatera sejauh-jauhnya. Seperti kisah dalam film ”2012”.
Di sisi lain, ’panggilan’ untuk menjadikan Papua sebagai ”Daerah Tujuan Merantau”, seperti ada tarikan medan magnetik untuk sebuah proses merefleksikan (mencerminkan) diri. Bila di Sumatera (Tanah Batak) ada (tongkat) figur bersusun, ternyata figur bersusun juga ada di Papua. Bukti keberadaannya dijumpai pada patung Asmat, berupa Ancestral Pole (pola Sekumpulan Nenek Moyang yang diatur bersusun identik dengan figur bersusun) atau (juga disebut) Bisj Pole. Tambahan informasi, ukiran kayu Asmat disebut Ipitsj. Nama lengkapnya Wow Ipitsj.
Tidak ada salahnya, bila pencerminannya dipandang sebagai saudara kembar. Penegasannya, figur bersusun di Pulau Sumatera (sebagai wilayah NKRI di bagian ujung Barat), ternyata memiliki saudara kembar di Papua (sebagai wilayah NKRI di bagian ujung Timur). Ini sama artinya, di setiap ujung wilayah NKRI dijaga oleh figur bersusun.
Sepatutnya fakta ini diperjuangkan untuk direalisasikan. Bila diperkenankan mengusulkan, cara yang hebat membangun Menara Kembar. Seperti Menara Kembar Petronas di Malaysia. Pilihan lokasi yang cocok adalah tempat keberadaan etnik Batak dan Asmat. Dengan demikian, terdapat dua Menara Kembar identik. Masing-masing di Sumatera dan Papua. Menara dimaksud merupakan replika Bisj Pole dan tongkat Tunggal Panaluan yang telah dimodifikasi menjadi menara. Oleh karena itu, keberadaan keduanya yang berdiri berdampingan dapat disebut ”Menara Kembar Figur Bersusun”. Keduanya diberdayakan untuk museum Asmat dan Batak, serta informasi pengukuhan figur bersusun sebagai batas kedaulatan NKRI (dan tentu pada masa itu sudah diresmikan Presiden RI).
Contoh konkrit model ’Menara Kembar Figur Bersusun’ telah dibangun di halaman depan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Medan (Unimed). Ada perbedaan dalam ukuran. Sekalipun menjulang tinggi, untuk disebut menara ukuran diameternya kecil dan sifatnya masif (padat). Oleh karena itu lebih sesuai bila disebut tiang dan rangkaian kedua patung yang berdiri berdampingan dianggap cocok bila diberi nama ”Patung Tiang Kembar”.
Ciri yang melekat pada corak patung menunjukkan identitas pola yang mengacu pada artifak budaya Batak. Tidak seperti Menara Kembar Petronas yang menampilkan bentuk identik antara menara sebelah kiri dan sebelah kanan. Persamaan tiang menjulang tinggi dalam ’Patung Tiang Kembar’, tidak diikuti dengan persamaan motif kedua patungnya.
Sebelah kiri menampilkan figur bersusun (Tunggal Panaluan) dari pangkal hingga ujung atas. Sebelah kanan berupa patung yang masuk rumpun column sculpture atau column statue (patung yang ditempatkan atau didirikan di atas tiang berbentuk silinder). Bila patung di atas column (tiang silindris) berupa pengendara kuda (equestrian), namanya juga disebut column equestrian. Sebagai contoh, Column Justinian. Demikian pula patung sebelah kanan, juga bertipikal seperti ini.
Kelaziman patung equestrian (di Eropa) dimanfaatkan untuk mengagungkan ksatria penakhluk. Kesetaraan dayanya juga dimiliki column equestrian dalam ’Patung Tiang Kembar’, atas perannya sebagai replika (bisa diartikan delegasi) Tungkot (tongkat) Malehat. Bedanya, pemanfaatannya untuk menakhlukkan roh jahat yang mengganggu keamanan warga. Column equestrian ini pun juga dapat disertakan kehadirannya dalam ’Menara Kembar Figur Bersusun’, atas perannya sebagai pengawal dari gangguan Separatisme (sebagai kata ganti roh jahat) terhadap ikatan persaudaraan figur bersusun.
Pencetus pembuatan patung, Drs. Mangatas Pasaribu, M. Sn. Karena itu dapat dikatakan, keberadaan ’Patung Tiang Kembar’ di Unimed, sekaligus mencerminkan migrasi di wilayah Sumatera Utara. Seperti tertuang dalam tafsiran (re-interpretasi) terhadap pengalegorian figur bersusun tersebut di atas. Di sisi lain, dalam kapasitasnya selaku dosen di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS, Unimed, secara kelembagaan aktivitasnya sebagai pembuktian kemampuan akademis dalam merancang patung. Juga kemampuan pembimbingan dalam mewujudkan patung yang melibatkan mahasiswa, hingga kemampuan berkonsolidasi terhadap keterlibatan ahli konstruksi dalam penempatan patung secara permanen di halaman kampus FBS, Unimed.
Atas keberadaannya ini, patung pun berfungsi sebagai patung taman. Adapun prakarsa pengadaan patung taman atas inisiatif Dekan FBS, Unimed, DR. Isda Pramuniarti, M. Hum. Beliau berujar. ”Masak, Jurusan Seni Rupa tidak bisa menunjukkan karya seni patung yang dapat dinikmati di taman fakultas”.
Dalam teori Empati, isi pernyataannya mencerminkan sikap horror vacui. Merasa takut bila ada anggapan Jurusan Pendidikan Seni Rupa tidak ada apa-apanya. Hal ini sama artinya merasa takut berada dalam ruang kosong (horror vacui) yang juga tidak ada apa-apanya.
Prinsip yang sama juga berlaku dalam artikel ini. Merasa takut bila kesaktian tongkat Tunggal Panaluan sebagai pusaka yang sakral dianggap tidak ada apa-apanya. Sejalan dengan pandangan Dinamisme. Dalam setiap benda ada isi atau penghuninya. Demikian pula, dalam pusaka yang sakral juga ada isi atau penghuninya. Untuk catatan tambahan. Bila ada karya seni rupa ’berpenghuni’ menjadi menakutkan, artinya keberadaannya, memenuhi kriteria menyandang status terrible of beauty (keindahan yang menakutkan).
Dorongan menempatkan tongkat Tunggal Panaluan menjadi pusaka nasional, memandang perlu menambahkan isinya agar dihuni makna bertaraf nasional. Wow Ipitsj (pahatan Asmat) dari jenis Bisj Pole, dijadikan sarana penambah isinya. Silaturahminya membentuk simbiosis mutualistik, karena menjadikan kedua belah fihak mengambil peran sebagai lambang kedaulatan NKRI. Semoga direstui dalam persidangan DPR RI dan disyahkan Presiden.
Penulis, dosen senirupa Unimed