Pengasuh: dr. Syamsul Bihar, M.Ked. (Paru), Sp.P.

Mengenal Penyakit Kawasaki (Kawasaki Disease)

Oleh: Dr. Muhammad Ali, SpA(K). KEPULAUAN Bahama, awal Januari 2009, suasana tenang dan gembira liburan keluarga dalam sekejap berubah menjadi tragedi dan kepanikan luar biasa ketika Jett Travolta, anak lelaki pesohor ternama Hollywood, John Travolta terjatuh dan kepala terbentur di kamar mandi.

Nyawa remaja lelaki berusia 16 tahun ini, tak ter­tolong. Dia mati men­dadak dalam usia yang sangat mu­da. Tidak jelas penyebabnya, dan berbagai dugaan muncul.

Apakah matinya akibat truma ke­pala, tenggelam di bak mandi, dan sebagainya. Jett memang diketahui men­de­­rita autis sebelumnya, namun hal ini terjawab tak lama berselang. Dari peme­rik­saan riwayat penyakit/medical record dan pemerik­saan oto­psi, didapati bahwa kematian anak John Travolta ini adalah akibat sera­ngan jantung mendadak (heart attack). Loh kok bisa, usia be­gitu muda terkena serangan jantung? Terjawab bahwa ke­rusakan koroner yang dide­rita Jett diakibatkkan oleh Penyakit Kawasaki. John Tra­volta meyakini penyakit ini telah menyerang Jett saat dia masih bayi.

Bayi 4 bulan, Kelvin (na­ma sa­ma­ran), adalah seorang pasien di salah sa­tu rumah sakit swasta di Medan. Mula­nya bayi ini menderita de­mam tinggi selama beberapa hari disertai diare. Kedua orang­tua sudah mem­ba­wanya ke beberapa dokter anak dan sudah mengkonsumsi beba­rapa jenis antibiotika, namun demam ting­gi masih berta­han. Diagnosisnya juga ber­beda-beda dari satu dokter ke dokter lainnya. Ada yang men­diag­nosis sebagai cam­pak, alergi obat, infeksi virus, dan penyakit gon­dok, se­jalan dengan tampilan klinis Kel­vin. Dokter anak yang terakhir memeriksa mencuri­gai Kelvin men­derita Penya­kit Kawasaki. Sayang­nya, pada hari kedua belas dari pe­nya­kitnya, saat Kelvin di­periksakan ke dokter jantung anak didapati hasil dari pe­meriksaan USG jantung (echo­cardiography) bahwa koroner jantung Kelvin su­dah terganggu dan Kelvin memerlukan terapi tertentu dan pemantauan khusus, yang bisa-bisa seumur hidup.

Seorang konsultan jan­tung anak Indonesia berang­kat ke satu kota di Amerika Serikat untuk meng­ikuti kon­ferensi Penyakit Kawasa­ki. Se­perti biasa, petugas imigrasi, se­orang negro ber­badan besar, rewel bertanya macam-macam. Intinya mau tahu, apa tujuan sang dokter datang ke negeri Paman Sam ini. Ketika sang kon­sultan mengatakan akan m­e­ngikuti konferensi tentang Penyakit Ka­wasaki, si petugas malah heran ber­tanya, kira-kira begini kalau di­indonesiakan, ” Penyakit Kawasaki? Kena­pa kamu malah datang dan mem­bicartakannya di Ame­rika, bu­kankah pembuat dan pabriknya ada di Jepang?

Penggalan tiga kisah di atas kira­nya menggambarkan betapa Pe­nya­kit Kawasaki ini masih menjadi se­suatu yang “gelap” dan tak dike­tahui, be­lum terekspos, dan masih begitu asing terdengar di te­linga keba­nya­kan orang. Bukan hanya orang awam, masyarakat medis juga masih banyak yang belum familiar dengan penyakit ini. Apa pula ini? Suatu pe­nyakit dan gangguan pada sepeda motor? Perlu dibawa ke beng­kel?

Sekilas tentang Penyakit Ka­wasaki/PK (Kawasaki Di­sease/KD)

