Fatmin Prihatin Malau. MEMBACA Cerita pendek (Cerpen) Pelabuhan Balige karya Arbi Syafri Tanjung di halaman 6 Ruang Budaya Analisa (Rebana) Minggu 20 Juli 2014, langsung terbayang Pelabuhan Balige. Di Kabupaten Toba Samosir yang kumuh, busuk, becek dan penuh sesak dengan para pedagang, bila Jum’at sebagai hari pekan (Onan).
Bayangan itu meleset, karena Pelabuhan Balige yang diceritakan dalam Cerpen itu adalah Pelabuhan Balige pada 94 tahun yang lalu, bukan tanggal 21 Mei 2014 seperti yang tertulis diakhir Cerpen, Padang, 21052014.
Pelabuhan Balige pada tahun 1920 sebagai penghubung dari Parapat ke Balige. Hubungan via darat masih terputus dan kolonial Belanda yang menjajah Indonesia belum membangun jembatan yang memisahkan bukit Parapat dengan bukit Lumbanjulu yakni belum ada Jembatan Sisera-sera di Kota Parapat dan Jembatan Porsea di Kota Porsea. Arbi Syafri Tanjung, memulai Cerpen Pelabuhan Balige dengan pertanyaan Mardzuki kepada Niar, “Niar, sudah beres semua yang akan dibawa?”
“Sudah engku”
Cerpen Pelabuhan Balige mengingatkan kepada karya sastra Indonesia Angkatan Balai Pustaka (1920-1950) yang diprakarsai penerbit Balai Pustaka dengan karya prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama)
Sejumlah pengarang angkatan Balai Pustaka seperti Merari Siregar, Mara Rusli, Nur Sutan Iskandar, Abdul Muis, Tulis Sutan Sati, Suman Hs, Aman Datuk Madjoindo, Adinegoro, Sutan Takdir Alisjabbana, Hamka dan lainnya menceritakan kondisi tahun 1900-an.
Kilas Balik Hampir Seabad
Dialog Mardzuki dengan Niar, terasa seperti dialog Zainuddin dengan Hayati. Dialog dalam novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957) karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) yang lahir 17 Februari 1908.
Memang Cerpen Pelabuhan Balige cenderung sedikit dialog, lebih banyak narasi. Beda dengan novel, cerpen yang ditulis para sastrawan Angkatan Balai Pustaka. Boleh jadi Arbi Syafri Tanjung kurang berani menampilkan dialog para tokohnya karena masa yang sudah begitu jauh, hampir satu abad. Hal itu juga terlihat kering dan terjebak kepada dialog kekinian ketika Mardzuki bertanya kepada Niar, “Niar, sudah beres semua yang akan dibawa?”
Kata beres belum dikenal tahun 1920 akan tetapi hal itu tidak mengganggu keberhasilan Cerpen Pelabuhan Balige menggambarkan kondisi tahun 1920 yang dimulai dari Kota Medan yang udaranya masih sejuk. Naik Delman dari Jalan Antara ke Stasiun Kereta Api.
Menggambarkan kereta api berangkat dari Medan menuju Pematang Siantar, melintasi kota-kota yang masih hijau dan sawah menguning terbentang luas. Petang hari baru tiba di Kota Pematang Siantar, menumpang bermalam di rumah sahabatnya untuk bisa melanjutkan perjalanan besok ke Parapat di tepi Danau Toba.
Perjalanan ke Bonjol, Sumatera Barat yang begitu melelahkan karena sarana dan prasarana angkutan yang masih sangat terbatas. Sambung menyambung dengan berganti-ganti kendaraan. Dari Medan ke Pematang Siantar, naik kereta api. Dari Siantar ke Parapat naik bus. Lantas dari Parapat harus naik kapal motor ke Balige, sebab belum tersedia sarana jalan darat dari Parapat ke Balige.
Penekanan Cerpen di Pelabuhan Balige
Cerpen Pelabuhan Balige sebenarnya menceritakan perjalanan mudik Mardzuki dengan istrinya beserta tiga orang anaknya dari Medan ke Bonjol, Sumatera Barat akan tetapi penekanan cerpen Pelabuhan Balige, perjalanan dari Medan ke Balige yang harus melintasi Danau Toba.
