Mengenal Hakikat Cinta

Oleh: Eka Azwin Lubis. Cinta adalah Kehidupan. Kala cinta hilang dari jiwa seseorang, dia bagaikan hidup dalam kematian. Cinta adalah cahaya. Kala cinta hilang dari hati seseorang, dia bagaikan berada dalam kegelapan. Cinta laksana obat penawar. Kala tak ada cinta, hati akan ditimpa penyakit. Cinta adalah nikmat. Jika seseorang tidak mendapatkannya, hidupnya akan penuh kegelisahan.

Demikian KH Said Aqil Siraj menulis dalam pengantar buku “Kitab Cinta” terjemahan dari buku aslinya al-Hub fil Qurân karya ulama sufi dari Syiria Syekh Muhammad Said Ramadhân al-Bûthi.

Tidak diragukan lagi, cinta memiliki kekuatan yang maha dahsyat. Cinta bisa mengubah hitam menjadi putih. Cinta bisa mengubah rasa asin menjadi manis. Cinta bisa mengubah sifat malas menjadi rajin. Begitulah kekuatan dan pengaruh cinta. Cinta terbukti dapat membangkitkan kepribadian dan membebaskan manusia dari sekat-sekat dalam dimensi kehidupan.

Kata cinta dalam bahasa Arab sering disebut dengan al-hubb. Kata ini, di dalam Alquran disebut 83 kali dalam berbagai bentuk derivasinya. Sementara kata bugd-bagda (benci) yang menjadi lawan katanya hubb hanya disebut dalam Alquran lima kali. Di dalam Alquran, perasaan cinta ini juga diungkapkan dengan berbagai istilah. Misalnya, mawaddah, warahmah (QS Ar-Rum: 31), saghafa (QS Yusuf: 30), mail (QS An-Nisa: 129) dan hubb-mahabbah (QS Yusuf: 30).

Secara khusus, cinta dalam bahasa Arab mengandung tiga karakteristik makna, yakni apresiatif (ta’dzîm) penuh perhatian (ihtimâm) dan kasih sayang (mahabbah) itu sendiri. Tiga kecenderungan ini terkumpul pada ungkapan mahabbah; orangnya disebut habib, habibah atau mahbub.

Dalam kamus bahasa Arab, istilah cinta ini lebih spesifik lagi diungkapkan dalam 60 istilah, seperti isyqun, hilm, gharam, wajd, syauq, lahf dan lainnya. Tetapi, di dalam Alquran hanya disebutkan enam term saja.

Keragaman istilah yang sepadan ini menunjukkan bahwa cinta memiliki kerumitan dan kedalaman makna. Dimensi cinta sangat luas dan mendalam. Ia mampu membawa dan menentukan implikasi pada perbedaan tingkah laku manusia.

Dalam perspektif tasawuf, cinta Ilahi atau kecintaan kepada Allah adalah puncak perjalanan manusia, bahkan menjadi puncak tujuan seluruh maqam. Setelah tingkat mahabbah (cinta) tidak ada lagi maqam lain, kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Misalnya syauq (kerinduan), uns (kemesraan), dan ridha.

Untuk mencapai derajat mahabbah ini, pesuluk diharuskan terlebih dahulu melalui fase-fase (maqamat) seperti taubat, sabar, zuhud dan lainnya.

Banyak kalangan seringkali berdebat tentang hubungan cinta dan ketaatan. Apakah cinta yang akan mendatangkan ketaatan atau sebaliknya ketaatan yang akan mendatangkan rasa cinta?

Menurut Syekh al-Bûthi, cintalah yang akan mendatangkan bentuk ketaatan yang tulus kepada Allah. Mengapa demikian, karena cinta inilah yang mengharuskan dirinya untuk selalu taat kepada yang ia cintai, sebagaimana pepatah Arab: Inna al muhibba liman yuhibbu muthii’u (sungguh seorang pencinta itu akan menaati kepada yang dicintainya), bukan sebaliknya orang yang taat kepada yang ia cintai berarti ia pasti mencintainya.