Kawasaki adalah penyakit demam tinggi pada anak ber­kaitan dengan vas­ku­litis ter­utama pembuluh darah ko­ro­ner serta keluhan sistemik lain­nya. Penyakit ini pada akhirnya, wa­lau tidak pada semua penderita, meng­­aki­batkan infark/kematian mio­kardium (otot jantung) aki­bat sum­batan (trombosis) akut arteri koroner yang ru­sak. Dulunya, penyakit ini di­namai dengan mucocutaneous lym­phnode syndrome, karena khas me­nyerang dae­rah selaput lender/muko­sa,kulit dan kelenjar getah be­ning. Baru pada tahun 1967, setelah dr. To­misaku Kawasaki, seorang dokter asal Jepang menuliskan la­porannya pada jurnal kedok­teran bergengsi, pe­nyakit ini disebut dengan nama sang dok­ter. Dr. Kawasaki me­mang ba­nyak sekali melaku­kan riset tentang pe­nyakit ini, salah satu alasannya adalah karena Jepang merupakan salah satu negara dengan jumlah pen­derita Penyakit Kawasaki terbesar di du­nia. Namun tak hanya Jepang, Penyakit Kawasaki juga tersebar di seluruh dunia yang mengenai seluruh etnik terutama ras Asia. Ada kecen­drungan gender pada pe­nya­kit ini, dimana anak laki-laki lebih sering terkena dari pe­rempuan. Pada kasus Penya­kit Kawasaki, 20-40% nya me­ngalami kerusakan pada pem­buluh ko­roner jantung. Sebagian akan sem­b­uh  spon­tan namun sebagian lain ter­­paksa menjalani hidup de­ngan jan­tung yang cacat aki­bat aliran da­rah koroner yang terganggu. Se­ba­gian kecil akan meninggal akibat ke­ru­sakan jantung, mati menda­dak seperti kisah tragis Jett Travolta di atas.

Bagaimana situasinya di Indonesia?

Di Indonesia, pemahaman dan pe­ngenalan terhadap penyakit yang berbahaya ini masih sangat minim, bahkan di kalangan medis sekalipun. Tak mengherankan jika dok­ter seringkali salah diagnosis dan kalau cukup berun­tung, diagnosis ditegak­kan saat segala sesuatunya sudah cu­kup terlambat dengan segala kon­se­kuensinya. Indonesia secara res­mi masuk dalam peta penyakit Ka­wa­sa­ki dunia sejak Dr. Najib Ad­vani (2005), seorang pediatric car­dio­lo­gist (dokter ahli jantung anak)  me­la­por­kan seri kasus pertama Pe­nyakit Kawasaki di Indonesia pada sim­po­sium Interna­sional Penyakit Ka­wa­saki ke VIII di San Diego, Amerika Se­rikat. Penyakit Kawasaki pada umum­nya ditemukan pada anak ba­lita, 80% dite­mukan pada anak di­bawah 4 tahun dan jarang pada usia di­bawah 3 bulan atau lebih 8 tahun. Usia tersering adalah 1-2 tahun. Sa­ma seperti ke­cendrungan di Negara Asia, untuk Indonesia Penyakit Ka­wasaki yang lebih sering menyerang ras Mongol/etnis Tionghua, walau tidak me­nu­tup kemungkinan menye­rang etnis lain juga. Untuk etnis ter­tentu ini, demam tinggi terus me­ne­rus selama lebih dari tujuh hari pada ba­yi berusia muda, dokter mestilah memikirkan ke­mung­kinan Penyakit Kawa­saki.

Angka kejadian per tahun di Je­pang tertinggi di dunia, yaitu berkisar 1 kasus per 1.000 anak balita, disusul Korea dan Taiwan. Di Ame­rika Se­rikat berkisar 0,09 (pada ras kulit putih) sampai 0,32 (pada keturunan Asia-Pasifik) per seribu balita.  Di In­donesia, Advani menemu­kan kasus Penyakit Kawasaki sejak tahun 1996, namun ka­tanya  ada dokter yang me­nyatakan sudah menemukan sebelumnya. Diduga, kasus di Indonesia tidaklah sedikit dan menurut perhitungan kasar, berdasarkan angka kejadian global dan etnis di ne­gara kita, tiap tahun akan ada 3.300-6.600 kasus Pe­nyakit Ka­wa­saki. Sayangnya kasus yang ter­deteksi masih sangat jauh di ba­wah angka ini, jadilah penyakit ini seperti feno­mena gunung es.

Berbagai usaha sudah di­lakukan oleh IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), khususnya Unit Koordinasi Kerja (UKK) Jantung Anak IDAI un­tuk lebih mengenal­kan penyakit ini bagi kala­ngan medis dan awam. Telah cukup banyak diadakan se­mi­nar dan workshop baik ilmi­ah ma­u­pun awam di be­berapa kota di tanah air. Ha­silnya sejauh ini cukup meng­gembirakan, di mana para dokter khu­susnya dokter anak sudah lebih aware dan me­nge­nal tanda-tanda dini pe­nyakit ini dan dapat segera mem­buat diagnosis dan tera­pi yang tepat.

Apa penyebabnya?