Pelabuhan Balige tahun 1920 memang memiliki arti penting sebagai daerah transit. Jembatan Sisera-sera di Parapat dan Jembatan Porsea di Porsea baru ada tahun 1930. Sebelum dibangun jembatan di atas Sungai Asahan yang airnya dari Danau Toba itu mengalir ke Tanjung Balai.
Masyarakat yang ada di daerah itu bila hendak ke Balige harus menaiki rakit yang disewa. Dari penyewaan rakit ini disebut nama daerah itu persewaan dan kemudian berubah penyebutannya menjadi porsea. Cerita ini turun temurun di Kota Porsea. Penulis pernah bermukim 15 tahun di Porsea selalu mendengar cerita itu.
Kata porsea dalam Bahasa Batak artinya percaya dan nama kota ini diberi nama oleh I. L. Nommensen. Seorang missionaris pembawa Agama Kristen di Tano Batak dengan nama percaya, sebab ada sungai Asahan merupakan sumber kehidupan.
Rakit persewaan itu hanya bisa menyeberangkan manusia dan kereta angin (sepeda). Baru tahun 1930 Belanda membangun jembatan maka kendaraan roda empat bisa melintasinya. Begitu juga dengan dibangunnya Jembatan Sisera-sera di Parapat. Sedjak itu kendaraan bus dari Pematang Siantar, dari Medan bisa melintasi jalan darat dari Parapat ke Balige dan seterusnya ke Tarutung atau Sibolga.
Dibangunnya dua jembatan itu membuat Pelabuhan Balige tidak menjadi sangat menentukan lagi. Perjalanan dari Medan ke Sibolga dapat ditempuh dalam waktu lebih cepat yakni 14 jam perjalanan.
Bus yang berangkat dari Medan selepas waktu subuh atau pukul enam pagi dan baru tiba di Sibolga pukul tujuh malam. Peristiwa ini baru terjadi menjelang Indonesia merdeka tahun 1945. Menyusuri Danau Toba dengan Kapal Motor dari Parapat ke Balige menjadi sangat penting maka Pelabuhan Balige sangat menentukan. Setiap Kapal Motor yang sandar di Pelabuhan Balige tahun 1920, semua penumpang yang turun dari Kapal Motor diperiksa di Pelabuhan Balige jangan sampai ada yang membawa barang-barang terlarang, termasuk Mardzuki bersama istri dan anaknya.
Mardzuki dan keluarganya lolos dari pemeriksaan karena memang tidak membawa barang-barang terlarang. Petang menjelang senja itu, ada penumpang Kapal Motor yang tertangkap di Pelabuhan Balige membawa barang-barang terlarang, Opium.
“Alhamdulillah, Engku. Saya duluan,” teriak Mardzuki kepada temannya satu Kapal Motor yang berada di belakangnya mengikuti antrian panjang untuk mendapat giliran diperiksa.
Dalam cerpen Pelabuhan Balige diceritakan Mardzuki dan keluarganya sampai di Pelabuhan Balige sudah petang. Dalam cerita itu Mardzuki dan keluarga melanjutkan perjalanan dengan Cardford duduk di kelas satu untuk melanjutkan perjalanan dari Balige ke Sibolga.Mengapa tidak bermalam di Balige? Seharusnya bermalam di Balige, esok hari baru melanjutkan perjalanan sebab tahun 1920 bus hanya melakukan perjalanan pada siang hari saja, tidak memungkinkan malam hari sebab kondisi bus terbuka dan udara sangat dingin mendaki dan menuruni Bukit Barisan kala itu.
Cerpen Pelabuhan Balige karya Arbi Syafri Tanjung berusaha menggambarkan suasana tahun 1920 dengan kondisi alam. Suasana manusia kala itu meskipun belum berhasil sepenuhnya sebab berbeda dengan pengarang angkatan Balai Pustaka yang memang hidup pada masa itu dan menuliskannya juga pada masa itu.
Tidak bisa disamakan akan tetapi pesan yang disampaikan telah sampai yakni suasana, kondisi Pelabuhan Balige tahun 1920, begitu juga dengan kondisi Kota Medan, Pematang Siantar dan Parapat. Sama juga dengan novel Acek Botak dan novel Pincalang karya Idris Pasaribu yang ditulis jauh dari waktu peristiwa terjadi, sehingga bisa menjadi catatan sejarah masa lalu.
Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, mantan Sekretaris Majelis Kebudayaan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara