Alam pada Masyarakat Komunal

Oleh: Jones Gultom. Pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah penganut paham komunal, yakni masyarakat yang hidup dalam kelompok-kelompok tertentu. Mereka dipersatukan baik oleh kesamaan suku, marga, genealogis, bahkan mitos, maupun terikat oleh tatanan hukum, adat, di mana mereka tinggal. 

Meski tak tertulis, biasanya masyarakat ini sangat patuh dengan hukum ataupun norma yang mengatur hidup mereka itu. Inilah yang menarik dari bangsa ini. Sekaligus keistimewaan yang pernah dimiliki bangsa Indonesia. 

Karena hidup dalam kebersamaan, maka nilai-nilai itu akan selalu memperlihatkan identitasnya, termasuk cara mereka memandang kehidupan, mengolah hidup dan menghormati kehidupan itu sendiri. Semua itu dilakoni secara bersama-sama, seolah menjadi hukum dasar yang harus dipatuhi setiap orang yang tergabung dalam kelompok itu. Jika ada yang melanggar, maka sanksi sosial akan diberikan. Kesadaran kolektif tumbuh meski tanpa ancaman hukuman yang menakutkan.

Nilai-nilai pada masyarakat komunal menyangkut banyak aspek, antara lain spiritual, kemanusiaan, hukum, sosial dan kemasyarakatan serta pertanian dan lingkungan. Jika kita simak, pada umumnya tendesi dari nilai-nilai itu, justru mengerucut pada aspek lingkungan. Karenanya perspektif lingkungan dalam diri masyakarat komunal boleh dibilang merupakan kulminasi dari pemahaman akan nilai-nilai yang mereka anut. 

Ritus-ritus yang bermakna spiritual oleh hampir setiap masyarakat komunal selalu bersinggungan dengan perspektif alam. Salah satu wujudnya dapat kita kenali melalui simbol sesaji. Sesaji biasanya diaturkan di alam terbuka, baik di gunung, laut, sungai, hutan maupun lahan pertanian. 

Doa-doa yang dipanjatkan biasanya ditujukan kepada “penghuni” di lokasi tersebut. Dalam arti, sejak dulu masyarakat komunal kita telah meyakini adanya kekuatan yang berkuasa atas alam tersebut. Pengakuan akan sumber power itu, menujukkan rasa hormat mereka terhadap alam, etika dan tatakrama serta menjauhkan diri dari sikap tamak, sekaligus juga penegasan terhadap keyakinan akan adanya kehidupan di luar pemahaman an sich manusia. 

Yang paling jelas, dapat kita lihat ketika masyarakat komunal akan membuka hunian atau perkampungan baru. Tidak jarang proses ini membutuhkan waktu sampai berminggu-minggu, sebelum penebangan pohon mulai dilakukan. Biasanya setiap hari selalu dilakukan ritus-ritus tertentu. Doa-doa dipanjatkan, termasuk kepada penghuni tanah dan batu. Arah rumah yang akan dibangun pun ditentukan melalui berbagai pertimbangan. Semua ini dilakukan agar hunian yang akan dibangun kelak memperoleh tuah. 

Demikian juga ketika akan mengambil pohon dari hutan untuk kepentingan membangun rumah. Sejumlah syarat dan pantangan pun diberlakukan. Penulis mengambil contoh pada masyarakat Batak Toba. 

Untuk menebang satu pohon saja, disertai sejumlah anjuran dan syarat. Contoh, tidak boleh menebang pohon yang usianya masih terlalu muda, tidak boleh menebang dalam jumlah banyak di satu titik lokasi, tidak boleh menebang pohon yang merupakan penyangga lokasi. 

Mengganti 1 pohon yang ditebang dengan 3 pohon baru. Pohon yang ditebang terlebih dulu harus diberi “makan” dan didoakan. 

Pohon yang akan ditebang merupakan pilihan serta hasil diskusi bersama dengan “orang pintar”. Orang yang ditugaskan menebang pohon itu terlebih dulu harus menyucikan dirinya dengan mandi di pemandian tertentu. Termasuk juga berpantang. Prinsip ini sebagai bagian dari penghormatan terhadap semua roh makhluk hidup yang ada di bumi. 

Orang Batak Toba meyakini, adanya hukum sebab akibat untuk setiap perilaku dan tindakan yang dilakukan terhadap sesama makhluk. Keyakinan ini merupakan manifestasi dari kosmologi yang dianut, yakni adanya relasi antara mikro dengan makrokosmos. 

Begitu juga pada masyarakat komunal suku Dayak Kalimantan. Setiap kali mereka akan menebang pohon untuk membuka hunian baru maupun yang untuk digunakan di kampung, mereka terlebih dulu menggelar ritus dengan mempersembahkan hewan kurban, untuk kemudian makan bersama-sama. 

Pada musim tanam dan panen, nyaris setiap masyarakat komunal di Indonesia, akan menggelar lazim ritus-ritus tertentu. Harapannya agar mereka mendapat berkah. Juga akan dipersembahkan sejumlah panganan yang tak lain hasil ladang mereka. Prinsip saling memberi dan menerima dari dan untuk alam seperti inilah yang mengental dalam diri masyarakat komunal. 

Baik masyarakat komunal Batak Toba, Dayak dan juga kelompok masyarakat komunal lain di Indonesia, meyakini adanya karma atau bala yang akan mereka terima, jika tidak meniadakan sejumlah anjuran dan larangan itu. Semuanya ini menjelaskan kepada kita, betapa tingginya penghargaan yang diberikan masyarakat komunal terhadap alam. 

Tentu saja penjelasan logis dari apa yang mereka yakini itu dapat kita gali. Paling tidak dengan doktrin yang mereka yakini, mereka menjadi lebih berhati-hati serta tahu mengucap syukur. Begitu juga ketika larangan dilanggar, yang terjadi lebih kepada kausalitas. 

Contoh, ketika pohon penyanggah ditebang, sudah pasti akan menyebabkan longsor dan banjir di sekitar lokasi. Atau ketika mereka tidak menyucikan diri terlebih dulu, boleh jadi aroma mereka akan merangsang hewan-hewan buas yang ada di hutan. 

Inilah integrasi yang penulis maksud. Bahwa selalu saja nilai-nilai yang ada di dalam ritus-ritus yang dilakukan masyarakat komunal selalu berkaitan dengan alam. Sayangnya, komunalitas itu kini telah pudar, seiring dengan bergesernya nilai-nilai dalam diri masyarakat. 

Masyarakat tak lagi hidup secara berkelompok-kelompok. Termasuk juga yang tinggal di desa. Masyarakat desa dan kota telah hidup dengan individualismenya masing-masing. Perubahan yang terjadi secara radikal itupula yang menyebabkan berubahnya pola pikir, psikologi dan akhirnya spiritualitas masyarakat Indonesia. Pada ujungnya telah mengubah identitas serta penanda diri kita sendiri. 

(Penulis adalah pegiat budaya untuk kelestarian alam)

()

Baca Juga

Rekomendasi