Horror Embart Nugroho;

Hantu Rumah Belanda

Oleh: Rosni Lim. Setelah Guardian Angel, Love Hurts, Nenek Galau, When I Fall in Love dan Cinta Masih Ada, Embart Nugroho kembali lagi dengan novel terbarunya “Hantu Rumah Belanda”, Dia akan Datang Menuntut Balas…

Novel bergenre horor dengan desain cover yang menyeramkan ini, betul-betul berisi 80% horor. Bila divisualisasikan dalam bentuk film akan memunculkan banyak adegan yang menampilkan suasana mencekam dengan arwah-arwah gentayangan. Berlumuran darah berikut kepala terpenggal, usus terburai, tubuh hitam gosong, pecahan-pecahan kaca di lantai yang membuat kaki berdarah. Potongan tangan atau kaki manusia, pisau yang memenggal berlumuran darah, tabrakan maut, siksaan kejam di pasungan, bara api menghanguskan korban, lorong-lorong gelap berserakan tulang-belulang manusia, pintu-pintu rahasia terlarang, dendam-kesumat 7 turunan, bau kemenyan dan bunga melati. Kastil tua, toilet sekolah tempat pembuangan mayat. Bocah kecil perempuan berambut pirang yang aneh di ayunan, lirikan-lirikan mata tajam dan memelas dari para arwah gentayangan, pemunculan aneh dan hilang tiba-tiba dari sosok di samping, dan lain-lainnya yang betul-betul “horor”.

Novel Hantu Rumah Belanda membutuhkan banyak imajinasi penulis dalam menggambarkan adegan-adegan dan kejadian-kejadian horor dengan suasana mencekam. Setting misterius ditambah arwah gentayangan yang berwajah mengerikan dengan tubuh berlumuran darah ataupun leher terputus, berikut ekspresi ketakutan dari para tokoh cerita. Sebuah imajinasi yang sangat sulit dibangun dan dituangkan dalam bentuk sebuah novel horor yang menyuguhkan alur menegangkan/menyeramkan dari awal, hingga akhir. Apalagi penulis harus mendeskripsikan keseraman itu bercampur dengan “keindahan yang angker” di pesekitaran rumah/kastil tua.

Riri dan Gordy -dua bersaudara anak Bintara- cucu dari Subroto, pemilik rumah tua peninggalan Belanda yang telah berusia ratusan tahun, dibawa papanya pulang ke Medan setelah perusahaan yang mereka miliki mengalami pailit. Rumah mewah mereka di Jakarta akan disita bank karena hutang. Tabungan di bank pun telah kandas; karena itu kedua orang tua Riri dan Gordy terpaksa hijrah ke Medan membawa anak-anaknya. Di Medan masih ada sebuah rumah tua peninggalan dari kakek mereka -Subroto- karena itulah mereka pindah ke Medan. Supaya bisa tinggal disitu, sebab tak ada lagi uang mereka untuk membeli rumah baru.

Sebelum pindah ke Medan, Riri telah mengalami mimpi-mimpi buruk dalam tidurnya. Dia melihat sosok-sosok aneh dan menyeramkan di mimpinya itu. Riri sendiri heran kenapa bisa bermimpi seperti itu. Tak lama kemudian keheranannya pun terjawab sudah. Ketika dia dengan “terpaksa” harus pindah ke Medan mengikuti kedua ortunya.

“Ah, Medan kota kecil, tempat hiburan apa yang ada di situ? Mana bisa dibandingkan dengan Jakarta yang mewah dan gemerlapan, yang sudah akrab dengan Riri selama belasan tahun ini?” begitu kira-kira yang ada di pikirannya ketika diajak pindah ke Medan.

Mau tak mau dia harus ikut dan ketika dia memasuki rumah tua peninggalan kakeknya, dia bertemu dengan arwah-arwah gentayangan yang selama ini hadir dalam mimpi-mimpinya. Hal itu terus diceritakannya pada kedua ortu dan abangnya -Gordy- namun mereka tak percaya karena pada mulanya hanya Riri seorang yang mengalami hal-hal aneh itu. Tak heran bila di 1/3 lebih awal dari novel ini didominasi cerita mengenai Riri sebagai tokoh utama.