Hubungan antara cinta dan ketaatan memiliki kelaziman yang mengikat. Artinya, setiap orang yang mencintai harus siap untuk taat kepada yang dicintainya. Tetapi, setiap orang yang taat terhadap yang dicintainya tidak lazim untuk mencintainya. Ringkasnya, cinta tanpa taat adalah kepalsuan, sebaliknya taat tanpa cinta adalah kemunafikan. Demikian penjelasan al-Buthi dalam bukunya al-Hub fi al-Quran.

Potret inilah gambaran kaum munafik di Madinah ketika itu. Mereka mau menjalankan perintah Nabi di satu sisi, tetapi di sisi lain mereka mengerjakannya tidak disertai kecintaan dan ketulusan. Cinta inilah membedakan antara semangat ibadah para sahabat Nabi yang benar-benar beriman secara sepenuh hati dan kaum munafik yang beribadah hanya untuk menutupi kekufurannya. Ibadahnya pun selalu dipenuhi dengan kepura-puraan.

Lantas, bagaimana cara mendapatkan cinta yang dapat membuahkan kepada ketaatan ini. Lebih lanjut, Syekh al-Buthi memberi tiga resep sebagai berikut:

Pertama, memperbanyak muraqabatullah (merasa diawasi oleh Allah) dan berdzikir kepadaNya. Seseorang yang mau menafakuri dan mengingat-ingat nikmat yang diberikan Allah kepadanya, niscaya akan muncul dalam dirinya benih-benih cinta kepada Dzat Pemberi anugerah dan nikmat tersebut.

Kedua, menjaga diri secara maksimal untuk menjauhi makanan haram. Makanan haram yang dikonsumsi akan menyebabkan pelakunya berperangai keras dan memiliki kepala melebihi kerasnya naluri binatang buas. Bahkan, orang yang terus-menerus berhubungan dengan barang haram, lama-kelamaan imannya akan tercabut dari dada. Naudzubillah.

Ketiga, duduk bersama orang-orang saleh dan menjauhi tempat-tempat orang fasik dan kemaksiatan. Seseorang ketika menjumpai ulama saleh, maka jadikan dia sebagai pembimbing spiritual. Sebab dengan ilmu beliau yang mendalam tentang agama akan membimbing kepada pintu hidayah. Demikian halnya, amal saleh yang diiringi ilmu pengetahuan akan melahirkan rasa takut dan cinta.

Apabila rasa cinta kepada Allah ini sudah terwujud, maka buah dari cinta itu adalah kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan yang dicintainya. Sebab mustahil ada orang yang merasa mencintai sesuatu, tetapi dia tidak ingin bertemu dan berdekatan dengannya. Meskipun dia tahu bahwa untuk bertemu dengan Allah harus ada kematian, dia tidak pernah takut menghadapi kematian itu. Ketulusan cintanya kepada Allah menyebabkan dia selalu berharap kematian, sebab kematian baginya adalah cara untuk bisa bertemu dengan Sang Kekasih, yaitu Allah.

Mungkin ada yang menyanggah statemen di atas, karena ada juga orang yang cinta kepada Allah tapi tidak suka bahkan takut dengan kematian. Karena, dia merasa dirinya belum siap menghadap Allah lantaran dosa-dosa yang dia lakukan atau merasa ibadah dan ketaatannya kepada Allah masih belum sempurna.

Menurut Syekh al-Buthi, orang yang masih memikirkan dirinya merasa belum siap bertemu dengan yang dicintai sebab dosanya, adalah orang yang belum menikmati indahnya cinta kepada Allah itu sendiri. Karena orang yang mencintai Allah dengan tulus sangat sulit memendam rasa rindu akan pertemuan dengan Sang Kholiq.

Kerinduan yang membuncah itu mengalahkan rasa takutnya akan kematian, bahkan siksa yang mungkin dia hadapi nantinya. Orang yang merindukan Allah tidak akan peduli rasa sakit apa pun.

Pertanyan sekarang, apakah kita sudah merasakan cinta kepadaNya sehingga termotivasi untuk selalu menjalankan syariatNya. Atau kita baru termasuk orang yang mau menjalankan perintahNya tanpa dibarengi rasa kecintaan, karena hanya sebatas menggugurkan kewajiban. Atau, jangan-jangan kita malah termasuk golongan orang yang (merasa) cinta kepadaNya, tetapi justru enggan menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya. Wallahu a’lam. ***

Penulis adalah Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.

()

Baca Juga

Rekomendasi