Idiom Batak dalam Sajak May Moon Nasution

Oleh: Budi Hatees. Saya terkejut, ketika menemukan sajak-sajak  May Moon Nasution di koran ini. Dari namanya, memakai marga Nasution.

Saya yakin, dia berasal dari sebuah lingkungan kebudayaan di Sumatra Utara. Lingkungan budaya Batak dari subkultur  Mandailing, yang wilayah penyebarannya kini menjadi Kabupaten Mandailing-Natal (Madina).

Saya akan menyebut orang Mandailing.

Dalam banyak diskusi kebudayaan di Sumatra Utara, orang Mandailing sering menolak disebut Batak.  

Almarhum Z. Pangaduan Lubis, sastrawan, peneliti kebudayaan,  juga tokoh Batak Mandailing,  punya banyak alasan untuk membenarkan penolakannya.  Meskipun, setiap alasan itu selalu bisa dibantah, terutama bila nilai-nilai budaya orang Mandailing dipadankan dengan nilai-nilai budaya Batak yang menyebar di wilayah Tapanuli bagian Selatan (Tabagsel).

Suku Batak terbagi atas banyak sub-suku.

Di wilayah Tabagsel,  yang berbatasan langsung dengan Sumatra Barat dan Riau, hidup sub-suku Batak Angkola dan Batak Mandailing.

Sebelum reformasi, kedua sub-suku ini hidup dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Pemekaran wilayah pasca reformasi membuat sub-suku Batak Angkola dominan tinggal di Kabupaten Tapanuli Selatan, sedangkan sub-suku  Batak Mandailing dominan di Kabupaten Madina.

Nilai-nilai budaya  Batak Angkola dengan Batak Mandailing nyaris tidak ada perbedaan.

Bahasa daerah masing-masing hanya dibedakan oleh dialek, dimana bahasa Batak Mandailing kuat dipengaruhi dialek Melayu.

Pembicaraan tentang suku Batak ini sangat penting dalam memahami sajak-sajak May Moon Nasution.  

Dalam Riau Pos edisi 13 April 2014,  ruang sajak memuat karya May Moon Nasution, penuh satu halaman.

Bagi saya ini luar biasa, terutama karena sajak-sajaknya bicara tentang kebudayaan Batak.

Sajak-sajak seperti ini nyaris tak pernah saya temukan pada karya para penyair di Sumatra Utara.  

Sebab itu, ketika membaca  sajak-sajak ini di Riau Pos, saya bertanya gejala apa yang sedang terjadi.

Kenapa sajak-sajak dengan konten lokal Batak yang begitu kental justru saya temukan di media yang lahir di lingkungan masyarakat Melayu (Kepulauan Riau), bukan di media cetak yang ada di Sumatra Utara.

Pada 1997, Thompson Hs, memulai keterlibatannya di dunia seni sebagai penyair dan kini lebih banyak mengurusi kesenian tradisional Batak, selalu bicara tentang kebudayaan Batak dalam sajak-sajaknya.

Cuma, belakangan, produksi sajak Thompson Hs agak jarang, dan saya nyaris tak pernah menemukan sajak-sajak barunya.

Para penyair di Sumatra Utara, cenderung tidak menulis tentang kebudayaan masyarakat lokal di sekitarnya.

Mereka malah ingin terlihat sebagai warga dari kelompok urban, penduduk perkotaan yang lebih banyak bicara tentang gaya hidup perkotaan.  

Tentu, kita bisa menyebut para penyair Sumatra Utara tidak memiliki apa yang membuat May Moon Nasution menulis tentang kebudayaan Batak.

Biografi singkat May Moon Nasution menjawab apa yang saya pikirkan.

Dia berasal dari Kabupaten Madina, kebetulan sedang berstudi di Pekanbaru, Riau.

Banyak generasi muda dari Kabupaten Madina yang melanjutkan studi ke Riau. Jaraknya dari Madina ke Riau lebih dekat bila dibanding kalau mereka melanjutkan studi ke Kota Medan.

Secara budaya, May Moon Nasution, orang Mandailing. Dengan sendirinya, ia bukan saja hidup dengan nilai-nilai Batak, tetapi nilai-nilai itu telah membentuknya sebagai orang Batak yang menetap di tengah-tengah masyarakat bukan Batak di Riau.  

Sebab itu, sajak-sajaknya yang kuat dengan konten lokal Batak bukan sebuah kebetulan.  

Sayang,  saya justru menemukan bahwa idiom-idiom Batak pada sajak-sajaknya hanya cantelan.  

Misalnya,  idiom Batak dalam sajak Panortor.  

Panortor berasal dari kata tortor. Kata ini berarti tari tortor - tarian tradisional masyarakat Batak.  