Hingga saat ini penyebab pasti belum dapat diketahui, meskipun gam­baran klinis, laboratorium, dan epidemio­logi mengarah kepada pe­nya­kit infeksi. Ada dugaan pe­nyakit ini disebabkan oleh riketsia, stre­pto­kokus, antigen kutu debu rumah, dan retrovirus, namun semuanya belum bisa dibuktikan. Du­gaan lainnnya,  pe­nyakit ini dipicu oleh gangguan imun yang didahului oleh proses in­feksi. Karena penyebabnya belum jelas, maka pencegah­annya juga be­lum bisa dike­tahui. Pengetahuan dan pene­litian sejauh ini masih me­mu­tuskan bahwa penyakit ini bukan penyakit menular. Fak­tor genetik, tampakya juga ambil bagian. Sudah ba­nyak literatur yang menyebutkan adanya hubungan gangguan gen tertentu dengan terjadi­nya kerusakan koroner pada Penyakit Kawasaki.

Bagaimana gejala dan tanda klinisnya?

Secara garis besar, penya­kit ini terdiri dari 3 fase atau tahap. Tahapan ini ditentukan oleh hari lama sakit, yaitu fase akut, fase subakut dan fase pemulihan/konvalesen. Dari awal hing­ga akhir, per­jalan Penyakit Ka­wasaki me­makan waktu sekitar 40 hari.

1. Fase Akut (10 hari per­tama)

Fase ini ditandai dengan enam gelaja dan tanda yang khas berupa de­mam tinggi mendadak lebih dari 5 hari, yang tidak respon dengan an­ti­biotika, kedua mata me­rah (kon­junctivitis), tapi tidak belekan, bibir merah terang kemudian pecah dan berdarah, lidah merah seperti buah stro­beri (strawberry tongue), rongga mulut merah merata, bengkak dan keme­rahan pada telapak tangan dan te­lapak kaki, kadang terasa nyeri, ber­cak merah di wajah dengan ben­tuk bera­gam , di badan, juga tungkai, se­hingga menyerupai cam­pak, dan terakhir, terjadi pem­besaran kelenjer getah bening leher dijumpai sekitar 50% penderita, hampir selalu berada di satu sisi leher (unilateral) dan be­ru­kuran lebih dari 1,5 cm.

Selain enam tanda dan ge­jala khas ini, tanda dan gejala lain yang mung­kin dijumpai pada fase akut ini adalah kencing bernanah (Piuria) steril (pada 60% kasus), gangguan fung­si hati (40%), radang sendi (arthritis) sendi besar (30%), radang se­la­put otak (Meningitis) aseptik (25%), sakit perut disertai diare (20%), dan gejala ku­ning akibat gang­guan kan­dung empedu (10%). Tidak mengherankan bahwa de­ngan begitu banyak tampilan klinisnya pada fase awal ini, diagnosis menjadi sering keliru. Acapkali penyakit ini di­diagnosis secara salah sebagai cam­pak, reaksi obat pada kulit, infek­si virus, rematik arthritis/radang sen­di, dan sebagainya.

Keterlibatan dan kelainan kardio­vaskular yang mung­kin timbul pada fase ini dapat berupa degup jantung yang cepat (Takikardi),terdengar  irama derap, bising jantung, pem­beng­kakan jantung (kar­diomegali), menumpuknya cairan di selaput bungkus jantung (efusi perikardium), gangguan fungsi bilik kiri jantung, dan perubahan pada sadapan EKG. Kelainan ar­te­ri koroner mulai terjadi pa­da akhir minggu pertama hingga minggu kedua

2. Fase Subakut (hari 11-25)

Pada fase ini bisa dijumpai pe­nge­lu­pasan (deskuamasi) ujung jari ta­ngan dan kemu­dian diikuti jari kaki, yang merupakan satu tanda yang khas. Pada fase ini, warna keme­ra­han, demam dan pem­besaran kelen­jar getah be­ning menghilang. Peru­ba­han kardiovaskular yang nyata da­pat berupa terjadinya di­la­tasi/aneu­risma pada koroner, efusi peri­kar­dium, gagal jan­tung dan infark miokardium. Jumlah trombosit sa­ngat me­ningkat, dan dapat menca­pai lebih dari  1.000,000/ mm3 

3. Fase Konvalesen/pemu­lihan (25 - 40 hari)

Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal kem­bali, dan dapat dijumpai ga­ris tranversa yang dikenal de­ngan Beau’s line. Garis khas ini biasanya mun­cul pada jari telunjuk dan jem­pol. Meski­pun anak tampak menun­juk­­kan perbaikan klinis, namun ke­lainan jantung dapat ber­langsung terus.

Bagaimana mendiagno­sis­nya?

Diagnosis Penyakit Kawa­saki di­da­sarkan kepada gejala klinis se­mata, dengan enam kriteria diag­nos­tik seperti yang dijumpai pada fase akut,  yang telah diterangkan di atas. Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus yang dapat memastikan diag­nosis penya­kit ini.