Suatu hari, Riri membuka pintu terlarang di dalam lorong rahasia di ruang belakang rumah tua yang baru dihuninya. Akibatnya arwah-arwah gentayangan yang selama ini “disekap” pun “bebas” bergentayangan mengganggu manusia. Diganggu oleh arwah-arwah itu bukan sembarang manusia, melainkan orang-orang yang pada 20 tahun lalu terlibat dalam suatu pembantaian kejam terhadap seorang janda muda yang dituduh berzinah yang akhirnya juga menyebabkan anak perempuan dari janda itu tewas mengenaskan di rumah tua. Setelah sebatang kara ditinggalkan ibunya menahan lapar dan dingin.

Ternyata janda yang dibantai secara keji dan sadis oleh massa itu, adalah korban fitnah. Disebarkan oleh anak Subroto -Bintara- bersama teman Bintara -Fahmi- seorang kepala sekolah tempat Riri bersekolah setelah pindah ke Medan. Padahal sebenarnya Subroto sendirilah sebagai kepala RT pada 20 tahun lalu itu yang memperkosa janda yang memiliki lekuk tubuh indah. Jangankan mengakui perbuatannya, malah dialah yang memimpin pembantaian keji terhadap janda itu di depan massa penduduk.

Janda itu dibakar dan tubuhnya yang gosong dicampakkan ke dalam pintu rahasia di dalam lorong gelap di belakang rumah tua. Sebenarnya arwahnya tidak akan mengganggu para pembantainya, bila saja Riri tidak membuka pintu rahasia itu. Karena itulah menjadi tugas Riri untuk mengembalikan kembali arwah janda itu ke dalam tempat persemayamannya.

Setelah hal-hal aneh yang dialami Riri, Gordy, dan Adam -teman Riri di sekolah- Andien, Faridah, Fahmi, Linda dan beberapa nama yang merupakan para pelaku tindak keji 20 tahun lalu dan anak/cucu mereka pun mengalami kejadian serupa. Bedanya, Riri, Gordy dan Adam mengalami hal-hal aneh menyeramkan seperti melihat kepala atau tangan/kaki yang terpenggal. Berlumuran darah, arwah mengerikan dengan tubuh gosong atau arwah bocah perempuan berambut pirang di dalam rumah tua ataupun di sekolah/kampus mereka. Mereka selamat dan masih bisa bekerja sama untuk mengakhiri semua tragedi.

Andien, Faridah, Fahmi, Linda dan beberapa pelaku lain mengalami hal-hal naas yang merenggut nyawa mereka seperti tabrakan maut di jalan dan lain-lain.

Setelah memaksa Lambok -tukang kebun yang telah 20 tahun lebih mengurus rumah kakek mereka- bercerita. Riri semakin jelas akan cerita asal-usul rumah tua yang dihuninya berikut kejadian tragis yang menimpa janda beserta anak perempuannya 20 tahun lalu itu. Ternyata janda itu adalah kakak dari Lambok yang bernama Martha.

Di akhir cerita, ketika Martha semakin jelas menampakkan wujudnya untuk membalaskan dendam pada Bintara dan keturunannya. Lambok memohon padanya dengan tulus supaya melupakan dendamnya yang telah memakan banyak korban jiwa. Karena permintaan Lambok yang bersungguh-sungguh, Martha bersedia mengabulkannya dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh Bintara. Tulang-belulangnya yang dicampakkan di dalam pintu terlarang di lorong gelap harus dikumpulkan dan dikuburkan sebagaimana mestinya. Bintara dipesan untuk menaburkan bunga dan menziarahinya setiap malam Jumat supaya arwah Martha bisa tenang di alam baka.Ending yang cukup memuaskan, karena tokoh utama cerita -Riri, Gordy, Adam- akhirnya bisa selamat dan hidup dengan tenang, lepas dari rencana pembalasan dendam kesumat 7 turunan yang diinginkan oleh Martha.

Baik alur cerita, penokohan, penggambaran setting, lokasi, dialog, ekspresi wajah tokoh dan pendeskripsian arwah gentayangan, hubungan emosional para tokoh, latar belakang konflik, sudah digambarkan oleh Embart Nugroho dengan baik dan jelas. Mungkin cuma perlu sedikit kejutan-kejutan yang di luar dugaan pembaca, misalnya suatu hal misterius lain yang betul-betul misterius, sehingga pada akhirnya membuat pembaca terkecoh ketika misteri itu terungkap.

Akhir kata, penulis ucapkan selamat buat Embart Nugroho yang telah berhasil menyuguhkan sebuah novel horor seru dengan adegan-adegan menyeramkan. Novel ini melengkapi novel-novel percintaan dia sebelumnya yang sukses di pasaran. Semangat dan berjaya terus untuk anak-anak Medan! Horas!

Medan, Juni 2014

()

Baca Juga

Rekomendasi