Kata tortor diberi imbuhan pa. Dalam tata Bahasa Batak, imbuhan “pa” berfungsi sebagai kata ganti orang.  

Kata panortor, berarti orang yang menarikan tortor.

Sajak Panortor dibuka dengan bahasa Batak: “tor  tor  tor mari hita manortor,  tor tor tarian  hami/so ulang lupa daganak nami, jati diri tano ni nami”.

Dengan pembukaan ini,  May Moon Nasution berusaha mengajak pembaca untuk memahami subtansi tortor dalam kebudayaan Batak.

 Cuma, pemakaian Bahasa Batak sangat keliru. Ada penggunaan kata “mari”. Kata ini tak dikenal dalam bahasa Batak. Kata “mari” berasal dari bahasa Indonesia.

Padanan kata “mari” dalam bahasa Batak adalah kata “beta” atau “keta”.  

Begitu juga  kata “jati diri”. Dalam bahasa Batak,  kata ini tak dikenal.  Makna “jati diri”  bisa diganti dengan kalimat surat tumbaga holing atau ompunta dan lain sebagainya.

Pada alinea kedua, sajak tersebut  memakai idiom bahasa Batak: menarilah, menyanyilah! si nanggar tulo tulo a tulo/memberilah, memberkatilah! mari malehen na poso-poso.  Kalimat  “si nanggar tulo tulo a tulo”  merupakan potongan lagu tradisional dan lagu ini tidak pernah dipakai untuk tortor resmi seperti acara adat untuk memberkati.  

Dua alinea pertama dari sajak ini,  kentara ada yang lemah dari pemahaman May Moon tentang tortor sebagai karya seni budaya Batak.  

Tortor merupakan bagian dari seremoni adat, dan dia acap dipakai untuk mengekspresikan psikologi dari penarinya juga kondisi lingkungan. Saat pesta perkawinan (siriaon), penari akan menarikan totor yang menceritakan kebahagiaan. Saat pesta kematian (siluluton), penari akan menarikan tortor yang mengekspresikan rasa kehilangan dan duka atas kematian.

Sajak-sajak lain yang memakai idiom Batak seperti Butet,  Mata Begu dan Pengusir Begu.  

Seperti halnya sajak Panortor,  idiom Bahasa Batak hanya cantelan.  

Tanpa idiom-idiom itu, sajak sesungguhnya sudah bicara banyak.  Masuknya idiom itu justru merusak keutuhan makna dari sajak-sajak tersebut.

Sebuat saja idiom butet (panggilan untuk anak perempuan), nantulang (dari kata inang tulang, yakni istri dari tulang), tulang (panggilan untuk mertua laki-laki), inang (ibu)  dan amang (ayah) dalam sajak Butet.

Kata butet bisa disejajarkan dengan kata upik di lingkungan masyarakat Minangkabau.

Kata butet dipakai sebagai panggilan anak perempuan, sedangkan anak laki-laki dipanggil ucok.

Bagi pasangan suami istri,  seorang suami acap memanggil istrinya dengan butet sebaliknya seorang istri memanggil suaminya dengan ucok.  

Panggilan mesra ini berhubungan erat dengan posisi anak dalam rumah tangga Batak. Suami representasi dari anak laki-laki, sedangkan istri identik dengan anak perempuan.

Dalam sajak Butet,  pemakaian kata butet ditujukan untuk calon istri. Simpul ini mengacu pada alinea keempat: “Tulang, kutukar kopi dan kulit manismu, dengan pinang Mandailing/berikut seperangkat alat shalat, yang ingin kulunasi dengan ijab-kabul”.

Saya ragu simpul ini tepat, karena pada alinea kelima ditulis: “adakah kelak kau akan takluk dengan sebatan rotanku, Butet?/ataukah jiwamu tunduk oleh lecut, atas tali yang cucut di hidungmu?”

Jika May Moon memakai kata “butet” untuk menyebut calon istri, lantas kenapa seorang istri mesti takluk dengan sabetan rotan?  Dalam budaya Batak, rotan acap dipakai orang tua untuk menyabet betis anaknya yang tidak menurut.

Apakah May Moon memakai kata “butet” untuk menyebut anak.Saya menjadi tak paham dengan sajak-sajak May Moon Nasution yang memakai idiom Batak.

Sajak-sajak itu tidak jelas mau bicara tentang apa, karena idiom bahasa Batak itu dipergunakan secara keliru.

Saya lebih memahami sajak-sajak yang tanpa idiom Batak.

Sajak-sajak yang juga mengandung konten lokalitas budaya Melayu maupun budaya Minangkabau.

Penulis Pengamat budaya Batak, penyair, tinggal di Kota Padangsidempuan.

()

Baca Juga

Rekomendasi