Pemeriksaan pe­nun­jang dapat berupa pemerik­saan laboratorium/darah, rontgen dada, EKG, dan echo­cardiography. Peme­rik­­sa­an yang disebut terakhir ini mut­lak dilakukan dan meru­pakan sa­tu-satunya peme­rik­­saan noninvasif un­tuk me­nge­tahui ada tidaknya ke­ter­­libatan bagian-bagian jan­tung, te­ru­tama arteri ko­roner. Pada akhir fase satu dan awal fase dua bisa di­jum­pai pem­beng­kakan (anuerisma) arteri koroner. Ini menguatkan ala­san bahwa pemerik­saan echocar­di­o­g­raphy tidak da­pat tidak, harus dilakukan pada semua kasus yang didu­ga Penyakit Ka­wasaki.

Pe­me­riksaan invasif seperti kateterisasi jantung bukanlah sarana diagnostik yang seca­ra rutin digu­nakan untuk Pe­nyakit Ka­wa­saki, namun ada­kalanya dilakukan juga ter­uta­ma untuk melihat pe­nyem­pitan (stenosis) pembu­luh darah koroner.

Bagaimana pengobatan­nya?

Tidak ada pengobatan khu­­sus untuk penyakit ini. Tujuan terapi se­cara garis besar ada dua, pertama un­tuk mengurangi peradangan pada arteri koroner dan otot jan­tung, dan yang kedua men­cegah terjadinya trom­bosis (sumbatan) dengan meng­halangi agregasi/penum­puk­an trombosit. Terapi utama yang mutlak diberikan adalah immunoglobulin intravena (IVIG) untuk mengatasi per­a­dangan, dan pemberian aspirin untuk menghalangi agregasi trom­bosit.  Semua pasien dengan

Penyakit Ka­wa­saki fase akut ha­rus men­jalani tirah baring dan rawat inap. Sela­ma fase akut aspirin dapat di berikan 80-100 mg/kgbb/hari da­lam 4 dosis terbagi dan imu­nog­lobulin intravena 2 gr/kgbb dosis tunggal diberikan selama 10-12 jam.  Dosis rendah aspirin 3-5mg/kgbb/hari dan dipertahankan hingga pasien tidak menun­jukan perubahan arteri koro­ner dalam 6-8 minggu onset penyakit.

Tidak hanya soal deteksi dini dan penegakan diagnosis yang tepat, ma­salah pada Penyakit Kawasaki ju­ga menyangkut masalah peng­obatan. Har­ga IVIG yang mahal seringkali jadi kenda­la. Harga satu gram IVIG berkisar Rp 1 juta. Penderita PK mem­­butuhkan imunoglo­bulin 2 gram per kg berat badannya. Jadi se­bagai con­toh jika si anak mem­punyai berat badan 20 kg, maka paling tidak orangtua harus mengeluarkan uang untuk pembelian IVIG-nya saja lebih kurang 40 juta rupiah!

Bagaimana akhir perja­lan­an Penyakit Kawasaki?

Sebenarnya penyakit ini adalah penyakit yang sembuh sendiri (self limited disease) pada kebanyakan ka­sus na­mun seperti telah dise­but­kan, keterlibatan  sistem kardio­vas­kular adalah komplikasi yang paling serius. Jika arteri koroner tetap normal setelah satu bulan serangan pe­nyakit, biasanya akan tetap normal tanpa ada gangguan pada koroner. Jika koroner mem­bengkak (aneuris­ma), pem­bengkakan ini masih mung­­kin mengecil kembali.

Hal ini dijumpai pada 60-70% kasus, dan biasanya ter­jadi 1 sampai 2 tahun sete­lah serangan awal. Di sisi lain, pada komplikasi jantung yang parah, lebih dari 70% infark mio­kardium dapat terjadi satu tahun setelah serangan pertama penyakit. Serangan kedua Penyakit Kawasaki jarang sekali ter­jadi. Dengan semua alasan tersebut pemeriksaan dan pemantauan secara serial  jantung dan pembuluh koro­ner menjadi sa­ngat penting untuk mengevaluasi kon­disi semua bagian-bagian jan­tung yang terlibat pada Penyakit Kawasaki.

Untuk ke depannya, sangat diha­rap­kan pula awareness dari sejawat dokter umum, dan terutama dokter anak untuk lebih bisa mengenali tan­da dan gejala penyakit ini dan me­lakukan rujukan ke dokter jantung anak (pediatric cardiologist) bila men­cu­rigai kasus Penyakit Kawa­saki. Paramedis dan orang awampun diharapkan sedikit demi sedikit bisa lebih kenal dengan penyakit yang satu ini. Makin cepat dikenali, makin cepat terdiagnosis secara benar. De­ngan demi­kian kerusakan jantung da­pat dihindari.

()

Baca Juga

Rekomendasi