Sejak diumumkannya pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada media baik cetak maupun elektronik yang terkesan tidak netral dalam hal pemberitaan, sehingga menyebabkan kenetralan media dipertanyakan. Padahal media tersebut merupakan bagian dari pers sebagaimana yang dikenal dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”).
Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia (Pasal 1 angka 1 UU Pers).
Dalam hal media massa sebagai bagian dari pers, harusnya mampu bersikap netral dalam melakukan pemberitaan, terlebih-lebih yang berkenaan dengan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun kenyataannya tidak demikian ada media yang tak seimbang porsinya dalam memberitakan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang cenderung memihak pada salah satu pasangan calon, maka hal ini tentu melanggar Kode Etik Jurnalistik yang disusun Dewan Pers.
Dalam Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik dijelaskan bahwa wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang disebut dengan independen adalah memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
Saat ini kita melihat ada dua stasiun televisi berita yang terkesan ‘menenggelamkan’ nilai-nilai independensi tersebut. Ini disebabkan pemilik media itu memiliki kepentingan, sehingga prinsip etika jurnalisme dilanggar, padahal media harus punya ‘jarak’ sehingga ia benar-benar terjaga dari sebuah kepentingan politik yang semu. Maka tidak heran jika muncul kritik atas kurang netralnya media elektronik khususnya televisi dalam pemberitaan kampanye. Dan ini perlu disikapi lebih serius oleh pengawas media yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) karena peran televisi yang besar dalam memengaruhi opini masyarakat ketimbang media cetak.
Sebenarnya, masalah ketidaknetralan media bukanlah ‘barang baru’. Ini disebabkan peran media banyak dipengaruhi oleh pemegang saham atau pemilik media itu sendiri. Jika pemilik atau pemegang saham terlibat langsung dalam politik, bahkan sempat menjadi pendukung salah satu pasangan calon, maka otomatis media yang dinakhodai menjadi pendukung salah satu pasangan calon tersebut.
Dalam buku-buku komunikasi dijelaskan adanya teori agenda setting yang secara tidak langsung dilakukan oleh media baik cetak maupun elektronik, yang menjadikan subyek menjadi sesuatu yang seksi untuk dipermak sehingga menjadi barang yang sangat digandrungi. Apalagi pengaruhnya media yang cukup besar dalam mempengaruhi pilihannya.
Karena itulah kita banyak berharap kepada KPI Pusat khusunya dalam KPID umumnya untuk selalu mengingatkan lembaga penyiaran, apakah itu televisi, radio maupun surat kabar agar dapat menjaga netralitas dan tidak mengutamakan kepentingan kelompok tertentu. Ini dilakukan agar tercipta tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang. KPI juga harus mampu memainkan peranannya untuk menjaga netralitas tersebut. Bila lembaga ini bisa menjaga netralitas semua media, pasti akan menghasilkan solusi yang terbaik dalam memilih pemimpin ke depan.
Keseimbangan itu penting, agar masyarakat dapat tercerdaskan dengan pemberitaan-pemberitaan yang transparan dan adil. Sehingga dalam memutuskan sesuatu yang diinginkannya benar-benar datang dari informasi yang benar didapatkannya, bukan dari informasi yang tidak netral atau menjelek-jelekkan (kampanye hitam) terhadap salah satu pasangan lainnya.
Netralitas adalah perisai yang harus menjadi bagian dari pemberitaan media, sehingga dengan adanya netralitas tersebut, pertanggungjawaban media juga bisa dilakukan. Namun bila sebaliknya tidak ada kenetralan, maka media tersebut bukanlah media yang mencerdaskan dan menjaga kode etik, tetapi media yang berpihak demi sebuah kepentingan. Apalah arti sebuah kepentingan bila kepentingan tersebut bersifat sesaat, sementara melakukan netralitas pemberitaan jauh lebih bermanfaat. Karena memang untuk itulah media diciptakan yaitu memberi manfaat untuk orang banyak.